Tanggul Pekarangan
Masyarakat pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekerangan dengan membuat “tanggul pekarangan rendah” setinggi 20 – 30 cm dari susunan batu kosong, batubata, genteng bekas, dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka (Gambar 1 dan Gambar 2).
Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, dan Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan karena limpahan air hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, dan tidak langsung mengalir ke sungi, sehingga dapat menjamin sumur di sekitarnya tidak kering.
Tanggul pekarangan dapat dibuat dari tumpukan batu, potongan bambu, dan tanaman atau langsung dari tanaman pagar yang sedikit ditinggikan dengan urugan tanah. Contoh jenis tanaman yang sering dimanfaatkan sebagai pembatas sekaligus penguat tanggul pekarangan adalah duranta (Duranta erecta) dan serut (Streblus asper). Tanggul pekarangan juga dapat dibuat dari genteng yang sudah tidak terpakai yang tersusun tegak mengitari pekarangan dan ditambah dengan tanaman-tanaman.
Pagar Pekarangan
Disamping tanggul pekarangan, masyarakat juga biasa membangun pagar pekarangan (Gambar 3). Pagar pekarangan ini selain berfungsi sebagai pembatas rumah dan estetika sekaligus dapat menahan dan meresapkan air hujan. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat di daerah sub -urban dan pedesaan mengenai keterkaitan antara pagar pekarangan dan upaya memanen air hujan.
Sumber: Agus Maryono dan Edy Nugroho Santoso (2006). Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kantor Kementerian Lingkungan Hidup.
Tinggalkan komentar