BebasBanjir2015

Rorak / Parit Buntu

Rorak di perkebunan kopi. Sumber:

Rorak

Pengertian dan Fungsi

Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah.

Pembuatan rorak dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos.

Rorak dan Pengendalian Banjir

Rorak adalah bangunan konservasi tanah dan air yang  relatif mudah diuat. Adanya rorak akan menjebak aliran permukaan dan memberikan kesempatan kepada air hujan untuk terinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian rorak akan menurunkan aliran permukaan yang keluar dari persil lahan secara signifikan. Hal ini tentu saja akan ikut berkontribusi terhadap pengendalian banjir. 

Ukuran dan Jarak Rorak

Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad (2006) merekomendasikan dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% – 30%).

Penempatan rorak berselang seling

Penempatan rorak berselang seling. Sumber: Arsyad (2006)

Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2006),  menerbitkan standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air, yaitu:

  1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit.
  2. Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan  kedalaman 0,4 meter.
  3. Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal.
  4. Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan.
  5. Lahan peka terhadap erosi.
  6. Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah mengalami degradasi/menurun.

 

 

Pedoman Konservasi Tanah dan Air yang diterbitkan oleh Tim Peneliti BP2TPDAS IBB Departemen Kehutanan (2002) merekomendasikan pembuatan rorak dengan persyaratan teknis:

  1. Ukuran panjang 1 – 2 meter, lebar 25-50cm dan dalam 20 – 30 cm.
  2. Rorak dapat diisi dengan mulsa untuk mengurangi sedimentasi dan meningkatkan kesuburan tanah.
  3. Pembuatan rorak mengakibatkan pengurangan luas lahan olah sebesar 3 – 10%
  4. Rorak buntu dapat dibuat pada bagian lereng atas dari tanaman
  5. Sedimen yang  tertampung dalam rorak buntu

Analisis Biaya

Kebutuhan tenaga untuk pembuatan rorak buntu dengan ukuran panjang 10 m, lebar 2 meter dan dalam 1 meter sebesar 16 HOK.

Hasil Penelitian:

 

Rorak di perkebunan. Sumber: BTPDAS Surakarta

Penelitian yang dilakukan oleh Rejekiningrum dan Haryati (2002) menggunakan rorak dengan ukuran lebar 0,7 – 1 m, panjang 3 meter dan kedalaman 0,75 m di perkebunan rambutan seluas 1600 m2 di Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang.

Rorak dibuat sebanyak 6 baris dari atas ke bawah dengan jarak 5 – 10 m dalam barisan dan 10 meter antar barisan dengan posisi zig zag.

Tanah bekas galian diangkat ke atas dan dibuat guludandengan tinggi 20 cm dan lebar 30 cm pada ujung rorak bagian bawah serta pinggir kiri dan kanan sehingga rorak dibatasi dengan guludan yang berbentuk huruf U. Guludan tersebut ditanami rumput lapangan agar stabil dan mempunyai kapasitas tampung yang lebih besar dan permanen.

Penelitian ini menemukan bahwa rorak mampu menurunkan aliran permukaan sebesar 51% sehingga dapat menurunkan proses degradasi lahan. Pembuatan rorak secara toposekuen dapat mendistribusikan air secara lebih merata dalam satu hamparan.

Pedoman teknis pembuatan Rorak

PENGANTAR

Pedoman teknis pembuatan Rorak dalam rangka upaya konservasi tanah dan air ini disusun dalam rangka memberikan acuan atau arahan pelaksanaan kepada para petugas teknis Dinas Pertanian Propinsi dan Kabupaten/Kota serta para petugas lapangandalam melakukan pengembangan dan pembinaan pengelolaan usaha tani konservasi lahan di lapangan.

Isi dan substasi pedoman ini hanya memuat garis besarnya saja antara lain: ruang lingkup kegiatan,
spesifikasi teknis, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan pelaporan, indikator kinerja serta uraian tentang pembuatan bangunan Rorak sebagai salah satu bentuk bangunan konservasi dalam rangka mengendalikan erosi pada lahan usahatan. Untuk itu maka Dinas Pertanian Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk selanjutnya
dapat menyusun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang lebih spesifik berdasar kondisi sosial, ekonomi, budaya lokal, kebutuhan lapang serta karakterisitik bio-fisik lokasi kegiatan setempat, tanpa mengurangi standar teknis dan manfaat yang diperoleh.

Semoga pedoman teknis ini dapat memberi manfaat sebagai pedoman kerja para petugas dalam upaya
melestarikan sumber daya lahan sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani .

Jakarta, Januari 2006
Direktur Pengelolaan Lahan

Ir, Suhartanto, MM
NIP: 080.048.854

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

 

Rorak yang dikombinasikan dengan teras gulud. Foto: F Agus.

 

Tanah dan air adalah merupakan sumber daya alam dan sekaligus juga lingkungan hidup yang tidak terlepas dari peran manusia (masyarakat) sebagai pengelola sumber daya alam. Pada dasarnya pembangunan pertanian harus berwawasan lingkungan.

Pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah merupakan upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumberdaya secara secara arif dan bijaksana untuk meningkatkan hasil produksi dan sekaligus menjaga kelestarian lahan dan air.

Kebutuhan manusia akan tanah dan air semakin meningkat dari waktu ke waktu. Bukan saja diakibatkan karena pertammbahan penduduk, tetapi juga karena meningkatnya intensitas (jumlah) dan ragam kebutuhannya, padahal ketersediaan tanah dan air sangat terbatas.

Usaha peningkatan produksi hasil pertanian selalu tidak dapat mengimbangi kecepatan pertumbuhan penduduk. Hal ini antara lain karena kondisi tanah dan air sebagai sumber daya alam pada umumnya sudah mengalami penurunan produktivitasnya sedemikian rupa sehingga memerlukan usaha konservasi.

Usahatani konservasi tanah dan air ini penting karena di berbagai daerah telah terjadi kerusakan lahan yang berakibat menurunkan tingkat produktivitas tanah dan kualitas air, terutama karena erosi dan aliran permukaan (run off).

Berbagai contoh bencana alam yang terjadi atau yang kita dengar dan lihat selama ini, salah satu faktor utamanya adalah akibat erosi dan sedimentasi, misalnya : banjir, kekeringan, tanah longsor dan lain-lain sering terjadi di beberpa daerah di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena pengolahan tanah dan air tidak/ kurang memperhatikan dan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.

Untuk mengatasi hal – hal tersebut diatas, maka sangat dirasakan pentingnya dilakukan pembinaan terhadap masyarakat tani, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam melakukan usaha tani konservasi tanah dan air khususnya dalam pembuatan Rorak.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membekali para petugas di lingkup dinas pertanian propinsi dan kabupaten/ kota dalam melaksanakan tugas dan fungsiya yang berkaitan dengan aspek konservasi tanah dan air, maka perlu ada pedoman teknis pembuatan Rorak dalam upaya penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.

1.2. Tujuan

  1. Tujuan pedoman teknis pembuatan Rorak dalam upaya konservasi tanah dan air adalah : untuk memfasilitasi petugas Dinas lingkup Pertanian Propinsi dan Kabupaten sebagai bahan acuan dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan aspek konservasi tanah dan air TA. 2006.
  2. Tujuan Kegiatan pembuatan rorak adalah :
    a. Untuk mencegah disposisi/transportasi partikel tanah oleh erosi dan aliran permukaan ( run off)
    b. Menampung air hujan yang jatuh dan aliran permukaan dari bagian atas, serta partikel tanah yang tererosi dari bagian atasnya.
    c. Untuk mengembalikan produktivitas lahan, produksi usahatani dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

1.3. Sasaran

Sasaran kegiatan pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air pada TA. 2006 adalah lahan kering yang merupakan lokasi pengembangan usahatani konservasi lahan terpadu dan atau lahan-lahan kering berlerng yang memiliki potensi untuk pengembangan pertanian seluas 513 ha/ 15.390 unit, berada di 10 propinsi dan tersebar di 22 kabupaten/ kota lokasi kegiatan (daftar lokasi terlampir).

1.4. Pengertian

1. Konservasi Tanah

Konservasi tanah adalah usaha pemanfaatan tanah dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah- kaidah konservasi tanah dan air agar lahan dapat digunakan secara lestari.

2. Konservasi Air

Konservasi air adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara efisien pada musim kemarau

3. Rorak/ Saluran Buntu

Rorak/saluran buntu adalah suatu bangunan berupa got/ saluran buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah teras dan sejajar garis kontur yang berfungsi untuk menjebak/ menangkap aliran permukaan dan juga tanah yang tererosi.

4. Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya / terangkutnya tanah / bagian – bagian tanah ke suatu tempat atau ketempat lain oleh media alami.

5. Erosi Lembar (Sheet Erosion)

Erosi lembar (sheet erosion) adalah pengangkutan lapisan yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah.

6. Erosi Alur( Riil Erosion)

Erosi alur (riil erosioan) adalah suatu proses erosi yang terkonsentrasi dan mengalir pada tempat- tempat tertentu dipermukaan tanah sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut.

7. Erosi Parit ( Gully Erosion)

Erosi parit (gully erosion) adalah proses erosi yang hampir sama dengan proses erosi alur, tetapi saluran – saluran yang terbentuk sudah sedemikian dalamnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa.

8. Kemiringan Lahan

Kemiringan lahan adalah besaran yang dinyatakan dalam derajat / persen (%) yang menunjukkan sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi tempat . Kemiringan lahan dapat digolongkan dalam 7 (tujuh) golongan sebagai berikut:

a. Datar : kemringan lahan antara 0 – 3%

b. Landai/ berombak : kemiringan lahan antara 3 – 8%

c. Bergelombang : kemiringan lahan antara 8 – 15%

d. Berbukit : kemiringan lahan antara 15 – 30%

e. Agak Curam : kemiringan lahan antara 30 – 45%

f. Curam : kemiringan lahan antara 45 – 65%

g. Sangat Curam : kemiringan lahan antara > 65%

BAB II RUANG LINGKUP KEGIATAN

Ruang lingkup kegiatan pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air terdiri dari persiapan (survey penentuan calon lokasi dan calon petani), desain/rancangan teknis sederhana, konstruksi, konstruksi rorak, pemeliharaan, monitoring dan pelaporan.

2.1. Persiapan (survey penentuan calon lokasi dan calon petani/CLCP)

Kegiatan persiapan pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air terdiri dari kegiatan survey penentuan calon lokasi dan calon petani. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh calon lokasi pembuatan rorak dalam upaya penerapan salah satu bangunan konservasi untuk mengendalikan erosi pada lahan usahatani yang layak dan menginventarisasi calon petani pelaksana.

2.2. Desain/Rancangan Teknis Pembuatan Rorak/Saluran Buntu

Kegiatan desain/rancangan teknis pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air bertujuan untuk merancang suatu kawasan dengan batas-batas pemilikannya yang akan dipergunakan sebagai acuan teknis dalam pembuatan rorak dengan spesifikasi ukuran tertentu dan tata letak rorak pada bidang olah.

2.3. Konstruksi Pembuatan Rorak/Saluran Buntu

Konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu dibangun pada bidang olah dengan ukuran tertentu, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Rorak/saluran buntu ini bertujuan untuk menangkap air limpasan permukaan dan juga tanah yang tererosi.

Dengan demikian, maka diharapkan air dapat masuk ke dalam tanah dan menampung sedimentasi sehingga dapat mengendalikan erosi.

Pembuatan rorak/saluran buntu dapat dikombinasikan dengan bangunan konservasi tanah lainnya, seperti teras, guludan, saluran pembuangan air (SPA) dan lain-lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

Pelaksanaan pembuatan konstruksi rorak dilakukan secara kontraktual oleh pihak ke tiga. Namun demikian dalam pelaksanaannya di lapangan dapat menggunakan para petani pelakana sebagai tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dari petani pelaksana, sekaligus memberikan tambahan
pendapatan.

2.4. Pemeliharaan Rorak/Saluran Buntu

Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan pemeliharaan/perawatan terhadap bangunan rorak yang telah dikonstruksi. Hal ini dilakukan dengan cara setelah rorak penuh dengan endapan/sedimentasi tanah yang tererosi, digali kembali dan tanah galiannya diratakan pada bidang olah atau teras dan guludan.

Pelaksanaan pemeliharaan rorak/saluran buntu dilakukan oleh para petani pelaksana secara berkala sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

BAB III SPESIFIKASI TEKNIS

Pelaksanaan kegiatan pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air mengacu pada norma, kriteria, standar teknis dan prosedur sebagai berikut :

3.1. Norma

Kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu diarahkan pada lahan-lahan yang memiliki potensi penurunan daya dukung lahan terutama pada lahan-lahan kering yang peka terhadap erosi dalam upaya penerapan azas konservasi tanah dan air untuk pengembangan pertanian.

3.2. Kriteria

Kriteria lokasi pebuatan rorak/saluran buntuk dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut :

  1. Lokasi merupakan kawasan lahan kering yang masih diusahakan oleh petani, strategis, mudah dilihat dan mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat atau roda dua bila tidak memungkinkan
  2. Status pemilikan tanah jelas dan tidak dalam keadaan sengketa.
  3. Pada lahan tersebut terdapat petani diutamakan yang telah tergabung dalam kelompok tani.
  4. Petani bersedia mengikuti kegiatan dan melakukan pemeliharaan selanjutnya serta tidak menuntut ganti rugi.
  5. Terdapat petugas lapangan yang aktif.

3.3. Standar Teknis

Standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut :

  1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit.
  2. Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4 meter.
  3. Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal.
  4. Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan.
  5. Lahan peka terhadap erosi.
  6. Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah mengalami degradasi/menurun.

 

Gambar 1. Penampang membujur rorak dilihat dari atas
Gambar 1. Penampang membujur rorak dilihat dari atas

3.4. Prosedur

Prosedur pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut :

  1. Persiapan (CLCP)
  2. Desain (rancangan teknis) sederhana
  3. Konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu.
  4. Pemeliharaan
  5. Monitoring dan pelaporan

BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN

Sebagai penjelasan lebih lanjut dari prosedur yang ada maka pelaksanaan kegiatan pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

4.1. Persiapan (Survey Penentuan Calon Lokasi dan Calon Petani/ CLCP)

Pada tahap persiapan kegiatan yang perlu dilaksanakan adalah survey penentuan lokasi untuk memperoleh data primer di lapangan serta melakukan wawancara dan observasi/pengamatan langsung di lapangan.

Data primer yang dikumpulkan antara lain :

  1. Nama-nama petani calon peserta dan luas lahan kering yang diusulkan menjadi lokasi pembuatan rorak/saluran buntu.
  2. Status dan batas-batas pemilikan tanah.
  3. Keadaan tenaga kerja petani dan buruh tani.
  4. Keadaan petugas pertanian.
  5. Jenis tanaman yang sesuai (dapat tumbuh dan berbuah baik), jenis tanaman yang diinginkan oleh petani setempat.

Sedangkan data sekunder seperti keadaan iklim, keadaan tanah, sarana transportasi, prasarana dan sarana lainnya dapat diperoleh dari instansi terkait yang berada di daerah bersangkutan. Disamping itu untuk mempersiapkan para petani dalam pelaksanaan kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu dilakukan pula
pertemuan petani.

Dalam pelaksanaannya kegiatan survey dilakukan oleh suatu Tim Survey Penentuan Lokasi dari Dinas Pertanian Propinsi dan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian Kabupaten setempat dimana kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu itu berada.

4.2. Desain (Rancangan Teknis) sederhana

Kegiatan pembuatan desain/rancangan teknis pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air dilaksanakan secara kontraktual oleh pihak ketiga sebagai acuan atau patokan teknis dalam melaksanakan kegiatan konstruksi.

Desain sederhana dengan dasar peta administrasi desa setempat memuat halhal sebagai berikut :

  1. Batas-batas kelompok tani atau bila memungkinkan batas pemilikan lahan per petani, dilengkapi dengan nomor urut petani pemilik.
  2. Daftar nama petani dalam kelompok.
  3. Tata letak jalan usahatani, jalan desa, kandang ternak dan bangunan penting lainnya
  4. Tata letak bangunan rorak/saluran buntu.

Pembuatan desain ini dilaksanakan atas dasar observasi dan atau hasil pengukuran yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Mengingat keterbatasan dana yang ada didalam DIPA 2006, maka desain pembuatan rorak ini dibuat secara sederhana saja yang menggambarkan situasi lokasi kegiatan dengan daftar petani pesertanya. Bila tidak tersedia peta topografi sebagai peta dasar, maka dapat dipakai
peta administrasi desa / kecamatan sebagai peta dasar.

4.3. Konstruksi

Kegiatan konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu terdiri dari kegiatan pengukuran, pemasangan patok, dan penggalian. Kegiatan ini dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan melibatkan petani dan buruh setempat sebagai tenaga kerja karena pembuatan rorak dapat memberikan lapangan pekerjaan. Dalam  pelaksanaannya kegiatan ini mengacu kepada desain atau rancangan teknis sederhana yang telah dibuat. Tahapan kegiatan konstruksi adalah sebagai berikut :

1. Penyiapan lahan

Kegiatan penyiapan lahan dilaksanakan pada areal yang telah didesain sebagai lokasi kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu dengan pembabatan rumput/pembersihan lahan.

2. Pengukuran dan penggalian

Kegiatan pengukuran dilakukan pada bidang olah untuk membuat rorak dengan ukuran panjang 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,40 meter. Setelah pengukuran dilakukan penggalian tanah, dan hasil galian diratakan pada bidang olah atau pada guludan.

 

Gambar 2. Penampang melintang rorak (got buntu)
Gambar 2. Penampang melintang rorak (got buntu)

 

4.4. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan ditujukan untuk pemeliharaan bangunan rorak yang telah dikonstruksi. Kegiatan pemeliharaan dilaksanakan oleh petani peserta yang terhimpun dalam wadah kelompok tani secara swadaya dengan mendapat bimbingan dari petugas lapangan.

Kegiatan pemeliharaan ini merupakan wujud tanggung jawab petani pelaksana terhadap kelestarian bangunan konservasi yang telah dikonstruksi oleh pihak ketiga dimana para petani bertindak sebagai tenaga kerjanya, sehingga mereka memiliki rasa tanggung jawab untuk kelestarian dalam berusaha taninya.

4.5. Organisasi Pelaksana

1. Organisasi di tingkat PusatKegiatan di tingkat pusat di laksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Lahan, SubditRehabilitasi dan Konservasi Lahan dengan tugas :
a. Menyusun pedoman teknis pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air.
b. Mengalokasikan anggaran kegiatan sesuai dengan usulan/ proposal dari daerah / Kabupaten / Kota.
c. Melakukan bimbingan teknis dan pembinaan
d. Melakukan monitoring dan evaluasi serta penyusunan laporan

2. Organisasi di tingkan Propinsi
Kegiatan di tingkat Propinsi dilaksanakan oleh Dinas lingkup pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) dengan tugas :
a. Menyusun petunjuk pelaksaan sebagai penjabaran dari pedoman teknis pusat yang disesuaikan dengan kondisi lokalita setempat
b. Menyediakan dana APBD I untuk melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi.
c. Melakukan bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi.
d. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan, dan disampaikan ke Pusat secara berkala.

3. Organisasi di tingkat Kabupaten dan Kota.
Kegiatan di tingkat Kabupaten dan Kota dilaksanakan oleh Dinas lingkup Pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) dengan tugas :
a. Menyusun petunjuk teknis sebagai penjabaran dari petunjuk pelaksanaan yang dibuat oleh Propinsi yang disesuaikan dengan kondisi lokalita setempat

b. Melaksanakan pembangunan fisik pembuatan rorak/saluran buntu.
c. Melaksanakan bimbingan teknis kepada para petugas lapangan dan petani peserta pelaksana kegiatan.
d. Mengalokasikan dana APBD II untuk melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi.
e. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan, dan disampaikan ke Propinsi dan Pusat secara berkala.

BAB V MONITORING DAN PELAPORAN

5.1. Monitoring

Kegiatan monitoring pembuatan rorak/saluran buntuk dalam upaya konservasi tanah dan air bertujuan untuk mengetahui perkembangan kemajuan pelaksanaan kegiatan pembangunan rorak/saluran buntu yang telah dilaksanakan.

Dalam pelaksanaannya kegiatan ini dilakukan oleh petugas yang menangani/bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan usahatani konservasi lahan baik ditingkat pusat, propinsi, maupun Kabupaten secara terpadu dan terkoordinasi.

Hal-hal atau permasalahan dilapangan yang ditemukan atau diidentifikasi pada saat monitoring perlu diinventarisasi. Daftar inventarisasi permasalahan diberi skala prioritas dan dicarikan upaya pemecahannya untuk penyempurnaan perencanaan kedepan / lebih lanjut pada TA. 2007.

5.2. Pelaporan

Pelaporan adalah merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan di lapangan. Beberapa aspek penting yang perlu dilaporkan dalam kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu ini adalah gambaran umum lokasi, survey calon lokasi dan calon petani, desain sederhana, pelaksanaan konstruksi dan pemeliharaan, permasalahan yang dihadapi, saran pemecahan dll.

Pelaporan perlu dilengkapi dengan foto-foto dokumentasi pelaksanaan kegiatan di lapangan dan dikirimkan ke Pusat (Direktorat Pengelolaan Lahan, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian) di Jakarta. Disamping itu tabel laporan realisasi pelaksanaan kegiatan dapat dilihat pada lampiran 3.

BAB VI  INDIKATOR KINERJA

Secara umum indikator kinerja dari kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu ini adalah :

  1. Terlaksananya pembuatan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air pada areal lahan kering seluas 513 ha, sebanyak 15.390 unit di 10 propins pada 22 kabupaten.
  2. Terjadinya penyerapan tenaga kerja sebanyak 769 orang ( 7.695 HOK) untuk pembuatan rorak/saluran buntu.
  3. Diterapkannya upaya-upaya konservasi tanah dan air pada lahan usahatani.
  4. Menurunnya tingkat erosi, meningkatnya kesuburan dan produktivitas tanah.
  5. Meningkatnya pendapatan petani pelaksana usahatani konservasi lahan.

BAB VII   PENUTUP

Pembuatan rorak/saluran buntu adalah merupakan salah satu upaya penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dalam upaya pengendalian erosi pada lahan-lahan usaha pertanian.serta selakigus meningkatkan produktivitas lahan, dan pendapatan petani setempat. Oleh karena itu, indikator keberhasilan pembuatan rorak/saluran buntu ini terletak bukan saja pada penurunan tingkat erosi, perbaikan fungsi hidrologis/resapan, dan peningkatan produktifitas, tetapi juga pada peningakatan pendapatan petani.

Disadari bahwa untuk tahun anggaran 2006 ini, cakupan kegiatannya baru meliputi 513 hektar/15.390 unit yang tersebar di 10 Propinsi pada 22 Kabupaten. Namun demikian, dibandingkan dengan luas lahan usaha tani yang memiliki potensi degradasi akibat erosi sangatlah belum memadai.  Untuk tahun anggaran mendatang, diharapkan kegiatannya akan lebih luas mencakup seluruh propinsi terutama pada
daerah-daerah lahan kering yang peka terhadap erosi.

Untuk lebih menjamin keberhasilan kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air ini koordinasi vertikal maupun horizontal dengan instansi terkait serta pemberdayaan petani dan petugas, terutama petugas penyuluh lapangan, harus menjadi prioritas utama. Pada akhirnya pedoman ini
diharapkan dapat dijadikan acuan pelaksanaan bagi para petugas Dinas Pertanian baik di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota, maupun lapangan sehingga pelaksanaan kegiatan ini dapat memberikan hasil dan manfaat sesuai tujuan dan sasaran yang diharapkan dan dapat dikembangkan lebih lanjut ke lokasi lain dengan dana APBD Propinsi ataupun Kabupaten.

Sumber: http://www.bpdas-inrok.net/peraturan/PEDOMAN%20TEKNIS%20RORAK.pdf

Rorak

 

F. Agus)
Gambar 1. Rorak dengan teras gulud. ( Foto: F. Agus)

Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan (Gambar 1). Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan.

Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman 60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam. Dimensi rorak yang akan dipilih disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya yang akan ditampung.

Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi secara terus-menerus, bahan-bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru.

Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-IV.pdf

TEKNIK PENINGKATAN PRODUKSI JAMBU METE (Anacardium ocidentale L.) MELALUI TEKNOLOGI RORAK

Cecep Firman

¹Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan pada Kebun Percobaan Sukamulya, Balai Penelitian Tanaman Industri, Jalan Perintis Kemerdekaan km 8, Kotak Pos 19, Cibadak, Sukabumi 43155, Telp. (0266) 321239 , Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 2, 2006

PENDAHULUAN

Jambu mete (Anacardium ocidentale L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Areal jambu mete di Indonesia sampai Desember 2000 mencapai 560.813 ha, yang sebagian besar tersebar di kawasan timur Indonesia (KTI), dengan produksi 92.390 ton gelondong (Direktorat Jenderal Perkebunan 2001).

Salah satu sentra produksi jambu mete di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur. Daerah ini mempunyai agroekologi lahan kering dengan kesuburan tanah rendah, solum relatif dangkal, dan musim hujan yang singkat (3-4 bulan/ tahun). Luas areal jambu mete di Nusa Tenggara Timur sekitar 116.000 ha atau 20% dari luas total di Indonesia.

Jambu mete sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan produktivitas relatif rendah, yakni sekitar 350 kg gelondong/ha/tahun. Produktivitas sebesar itu lebih rendah dari rata-rata produktivitas di India, yaitu 500-1.000 kg/ha/tahun (Trubus 1993) dan jauh di bawah produktivitas jambu mete di Australia yang mencapai 4.000 kg/ha/tahun (Markamin 1996). Rendahnya produktivitas berkaitan erat dengan penggunaan bibit yang tidak jelas sumbernya serta teknik budi daya yang sangat sederhana, tanpa pemupukan dan pemeliharaan kurang optimal.

Mulai tahun 2000, program pengembangan jambu mete  diarahkan untuk merehabilitasi tanaman tua dan kurang  produktif. Karena pengembangan jambu mete dilaksanakan  di daerah marginal beriklim kering, diperlukan klon yang  berpotensi tinggi dan mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan, tetapi hingga kini klon tersebut belum tersedia.

Ketahanan tanaman terhadap kekeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat dan kemampuan akar tanaman untuk mengekstrak air dari dalam tanah secara maksimal (Morgan 1984). Rendahnya potensi air tanah dan terjadinya cekaman kekeringan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan produktivitasnya rendah. Kekurangan air sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis dan metabolisme tanaman. Pengaruh awal dari kekurangan air pada tanaman adalah terhambatnya pembukaan stomata daun serta terjadinya perubahan morfologis (pertumbuhan tanaman) dan fisiologis daun (Penny-Packer et al. 1990 dalam Rusmin et al. 2002). Wahid et al. (1998) melaporkan bahwa pada tanaman jambu mete, cekaman air berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif serta pembentukan tandan bunga, jumlah gelondong, dan hasil.

Pembuatan rorak merupakan suatu upaya untuk menahan air hujan yang berlangsung singkat (± 3 bulan) agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pertumbuhan dan peningkatan produktivitas tanaman jambu mete. Tujuan percobaan adalah untuk mengetahui pengaruh pembuatan rorak terhadap peningkatan pertumbuhan dan produktivitas tanaman jambu mete.


BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan di kebun jambu mete milik petani di Desa Nampar Mancing, Kecamatan Sano Ngguang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada bulan September 2004 hingga November 2005. Percobaan dilakukan pada pertanaman jambu mete umur 7 tahun. Luas lahan percobaan adalah 0,5 ha, jarak tanam 8 m x 8 m atau populasi tanaman 76 pohon.

Gambar 1. Denah pembuatan rorak pada tanaman jambu mete di Desa Nampar Mancing, Kecamatan Sano Ngguang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 2004- 2005

Pembuatan rorak dilakukan pada akhir musim kemarau yaitu bulan September 2004. Rorak dibuat di antara tanaman jambu mete sebanyak delapan titik dengan panjang 1 m, lebar 0,4 m, dan dalam 0,7-0,8 m (Gambar 1). Tanah galian disebarkan di sekeliling tanaman. Sebagian lubang galian diisi dengan serasah dari daun dan ranting jambu mete yang sudah lapuk dan kering. Alat yang digunakan adalah angkul, garpu, meteran, golok, dan ember.

Pengamatan dilakukan pada areal perlakuan dan areal  bukan perlakukan (kebun di sekitar lahan percobaan)  sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan pada fase  vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif, parameter yang  diamati dan diukur adalah tinggi tanaman, diameter tajuk,  lingkar batang, pertumbuhan tunas baru, warna daun, dan  kelainan morfologi. Pada fase generatif, parameter yang  diamati dan diukur adalah waktu keluar bunga, jumlah bunga  dan buah, jumlah dan bobot gelondong/pohon, bobot gelondong/butir, dan produktivitas.

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai  batang tertinggi. Diameter tajuk diukur pada bidang tajuk arah  utara-selatan dan arah barat-timur. Lingkar batang diukur  1 m di atas permukaan tanah. Jumlah tunas dihitung dalam  1m2. Warna daun tua dan daun muda dilihat dari contoh  masing-masing 20 helai/pohon. Bunga hermaprodit dihitung  persentasenya dari bidang seluas 1 m². Jumlah buah didapatkan  dari rata-rata jumlah buah/tangkai, sedangkan jumlah,  bobot dan produksi gelondong berasal dari gelondong yang dipanen selama tahun 2005.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan dan pengukuran terhadap pertumbuhan  vegetatif tanaman jambu mete disajikan pada Tabel 1 dan 2.  Pada lahan dengan perlakuan rorak, secara umum pertumbuhan  tanaman jambu mete lebih baik dibanding pada  lahan tanpa rorak. Perbedaan pertumbuhan dapat dilihat dari  perkembangan lingkar batang, diameter tajuk, dan warna  daun. Warna daun tanaman jambu mete pada lahan tanpa  rorak umumnya hijau pucat sampai kekuningan, sedangkan  pada lahan yang diberi rorak, daun berwarna hijau sampai hijau tua.

Pengamatan secara visual pada keragaan tanaman juga  memperlihatkan adanya perbedaan antara tanaman jambu  mete tanpa rorak dengan yang diberi rorak. Perbedaan terlihat  antara lain pada saat menjelang berbunga. Pada tanaman  jambu mete yang diberi rorak, tunas-tunas muda muncul  serempak dan menyeluruh pada permukaan tajuk, sedangkan  pada tanaman jambu mete tanpa rorak, tunas-tunas muda muncul tidak serempak terutama pada bagian atas.

Pertumbuhan generatif tanaman jambu mete yang  mendapat perlakuan rorak memperlihatkan perkembangan  yang lebih baik (Tabel 3). Pada saat berbunga bulan Juni-Juli,  bunga muncul serempak dan merata hampir pada seluruh  permukaan tajuk. Pada tanaman jambu mete tanpa rorak,  pembungaan kurang merata dan hanya terjadi pada sebagian permukaan tajuk bagian atas.

Pada panen tahun 2005, produktivitas tanaman jambu  mete yang diberi perlakuan rorak lebih tinggi dibanding yang tidak diberi rorak, baik produktivitas per pohon maupun secara keseluruhan. Gelondong dari tanaman jambu mete yang diberi perlakuan rorak umumnya lebih besar dan bernas. Sementara itu tanaman jambu mete yang tidak diberi rorak menghasilkan gelondong yang kurang bernas dan kecil.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pembuatan rorak pada pertanaman jambu mete di daerah dengan musim hujan relatif singkat (3-4 bulan) memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan pada fase vegetatif maupun generatif. Pembuatan rorak dilakukan pada akhir muasim kemarau, yaitu pada bulan September. Teknologi pembuatan rorak pada pertanaman jambu mete di lahan kering dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2001. Statistik Perkebunan  Indonesia 1998-2000: Jambu mente. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Markamin, S. 1996. Perbenihan jambu mente. hlm. 46-54. Dalam  M. Hasanah, D. Soetopo, Supriadi, H. Moko, dan R. Zaubin  (Ed.). Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu  Mente. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, 5-6 Maret 1996.

Morgan, I.M. 1984. Osmo regulator and water stress in higher plants. Annu. Rep. Plant Physiol. 35: 299-319.

Rusmin, D., Sukarman, Melati, dan M. Hasanah. 2002. Pengaruh  cekaman air terhadap pertumbuhan bibit empat nomor jambu  mente (Anacardium occidentale L.). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 8(2): 49-54.

Trubus. 1993. Peluang ekspor mente Indonesia belum sepenuhnya digarap. Trubus XXIV(279): 50-52.

Wahid, P., J. Pitono, dan M.Y. Lubis. 1998. Pengaruh cekaman air  terhadap pertumbuhan dan pembungaan pada tanaman jambu  mente. Laporan Teknis Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 49-58.


1 Komentar »

  1. tanaman apa yang cocok untuk tiap persentase kemiringan lahan???

    Komentar oleh zaki — November 24, 2011 @ 9:53 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.