MONITORING DAN EVALUASI DAERAH ALIRAN SUNGAI DALAM PERSPEKTIF DIAGNOSA KESEHATANNYA
Oleh : Paimin, Sukresno, Tyas M Basuki, dan Purwanto
Prosiding Seminar “Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS” Surakarta, 23 Desember 2002
I. PENDAHULUAN
Jumlah penduduk yang terus berkembang, sementara lapangan kerja sangat terbatas, telah mendorong masyarakat memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk memperoleh produksi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup. Permasalahan degradasi timbul, terutama oleh erosi tanah, apabila pemanfaatan lahan ini dilakukan pada daerah berlereng tanpa memperhatikan kemampuan lahannya. Aktivitas penggunaan lahan demikian tidak saja merugikan wilayah setempat (on site) tetapi juga menjadikan derita di wilayah hilirnya (off site). Proses ini terangkai dalam sistem aliran sungai yang berjalan mengikuti kaidah alami (proses hidrologis) yang tidak terikat oleh batas administrasi. Memperhatikan hubungan proses hulu dan hilir tersebut maka wilayah daerah aliran sungai (DAS) bisa digunakan sebagai satuan (unit) wilayah perencanaan, analisis dan pengelolaan.
Pemanfaatan lahan untuk usaha tani dalam wilayah DAS tersebut menunjukkan adanya suatu aktivitas pengeloaan DAS. Pengelolaan DAS difahami sebagai upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Dep. Kehutanan, 2001). Sementara itu, Brooks, dkk. (1990) mendeskripsi pengelolaan DAS sebagai suatu proses pengorganisasian dan pemanduan penggunaan sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya dalam DAS untuk menyediakan barang dan jasa yang diinginkan tanpa mengkibatkan kerusakan sumberdaya tanah, air dan sebagainya. Pengelolaan DAS menyangkut aneka sumberdaya alam dan memerlukan pengertian hubungan antara penggunaan lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara hulu dan hilir. Sama pentingnya juga pemahaman sistem sosial dan politik yang berlaku dalam suatu batas DAS, karena kelembagaan demikian menuntun penggunaaan lahan, baik melalui regulasi maupun insentif.
Dipandang dari keluaran yang bersifat biofisik, pengelolaan DAS dipahami sebagai sistem perencanaan yang menggunakan masukan (inputs) pengelolaan dan masukan alamiah untuk menghasilkan keluaran (outputs) yang berupa barang dan jasa serta dampak terhadap sistem lingkungan baik di dalam maupun di luar DAS (Hufschmidt, 1986). Sejalan dengan prinsip tersebut, Becerra (1995) memandang DAS sebagai sistem produksi yang menerima masukan sumberdaya alam dan manusia untuk menghasilkan keluaran berupa limpasan (runoff), dan produk pertanian, hutan dan ternak. Disamping itu dalam proses produksi ini juga diperoleh akibat yang tidak diharapkan baik setempat (on site), seperti erosi tanah dan penurunan produktivitas pertanian, maupun di hilir (off site), seperti penurunan kualitas air, perubahan rejim sungai, banjir, sedimentasi dan penurunan nilai wisata. Secara skematis sistem DAS tersebut digambarkan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Daerah Aliran Sungai Sebagai Sistem (disadur dari Becerra, 1995)
Pengelolaan merupakan masukan kelembagaan yang berusaha untuk mengorganisir sistem dalam rangka memperoleh tujuan pembangunan yang direncanakan yakni perlindungan dan perbaikan keseimbangan lingkungan. Hal ini biasanya melibatkan penggunaan sumberdaya alam DAS, terutama lahan, air, dan vegetasi, dengan partisipasi aktif organisasinya dan dalam harmoni dengan lingkungannya, oleh masyarakat di wilayah tersebut,. Dua hal yang perlu diperhatikan, yakni : (1) penggunaan sumberdaya harus tidak melampaui potensi dan batas ekosistem alami pegunungan yang rentan, dan (2) kepentingan strategis ekosistem sungai dan aliran air (stream).
Asdak (1995) memandang bahwa DAS sebagai suatu ekosistem, sehingga bisa merupakan satuan monitoring dan evaluasi (monev) karena setiap ada masukan (inputs) ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut. Wilayah DAS yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi dan air/sungai berperan sebagai prosesor.
Kegiatan monev yang menghasilkan informasi tentang tingkat kesehatan DAS yang bersangkutan pada sistem pengelolaan yang diterapkan bisa dipandang sebagai kegiatan diagnose.
Dengan pemahaman di atas perlu dibangun sistem diagnose kesehatan DAS melalui rangkaian penyelenggaraan monev DAS. Pada akhirnya hasil Diagnose tersebut diharapkan bisa merupakan dasar dalam penyusunan perencanaan dan implementasi pengelolaan DAS sebagai suatu upaya terapi atau penyehatan.
II. KERANGKA DASAR MONEV DAS
A. Monev Sebagai Diagnose
Dalam kenyataan lapangan, permasalahan dan kendala tidak terduga sering muncul begitu implementasi pengelolaan DAS dimulai. Segala sesuatunya tidak selalu seperti yang direncanakan; situasi bisa berubah sehingga memaksa untuk merubah perencanaan. Hal ini bukan karena perencanaan yang salah tetapi mencerminkan adanya perubahan yang terjadi dengan berjalannya waktu. Hal ini disadari bahwa dalam perencanaan pengelolaan DAS dijumpai adanya faktor ketidakpastian (Asdak, 1995, Brooks, et al., 1990).
Monitoring dan evaluasi merupakan unsur dasar dari proyek perencanaan dan pengelolaan. Monitoring adalah menghimpun informasi tentang dunia (fakta) nyata yang dapat dibandingkan dengan dunia khayal yang diuraikan dalam rencana proyek, untuk melihat seberapa dekat apa yang direncanakan dengan apa yang berjalan dalam kenyataannya. Dengan prinsip yang tidak berbeda Becerra (1995) menyebutkan monitoring sebagai pengukuran secara sistematis dari indikator proyek untuk menetapkan hasil yang diperoleh terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi adalah mengorganisasi dan menilai informasi yang terhimpun dalam monitoring, dibandingkan dengan informasi yang terhimpun melalui cara lain, untuk dipresentasikan kepada manajer dan perencana pada tempat dan waktu yang tepat (Brooks, dkk., 1990). Dengan hasil monev tersebut manajer (pengelola) mampu menyediakan fakta yang berupa data kuantitatif yang jelas dan obyektif atas manfaat dari aktivitas yang telah dicapai dan sejalan dengan tujuan pengelolaan yang direncanakan. Monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan pada fase awal proyek (pengelolaan), proyek berjalan, akhir proyek, dan pasca proyek (Becerra, 1995). Monev harus dirancang dan dilakukan sejalan dengan tujuan, karakteristik dan skala proyek.
Namun demikian, untuk melakukan monev pengelolaan DAS sering dijumpai kesulitan karena adanya hal-hal sebagai berikut (Becerra, 1995) :
- Sebagian besar manfaat diperoleh dalam jangka menengah dan jangka panjang
- Faktor eksternal, bukan atribut pengelolaan, juga mempengaruhi pencapaian hasil
- Manfaat tersebar luas secara geografis
- Kegiatan perbaikan pada lahan miring tidak selalu diterjemahkan kedalam keuntungan hidrologis pada limpasan di titik keluaran (outlet)
- Manfaat yang diperoleh sering terhapus oleh kerusakan dari aktivitas lain dalam DAS, seperti pembuatan jalan yang mengakibatkan erosi jurang dan tanah longsor.
- Proyek sering salah dalam memberikan gambaran yang cukup untuk bisa dilakukan evaluasi yang obyektif.
Di samping itu, di Indonesia agak jarang diperoleh kesinambungan proses pengelolaan (perencanaan dan pelaksanaan) secara konsisten, kecuali pada proyekproyek khusus dengan dana pinjaman (loan) atau bantuan (grant) luar negeri. Hal ini bisa disadari karena tidak adanya salah satu institusi yang memiliki otoritas penuh atas pengelolaan DAS.
Berkenaan dengan kendala di atas, maka agak sulit untuk merancang sistem monev pengelolaan DAS yang mencakup empat fase seperti diutarakan Becerra (1995) di atas, kecuali fase pasca proyek yang bisa ditafsirkan sebagai monev secara periodik, misalnya setiap lima tahun. Sistem monev perodik demikian akan sama seperti disarankan oleh Walker, dkk. (1996) yakni untuk mendeteksi kecenderungan kesehatan DAS dan mengidentifikasi penyebab kerusakannya (penyakitnya). Dengan demikian penyelenggaraan monev yang dilakukan secara periodik tersebut bisa dikatakan sebagai penyelenggaraan diagnose kesehatan DAS.
B. Kerangka Pikir Diagnose
Dalam melakukan monev DAS Jenkins dan Sanders (1992), seperti dikutip Walker, et. al (1996), mengikuti prosedur pemeriksaan kesehatan manusia. Pada Diagnose awal, pasien (DAS) ditetapkan sehat atau sakit; kemudian diikuti diagnose lanjut untuk menemukan jenis penyakitnya, yang akhirnya diputuskan cara dan jenis pengobatannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa monev kesehatan DAS (catchment health) bisa dilakukan dalam 3 (tiga) skala yakni nasional, regional/DAS, dan usaha tani (site). Di Indonesia tingkatan skala ini bisa dipilahkan menjadi tingkat nasional/DAS, tingkat regional/kabupaten/sub-DAS, dan tingkat usaha tani/desa. Untuk menetapkan tingkat kesehatannya, masing-masing skala memerlukan jumlah indikator berbeda; semakin tinggi tingkat skalanya semakin sederhana jumlah indikator yang digunakan. Indikator tingkat usahatani memberikan nilai angka dan sesuai untuk pemetaan distribusi spasial nilai, sedangkan indikator tingkat DAS/sub- DAS mengintegrasikan seluruh respon DAS, tetapi tidak mengindikasikan lokasi hotspot-nya. Indikator tersebut dibedakan dalam dua tipe, yakni : (1) indikator kondisi yang menetapkan keadaan suatu sistem terhadap keadaan yang diinginkan, dan (2) indikator kecenderungan yang mengukur bagaimana sistem tersebut berubah.
Mengingat hasil akhir dari kegiatan monev DAS adalah untuk memperoleh informasi tentang tingkat capaian hasil dari suatu proses pengelolaan terhadap tujuan, maka sistem monev pengelolaan DAS dilakukan dengan prinsip dasar mengikuti alur sistem DAS seperti pada Gambar 1, namun dilakukan secara terbalik. Diagnose awal dimulai dari hasil luaran (outputs) yakni : (1) karakteristik hidrologi yang diukur pada outlet (titik pelepasan) dari DAS terukur, yang meliputi aliran air (limpasan), sedimen terangkut, dan air tanah, dan (2) produksi budidaya pertanian (pertanian, hutan, perkebunan, ternak, dll), termasuk jasa. Melalui analisis hasil luaran akan diperoleh informasi tingkat kesehatan DAS yang bersangkutan. Untuk mendeferensiasi tingkat kesehatan bagian DAS perlu ditelusuri melalui diagnose awal kondisi setiap cabang aliran sungai (sub-sub-DAS).
Diagnose selanjutnya adalah melakukan observasi terhadap obyek prosesor atau sumberdaya alam DAS dan masukan (inputs) alamiah dan teknologi serta pelaku pengelolaan DAS (masyarakat dan kelembagaan) untuk memperoleh jawaban atas fenomena hasil diagnose awal. Secara skematis sistem monev atau diagnose DAS tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 2. Indikasi yang diperoleh pada diagnose awal memiliki hubungan erat dengan kondisi dan sifat dari faktor pada diagnose lanjut dan juga memiliki hubungan antar indikator (interrelationship). Hubungan tersebut selanjutnya akan diuraikan seperi berikut :

Gambar 2. Skema Alur Monev/Diagnose Kesehatan DAS
Produksi budidaya pertanian secara umum, seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, ternak dan lain-lain dalam DAS bisa mengalami kecenderungan naik, stabil maupun turun. Perubahan produksi tersebut dipengaruhi oleh perubahan pola iklim, terutama hujan, dan kondisi lahan serta pola pengelolaannya. Kondisi lahan yang mempengaruhi produksi adalah kesesuaian pengunaan lahan terhadap kemampuan atau kapabilitasnya dan tingkat kesuburan tanahnya. Pada daerah pegunungan (hulu) sering dijumpai penggunaan lahan yang melampaui kemampuannya karena tingkat tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi serta lemahnya penegakan legislasi yang dibangun melalui kelembagaan yang ada. Sedangkan faktor kesuburan tanah secara umum dapat dicirikan oleh jenis tanahnya. Secara rinci kesuburan tanah bisa dimaksudkan sebagai status kerusakan lahan seperti pada Peraturan Pemerintah (PP) No.150 Tahun 2000, dimana disebutkan tentang nilai ambang kritis dari parameter kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering. Namun demikian mengacu saran Shaxson (1999) yang memandang penurunan produktivitas atau hasil adalah berkaitan erat dengan kualitas tanah tersisa setelah erosi, maka kesuburan tanah dapat disifatkan dari kondisi erosi tanahnya. Sementara itu pengelolaan lahan ditentukan oleh :
- Masukan teknologi, yang berupa sarana produksi pertanian (saprotan), sistem dan pola tanam, dan teknik konservasi tanah yang diterapkan. Perubahan pola dan dan sistem tanam yang dimaksud termasuk perubahan penggunaan lahan, seperti lahan alang-alang dirubah menjadi lahan pertanian atau hutan atau perkebunan, sehingga pengaruh tanaman yang utama adalah kerapatan penutupan tanah .
- Peran masyarakat sebagai pengelola lahan dan sistem kelembagaan yang terbangun. Faktor sosial meliputi luas pemilikan lahan, status pengelola lahan terhadap kepemilikan, tingkat ketergantungan hidup terhadap lahan, pengetahuan petani terhadap kegiatan konservasi tanah, dan kelembagaan pengelolaan DAS yang mencakup lembaga masyarakat, konflik, nilai-nilai, dan norma masyarakat.
Jumlah dan distribusi limpasan (run-off) dari aliran sungai (stream flow) menunjukkan indikasi sifat atau karakteristik DAS di atasnya dalam memberikan respon terhadap hujan yang jatuh sebagai masukan terhadap DAS. Nilai limpasan bisa dinyatakan dalam : (1) debit aliran yang merupakan jumlah per satuan waktu, (2) koefisien variasi limpasan, dan (3) koefisien rejim sungai (KRS) yaitu nisbah debit maksimum dan minimum. Debit aliran yang penting adalah besarnya debit puncak atau banjir dan frekuensi kejadiannya sebagai indikator kemampuan DAS dalam merespon air hujan yang jatuh. Peristilahan banjir puncak sering digunakan dalam perancangan bangunan air (hidrolik); demikian juga parameter koefisien limpasan. Memperhatikan kegunaan tersebut maka nilai koefisien limpasan bisa diambil dari limpasan puncak pada kejadian hujan yang bersangkutan (rainfall event). Nilai koefisien limpasan yang dihitung dari nilai total limpasan dan hujan dalam satu tahun menunjukkan nilai neraca air tetapi bukan merupakan bentuk respon DAS secara langsung terhadap air hujan yang jatuh. Hal ini juga terlihat bahwa limpasan yang mengalir di sungai sebagai hasil respon DAS terhadap hujan tidak langsung terukur sebagai luaran tetapi masih didiversi untuk kepentingan irigasi. Memperhatikan halhal tersebut, maka nilai KRS seyogyanya menggunakan pendekatan yang sama. Sementara itu pemanfaatan limpasan untuk usaha tani bisa dinilai dalam parameter indek penggunaan air.
Limpasan yang terjadi dipengaruhi oleh curah hujan yang jatuh dan karakteristik DAS yang dicerminkan oleh morfometri DAS, kondisi lahan dan pengelolaan lahan dan air. Morfometri DAS merupakan karakteristik DAS yang bersifat bawaan alamiah yang sulit untuk dimanipulasi oleh manusia yang meliputi luas dan bentuk DAS, kemiringan sungai, kemiringan rata-rata DAS, kerapatan drainase, dan ordo sungai. Sementara itu karakerisik lahan juga ada yang bersifat permanen adalah geologi (batuan), sedangkan tanah bersifat agak permanen (perubahan agak lambat), dan yang paling dinamis adalah penggunaan lahan. Undangundang No. 41 Tahun 1999 menetapkan bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran secara proporsional (Pasal 18). Sementara itu dengan tumbuhnya industri dan jumlah penduduk yang terus bertambah telah mendorong perubahan penggunaan lahan yang kurang memiliki fungsi perlindungan atau konservasi, seperti perubahan lahan pertanian menjadi pabrik dan pemukiman atau lahan hutan menjadi lahan pertanian. Masukan teknologi untuk pengelolaan lahan, seperti jumlah dan jenis penggunaan sarana produksi pertanian (saprotan), pola dan sistem tanam, tindakan konservasi tanah, dan pembangunan jaringan irigasi dan dam, akan mempengaruhi sifat limpasannya. Pengelolaan yang terbangun tergantung dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pelakunya seperti tingkat pengetahuan petani, kelembagaan, status pemilikan lahan dan ketergantungan hidup petani pada lahan pertanian..
Bahan yang terangkut dalam limpasan dapat berupa bahan pencemar yang bersifat fisis (partikel tanah) maupun khemis. Namun partikal tanah terangkut, sebagai produk erosi dari DAS, yang akan merupakan sedimen di tempat pengendapannya dibicarakan secara terpisah dari pencemar khemis lainnya. Besarnya erosi memiliki korelasi dengan limpasan walaupun tidak selalu sejalan. Partikel tanah yang terangkut bersama limpasan merupakan produk dari erosi permukaan (lapis dan alur) dan morfoerosi (jurang, tebing sungai dan jalan, longsoran dan lainnya). Faktor yang mempengaruhi besarnya erosi adalah hujan, topografi, tanah dan pengelolaan lahannya. Tingkat erosi tanah diidentifikasi berdasarkan kenampakan tanah akibat erosi yakni tebal solum tanah, luas batuan permukaan, dan aplikasi teknik konservasi tanah. Pengelolaan lahan yang mempengaruhi besarnya erosi tanah adalah aplikasi teknik konservasi tanah, baik vegetatif maupun teknik sipil. Namun tingkat keberhasilan teknik konservasi tanah yang dilakukan tergantung dari perilaku masyarakat dan kelembagaan yang terbangun untuk menggerakkan masyarakat pengelola tersebut. Bahan pencemar yang terangkut melalui aliran air akan menunjukkan input (masukan) teknologi yang diaplikasikan dalam pengelolaan lahan.
III. KRITERI DAN INDIKATOR KESEHATAN DAS
Dalam melakukan Diagnose terhadap kesehaatan DAS perlu dirancang indikator-indikator yang menunjukkan tingkat kesehatan suatu DAS. Kerangka pendekatan monev sebagai proses diagnose seperti Bab II disusun dalam bentuk pendekatan indikator masukan dan indikator keluaran yang dibangun dalam fase diagnose awal dan diagnose lanjut sehingga hasil diagnose bisa diketahui proses sebab-akibatnya. indikator yang disusun harus memenuhi dua kondisi dasar, yakni : (1) mudah diverifikasi secara obyektif, (2) terkait langsung dengan pencapaian hasil. Dengan demikian, pilihan indikator tidak saja memiliki arti, tetapi juga harus dapat dipahami oleh para pengelola DAS dan pihak lain yang terkait. Mengacu kerangka dasar pada Bab II, maka disusun kriteria dan indikator kesehatan DAS seperti pada Tabel 1.

Pemberian bobot pada setiap indikator dimulai dari pembagian bobot antara diagnose awal (40%) yang meliputu kriteria hidrologi dan produksi, dan diagnose lanjut (60%) yang mencakup kriteria morfometri DAS (hidrologi), kondisi lahan, masukan teknologi, dan kondisi masyarakat (sosial).
Masing-masing indikator memiliki nilai berdasarkan atas kondisinya yang berkisar antara baik (3), sedang (2), dan buruk (1) seperti pada Lampiran 1. Nilai setiap indikator dikalikan dengan bobotnya seperti pada Tabel 1. Hasil kali ini dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan total bobot (100) yang kemudian disebut skor tingkat kesehatan DAS. Kriteria kesehatan DAS diklasifikasi berdasarkan skor rata-rata seperti Tabel 2 berikut.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan telaah sistem monitoring dan evaluasi (monev) pengelolaan DAS tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Monev pengelolaan DAS yang dilakukan secara periodik, setiap 5 atau 10 tahun, bisa dipandang sebagai suatu Diagnose terhadap kesehatan atau tingkat kerusakan suatu DAS. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar untuk perbaikan/ penyempurnaan sistem perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan DAS selanjutnya.
- Diagnose awal terhadap kesehatan DAS dilakukan pada hasil keluaran (output) suatu sistem pengelolaan DAS yang meliputi aspek (kriteria) hidrologi dan produksi (ekonomi), termasuk jasa didalamnya. Melalui 11 indikator, 9 untuk kriteria hidrologi dan 2 untuk kriteria produksi, tingkat kesehatan atau kerusakan awal dari suatu DAS yang bersangkutan akan bisa dievaluasi.
- Untuk mengetahui tempat dan penyakit (sebab kerusakan) dari DAS tersebut perlu Diagnose lanjut terhadap karakteristik DAS dan masyarakat pelaku pengelolaan. Sebanyak 17 indikator penyusun Diagnose lanjut yang dikelompokkan dalam 4 (empat) kriteria : (1) morfometri DAS (1 indikator), (2) lahan (4 indikator), (3) masukan teknologi (4 indikator), dan (4) sosial/masyarakat (8 indikator).
- Bobot penilaian indikator secara garis besar terbagi menjadi 40% untuk Diagnose awal dan 60% untuk Diagnose lanjut dimana untuk masing-masing kriteria adalah hidrologi sebesar 35%, produksi sebanyak 5%, morfometri DAS sebesar 5%, lahan sebesar 20%, masukan teknologi sebesar 20%, dan sosial sebesar 15%.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada Univ. Press
Becerra, E. H. 1995. Monitoring and Evaluation of Watershed Management Project Achievements. FAO Conservation Guide 24. FAO. Rome.
Brooks, K. N, H. M. Gregersen, A. L. Lundgren, and R. M. Quinn. 1990. Manual on Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation . ASEAN-US Watershed Project. Philippines.
BTPDAS Surakarta. 2000. Pedoman Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Departemen Kehutanan, 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kep.Men.Hut. No.52/Kpts-II/2001. Tentang. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. DitJen RLPS. Dit. RLKT.
Hufschmidt, M.M., 1986. A Conceptual Framework for Analysis of Watershed Management Activities. Strategies, Approaches, and System in Integrated Watershed Management. FAO Conservation Guide 14. FAOUN, Rome.
Dixon, J. A, and K. W. Easter. 1986. Intregated Watershed Management : An Approach to Resource Management, In. K. W. Easter, J. A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resource Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pacific. East-West Center, Env. and Policy Institute. Honolulu, Hawaii.
Shaxon, F.,1999. New Concepts and Approaches to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO Soil Bulletin 75. FAOUN, Rome.
Walker, J., D. Alexander, C. Irons, B. Jones, H. Penridge, and D. Rapport. 1996. Catchment Health Indicators : An Overview. In. J. Walker and D. J. Reuter. Indicators of Cacthment Health. A Technical perspective. CSIRO. Australia.

PERTANYAAN DAN SARAN
1. Pembahasan Prof. Dr. Sutikno (Jurusan Geografi Fisik dan Lingkungan, Fakultas Geografi UGM dan Kepala Pusat Studi Bencana Alam UGM, Yogyakarta)
Kerusakan pada DAS akan diikuti dengan kesulitan hidup dan kesengsaraan antara lain bencana banjir, kekeringan, longsor, dan sebagainya. DAS yang rusak sulit dipulihkan dan membutuhkan dana yang besar.
Beberapa masukan untuk perbaikan:
- Memasukkan penambangan galian C dalam Monev karena hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan DAS.
- Perlu penajaman dan transparansi tentang masalah yang akan dipecahkan dan tujuan yang ingin dicapai. Permasalahannya : dapatkah dan bagaimanakah membangun sistem diagnose kesehatan DAS. Tujuannya adalah mempelajari sistem kesehatan DAS melalui monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS.
- Komponen batuan dan biota (selain vegetasi) kurang dimasukkan dalam Monev Pengelolaan DAS. Selain itu manusia merupakan pelaku dan pemanfaat sumberdaya alam pada DAS yang sangat menentukan kondisi DAS. Untuk itu perlu pemberdayaan masyarakat dan pensosialisasian pengelolaan DAS.
- Pembahas sependapat dengan kerangka pikir diagnose DAS yaitu DAS didiagnose, diidentifikasi jenis penyakitnya, dan selanjutnya diterapi. Tetapi perlu dicermati karakteristik DAS sehingga tidak pukul rata dalam memonev DAS.
- Sistem pengelolaan lahan pada DAS dapat dibedakan menjadi: (1) dikelola sendiri, (2) dikelola bersama, (3) dikelola pemerintah, dan (4) dikelola secara kombinasi. Untuk itu sistem monevnya perlu diperhatikan dan dibedakan.
- Pengelolaan DAS tergantung pada kondisi sosial ekonomi masyarakat dan perlu ditambah persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS.
- Perlu ada justifikasi untuk pembobotan dan dan dicari faktor pembatasnya.
2. Pembahasan Dr. Maksum (Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Yogyakarta)
Makalah cukup komprehensif tetapi kurang aspek sosial ekonomi. Padahal aspek sosial ekonomi sangat berperan dalam menentukan kesehatan suatu DAS. Monev DAS agak gagal dalam melihat fenomena sosial ekonomi dan terlihat satu arah serta statis, padahal Monev DAS seharusnya dinamis.
Faktor relevansi, efisiensi, efektivitas, dan sustainibilitas tidak nampak dalam makalah. Selain itu, persoalan pembobotan perlu lebih diperhatikan karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk itu, maka pembobotan tersebut perlu di tera setiap saat. Dalam kaitan inilah, maka para stakeholder perlu duduk bersama untuk menyamakan persepsi dan menentukan pembobotan yang sesuai.
3. Kuswaji (Fakultas Geografi UMS)
Sependapat bila diagnosa DAS sama seperti diagnosa penyakit, yaitu dimulai dari diagnosa lalu dicari penyakitnya dan selanjutnya diterapi sesuai dengan penyakit DAS. Tetapi perlu hati-hati dalam terapinya, karena bisa terjadi penyakit DAS sama namun disebabkan oleh faktor yang berbeda, sehingga terapinya pun akan berbeda. Apa asumsi penentuan waktu Monev 5—10 tahun dan dasar penentuan pembobotannya?
4. Suharno (Fakultas Pertanian UNS)
Keberatan pada diagnosa lanjut, kenapa pada aspek sosial ekonomi hanya 15 dari 60, padahal seharusnya diberi bobot lebih besar. Banyak kasus kekritisan DAS disebabkan oleh masalah sosial ekonomi.
5. Isnugroho (Balai Sungai DAS Solo)
a. Institusi pelaksana Monev itu siapa?
b. Wilayah administrasi tidak sama dengan wilayah DAS. Untuk itu perlu dijadikan suatu bobot juga dalam kaitannya dengan keterpaduan pengelolaan DAS. Hal ini akan makin besar pengaruhnya pada era otonomi daerah.
6. Sumarto Gunadi (Fakultas Teknologi Pertanian UGM)
Sistem Monev DAS merupakan suatu sistem yang iterkatif. Kenapa perlu dikuantifikasi dalam penilaian kesehatan DAS? Kuantifikasi terhadap peubah skor akan berdampak besar pada persoalan akurasi. Perlu diperhatikan parameter kondisi, fungsi, dan kepentingan dari masing-masing yang akan dikuantifikasi.
7. Teguh Prasetyo (BPTP Jawa Tengah)
Kriteria dalam Monev DAS terlalu complicated. Pada aspek nilai hasil kenapa hanya pada awal saja, padahal di diagnose lanjut masih terdapat unsur produksi sebagai akibat masuknya teknologi. Ada perubahan produksi sebagai akibat masuknya teknologi dalam pengelolaan DAS. Perlu pula kesepakatan dalam penentuan modeling untuk menilai hasil.
8. Sukiman (BP DAS Solo)
Soal pembobotan yang disampaikan ternyata ada perbedaan dengan kriteria yang lama. Untuk itu perlu ada penegasan dan kesepakatan sistem Monev DAS versi siapa yang akan dipergunakan.
9. Hernawati (Dinas Kehutanan Semarang)
Pengelolaan DAS merupakan suatu keseimbangan hidrologi dengan air sebagai faktor pengikatnya. Belum terlihat aspek geologi dalam kaitannya dengan peresapan air, untuk itu perlu dimasukkan peubah geologi dalam kaitannya dengan kemampuan peresapan air.
10. Suyamni (BAPPEDA Propinsi Jawa Tengah)
Terutama pada menu utama, supaya juga memperhatikan karakteristik/sifat morfologi tanah yang akan mempengaruhi infiltrasi / limpasan permukaan (run off) juga dihitung puncak banjir. Perlu diinformasikan bahwa di Bappeda Propinsi Jawa Tengah juga pernah ada studi Monev Pengelolaan DAS utamanya pelaksanaan penghijauan yang sudah dilaksanakan + 20 tahun (Pengkajian oleh Fak. Pertanian UGM – 1994/1995) di DAS Galih ds. (Kab. Temanggung) dengan penutup lahan yang karakteristik yaitu tembakau dimana akan sangat mempengaruhi menurunnya kesuburan (leaching) dan erosi. Berdasarkan studi tersebut diantaranya diperoleh rekomendasi/penukaran semacam dana kompensasi dari pengguna hasil-hasil dari komoditi tersebut (pabrik rokok) kepada pemilik-pemilik tanah yang “dirugikan” tersebut. Berdasarkan hal tersebut diharapkan agar nanti diskusi-diskusi Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS ini dapat menghasilkan produk yang bersifat user friendly and applicable.
Untuk aspek Sosial Ekonomi juga perlu dipertimbangakan karakteristikkarakteristik dari Sosek masing-masing kawasan yang berlainan. Sebagai contoh di daerah hulu DAS Citanduy yang sepertinya telah membudaya membuang sampah batang-batang pisang ke Sungai Citanduy sehingga disamping sedimen yang tinggi juga penuhnya sampah batang-batang pisang dimuara sungai.
11. Sutrisno (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo)
Kami tertarik dengan uraian Pak Paimin dan kawan-kawan ada pertanyaan –pertanyaan sebagai berikut : Siapa yang tanggung jawab MONEV tentang Pengelolaan DAS, karena bila ada musibah banjir dan longsor yang disalahkan sering Dinas Teknis terutama Kehutanan, padahal aturan / peraturan yang ada sudah jelas bahwa ada fasal-fasal menyatakan pada Undang-undang Lingkungan. Saya rasa kesemuanya dari Kebijakan yang ada khususnya bidang Pengelolaan DAS terpadu tentunya dari rasa disiplin pihak pemerintah, Swasta, masyarakat, LSM, sampai para tokoh masyarakat, baik agama, politik sampai kepemudaan untuk mentaati peraturan disiplin dalam mengelola lingkungan DAS. Membuang sampah yang tertib dan teratur.
TANGGAPAN PEMAKALAH (Ir. Paimin, M.Sc.)
- Untuk mengubah suatu yang rumit menjadi mudah dipakai dan dipahami merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan perlu kerja keras.
- Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang dinamis sehingga monev pun dinamis.
- Bagaimana kaitkan DAS dengan batas administrasi kabupaten atau propinsi bila banyak kabupaten atau propinsi yang belum tahu dengan pengelolaan DAS. Untuk itu kami sependapat akan pentingnya sosialisasi pengelolaan DAS dan Monev DAS.
- Untuk Bapak Sutikno, cukup membingungkan untuk memasukkan unsur pertambangan karena pengelolaan tambang tidak pengaruhi tata air, selain itu pembukaan vegetasi akibat penambangan sudah menjadi salah satu indikator dalam Monev DAS. Perubahan penggunaan lahan dari yang konservatif menjadi tidak konservatif. Selain itu, memasukkan pertambangan akan membuat Monev DAS menjadi sangat complicated.
- DAS juga oleh dipengaruhi unsur biotik dan abiotik, tetapi dalam Monev yang kami ajukan belum memasukkan unsur biotik karena akan membuat complicated dan biaya yang besar. Namun demikian, pada tahun depan BP2TP DAS sudah mulai mengarah untuk memasukkan faktor biotik dalam Monev DAS.
- Tentang faktor pembatas memang menentukan dalam Monev DAS dan ini akan dibahas lebih lanjut dalam sidang komisi.
- Persoalan pemberian bobot yang lebih besar fisik dibandingkan sosial. Pada saat pembuatan awal Monev sempat terjadi debat panjang tentang apa yang mau dillihat dalam DAS apakah prosesnya atau fase. Hal ini akan membuat binggung dalam hal diagnosa dan proses. Pada saat itu disepakati bahwa yang akan dilihat adalah fasenya, sehingga ada diagnosa awal dan diagnose lanjut.
- Untuk waktu Monev yang 5—10 tahun, mengacu pada aspek perencanaan.
thanks banget yaa…
Komentar oleh abda — Maret 13, 2010 @ 11:30 pm
berkunjung dan baca-baca, sangat bermanfaat.
Komentar oleh pasarjogja.com — Maret 31, 2010 @ 12:34 am
MENURUT EKOFISIENSI GAK ADA YA PAK
Komentar oleh Anonim — Oktober 26, 2010 @ 3:47 pm