BebasBanjir2015

Hariadi Kartodihardjo

Diskursus Menanam Pohon 1946-2006

Oleh Hariadi Kartodihardjo

Gerakan bertema “Aksi Penanaman Serentak Indonesia dan Gerakan Penanaman dan Pemeliharaan Pohon” dengan menaman 79 juta bibit telah dilaksanakan. Alasan mengapa pohon harus ditanam tidak perlu lagi dipertanyakan.

Pohon untuk perlindungan mata-air bagi kebutuhan suatu kelompok masyarakat sama pentingnya dengan pohon untuk mengurangi besarnya banjir maupun pohon bagi kebutuhan global terkait dengan perubahan iklim. Besarnya dukungan politik serta mobilisasi sumber daya menambah keyakinan bahwa menanam pohon tindakan benar.

Penanaman pohon selama 60 tahun terakhir (1946-2006) dilaksanakan dengan diskursus dan penjabaran cara kerja hampir serupa. Biaya dianggap sebagai masalah utama. Penetapan target luas tanam, misalnya, hanya dikaitkan dengan anggaran yang tersedia. Lembaga atau inisiatif nasional sebagai penggerak awal terputus dengan perangkat lokal yang memungkinkan bibit tumbuh menjadi pohon. Penanaman bibit menjadi titik awal sekaligus titik akhir.

Penanaman pohon periode 1946-1950 yang digerakkan melalui Komite Rehabilitasi Hutan, bertugas merehabilitasi sekitar 110.000 hektare hutan rusak pada masa penjajahan Jepang. Sesudahnya, periode 1951-1960, gerakan “Karang Kitri” telah pula dicanangkan untuk mendorong rumah tangga, khususnya di Pulau Jawa, menanam pohon di pekarangan rumah dan lahan-lahan terbuka lainnya. Selama periode ini kegiatan penanaman pohon dilaksanakan dalam skala kecil dan sporadis dengan keberhasilan sangat rendah.

Kegagalan penanaman pohon periode 1946-1960 menjadi pemicu dideklarasikannya Pekan Penghijauan Nasional (PPN) oleh Presiden Soekarno, tepatnya 17 Desember 1961. PPN diteruskan menjadi acara tahunan masa pemerintahan Orde Baru sampai 1996. Sejak akhir 1980-an proyek ini dikuatkan melalui Instruksi Presiden.

Sejauh ini tidak ada sumber informasi yang dapat memastikan berapa hektare penanaman bibit selama 50 tahun, 1946-1996, berhasil menjadi pohon. Penilaian umumnya dilakukan hanya saat berlangsungnya proyek. Hasil penelitian IPB (1998) menyebutkan, setelah tahun keempat tidak ada lagi kepedulian akan hidupnya pohon. Sebagian besar lokasi tanaman bahkan telah berubah menjadi tanaman pertanian, perkebunan, dan perkampungan.

Penanaman pohon menggunakan dana yang tidak kecil. Sebelum 1970 pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan didanai hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setelah itu lembaga donor ikut mendanainya. Antara 1972 dan 1978 kegiatan rehabilitasi dan penghijauan rata-rata membelanjakan biaya sekitar US$ 2,6 juta per tahun. Sebagai perbandingan dalam US$, untuk periode 2004-2006 anggaran naik sekitar 60 kali lipat menjadi rata-rata US$ 158,05 juta per tahun dengan wadah Gerakan Rehabilitasi Nasional (Gerhan), menggunakan dana APBN dari Dana Reboisasi. Tahun ini untuk pelaksanaan Gerhan dianggarkan US$ 302 juta. Selama tiga tahun pelaksanaan Gerhan telah ditanami lahan seluas 651.200 hektare atau 71 persen dari rencana. Pemeliharaan tanaman yang sudah ditanam sebelumnya seluas 870.200 hektare dapat direalisasikan seluas 365.800 hektare atau 42 persen (Dephut, 2007). Belum diketahui berapa tanaman yang hidup hingga saat ini.

Ketidakpastian Lahan

Selain dana APBN, dana alokasi khusus dari dana reboisasi (DAK-DR) juga digunakan untuk kegiatan yang sama oleh pemerintah daerah. Dalam laporan hasil penelitian di Provinsi Riau, misalnya, disebutkan bahwa selama periode 2001-2005 sebanyak 11 kabupaten/kota di Propinsi Riau menerima DAK-DR sebanyak Rp 431,5 miliar. Selama periode tersebut telah dilakukan penanaman dengan dana Rp 204,3 miliar atau sebesar 47 persen. Sisanya tidak terpakai. Pohon yang ditanam seluas 38.599 hektare.

Dalam publikasi berjudul Forest Rehabilitation in Indonesia: Where to after more than three decades?, CIFOR (2007), menyebutkan, penyebab utama kegagalan kegiatan rehabilitasi secara massal antara lain, masalah ketidakpastian penggunaan lahan, masalah kewenangan dan tanggung jawab pascaproyek, serta lemahnya penguatan lembaga masyarakat yang langsung terlibat di lapangan.

Untuk kasus Riau masalahnya serupa. Seluruh kabupaten/kota tidak memiliki data dan informasi cukup untuk menentukan lokasi bebas konflik. Pemeliharaan tanaman kurang tidak dilaksanakan. Tim pengendali, pengawasan, dan koordinasi tidak berjalan dengan baik.

Berbagai kasus di atas menunjukkan, kelembagaan menjadi persoalan utama. Ironinya, masalah kelembagaan tidak dianggap sebagai faktor penting. Dua hal menguatkan pernyataan ini. Misalnya, dalam pelaksanaan Gerhan alokasi seluruh anggaran periode 2003-2005 untuk pengadaan bibit dan penanaman sebesar 79 persen, sedangkan penguatan kelembagaan hanya sebesar 0,07 persen. Di samping itu, dalam perencanaan untuk semua jenis sumber anggaran, lemahnya kelembagaan di suatu tempat tidak mengurangi target luas tanam di tempat itu (Kartodihardjo, 2006).

Tidak pernah ada hutan bila tidak tumbuh bibit pohon. Gerakan menanam pohon dari tahun ke tahun menjadi syarat dan harus didukung. Masalahnya, sumber daya sebagian besar ditumpahkan pada saat penanaman. Perhatian belum ditujukan untuk menjawab mengapa bibit pohon mati sebelum waktunya. Akibatnya, gerakan menanam pohon belum menyentuh akar masalah yang harus dipecahkan. Setiap episode dukungan politik dan alokasi sumber daya belum banyak memberikan manfaat yang sesungguhnya diperlukan.

Lebih buruk situasinya manakala dukungan sumber daya yang tersedia secara global berjalan dengan arah yang sama. Indikasi ini tampak kuat dalam pembahasan mekanime penetapan insentif penanaman pohon dan mencegah kerusakan hutan hanya seputar transaksi jasa dari hutan sebagai penyerap karbon, tanpa melihat penanganan unsur penting penyebab kegagalan membangun hutan atau mencegah kerusakan hutan. Diskursus belum berubah. Inilah tantangannya.

Oleh Hariadi Kartodihardjo adalah pemerhati kehutanan dan lingkungan hidup, Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional, dan Dosen Fakultas Kehutanan IPB
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/11/index.html, 12 Desember 2007

Banjir dalam Sikap

Hariadi Kartodihardjo dan Sudarsono Soedomo

TERJADINYA korban maupun kerugian materi akibat banjir yang sudah hampir rutin saat ini tidaklah sepatutnya disebut sebagai bencana alam dan kemudian lepas tangan. Barangkali sikap yang perlu diwujudkan adalah pernyataan tegas tentang keangkuhan atau bahkan, maaf, kebodohan kita semua. Karena penyebab dan rekomendasi yang dikemukakan dari waktu ke waktu tetap yang itu-itu juga, tetapi senantiasa tidak ada pembaruan landasan kebijakan yang memungkinkan penyebab-penyebab banjir dapat diminimalkan.

BANJIR yang telah terjadi dan menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini sudah akan menjadi bagian rutin bagi kehidupan kita. Alasan teknisnya adalah telah tidak berfungsinya berbagai jenis kawasan lindung untuk menyerap air serta terhambatnya aliran air ke laut oleh berbagai sebab, termasuk lama waktu air laut pasang. Dengan demikian, penyebab banjir hampir selalu melibatkan alam dan manusia. Sesungguhnya kejadian banjir adalah hasil interaksi manusia dan alam yang keduanya saling memengaruhi dan dipengaruhi. Oleh karena itu, menunjuk faktor tunggal penyebab banjir, termasuk banjir bandang dan longsor, sangatlah tidak bijaksana dan kemungkinan besar akan salah arah.

Semakin meningkatnya besaran kerugian akibat banjir menggiring kita untuk menyikapi peristiwa yang sebenarnya terjadi secara rutin ini dengan lebih cermat. Sikap yang bagaimanakah yang diperlukan?

Sikap tersebut tergantung bagaimana kita memandang peristiwa alam yang menimbulkan banjir. Pertama, anggap saja pengaruh alam, dalam hal ini lama waktu dan tingginya curah hujan serta air laut pasang, adalah tetap (given), dalam arti tidak dapat dipengaruhi manusia. Pengaruh alam terhadap banjir sangat tergantung pada faktor frekuensi terjadinya dan magnitude-nya sehingga kemampuan memprediksi kapan terjadinya banjir merupakan penentu respons tindakan nyata yang dilakukan.

Banjir ukuran kecil lebih sering terjadi dan lebih mudah diprediksi. Sebaliknya, banjir besar mempunyai frekuensi kejadian yang lebih jarang dan lebih sulit diprediksi kapan terjadinya. Peristiwa tanah longsor lebih sulit diprediksi dibandingkan dengan peristiwa banjir. Maka sikap kita haruslah responsif dan antisipatif terhadap gejala alam tersebut. “Kita” dalam hal ini ditujukan terutama bagi lembaga-lembaga publik yang menjadi representasi orang banyak.

Kedua, pengaruh alam yang lain, seperti kawasan lindung yang telah rusak maupun banyaknya hambatan aliran air, hampir seluruhnya adalah pengaruh manusia terhadap alam, dengan pokok pangkal yang sama, yaitu sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang ditelurkan oleh lembaga-lembaga publik.

Dalam hal ini harus dihindari pernyataan yang sering muncul, “Banjir adalah tanggung jawab kita semua”. Tentu saja arti kalimat ini benar, tetapi gagal mengartikulasikan tanggung jawab yang harus dituntut, dan langkah perbaikan yang nyata. Karena persoalan yang paling mendasar saat ini bukan terletak pada tingkah laku perorangan, melainkan besarnya peluang (opportunity sets) bagi perorangan untuk merusak sumber daya alam akibat berbagai fungsi lembaga-lembaga publik yang tidak jalan.

MESKIPUN bukan satu-satunya faktor, kerusakan hutan terutama di kawasan lindung adalah faktor penentu terjadinya banjir. Sudah banyak masalah yang diungkap sebagai penyebab kerusakan hutan. Sintesis hasil sejumlah diskusi oleh alumni Fakultas Kehutanan IPB dalam acara “Hari Pulang Kampus”, September tahun ini, menunjuk beberapa penyebab kerusakan hutan, yaitu 1. Belum sinkronnya peraturan-perundangan, 2. Lemahnya kapasitas dan peran instansi pemerintah (pusat maupun daerah) yang menyebabkan lemahnya kebijakan maupun implementasinya, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi transaksi atau hubungan struktural antara pemerintah dengan masyarakat (termasuk dunia usaha), 3. Kedua hal tersebut menyebabkan tidak tertanganinya konflik sosial dan mudahnya kawasan hutan negara menjadi sumber daya yang memiliki akses terbuka (open access resources), serta 4. Besarnya hambatan untuk melakukan sinkronisasi kebijakan-meskipun sudah banyak sekali rekomendasi untuk itu-akibat perbedaan persepsi dan tingginya konflik kepentingan.

Situasi yang demikian itu secara umum menjadikan insentif, kemauan, maupun kemampuan untuk mengendalikan perusakan hutan sangat kecil, bahkan tidak ada. Sikap perorangan maupun instansi-instansi pemerintah pada umumnya menjadi myopic-pragmatis, reaktif, berpikiran sempit dan jangka pendek. Kondisi yang demikian itulah yang menjadi argumen mengapa berbagai rekomendasi teknis untuk memperbaiki kinerja pengelolaan hutan tidak berjalan.

Dalam skala wilayah, sikap pragmatis tersebut ditunjukkan antara lain oleh lahirnya proyek-proyek fisik pengendalian banjir secara parsial. Misalnya, berupa bangunan-bangunan air, rehabilitasi hutan dan lahan, pembongkaran bangunan yang tidak memenuhi tata ruang, dan lain-lain. Dua syarat agar proyek-proyek tersebut dapat berhasil guna sering kali tidak terpenuhi. Pertama, proyek-proyek yang dilaksanakan tidak menjadi kesatuan dan/ atau lokasinya tidak tepat untuk meningkatkan fungsi kawasan lindung di daerah aliran sungai (DAS) tertentu sehingga tidak mempunyai dampak signifikan.

Hasil identifikasi Lembaga Penelitian IPB (2002), misalnya, di DAS Ciliwung di tahun 2003 terdapat 102 proyek yang terkait dengan pengendalian banjir di Jakarta, tetapi mempunyai sinergi yang rendah. Kedua, manfaat proyek bagi peningkatan fungsi kawasan lindung adalah manfaat jangka panjang, namun keberlangsungan dampak jangka panjang dari proyek-proyek tersebut hanya diasumsikan pasti akan terjadi.

Terwujudnya kesatuan, ketepatan lokasi, dan manfaat jangka panjang tergantung pada aspek kelembagaan yang justru dalam perencanaan pembangunan saat ini selalu diasumsikan given atau diabaikan. Kelembagaan tidak pernah diangkat sebagai variabel yang selama ini menjadi penyebab berbagai kegagalan program pembangunan.

Sebut saja soal rehabilitasi hutan dan lahan. Hasil studi tahun 1998 menunjukkan bahwa pelaksanaan rehabilitasi hutan hanya berhasil sampai di akhir tahun ketiga, yaitu periode di mana proyek masih berjalan. Setelah itu, sebagian besar tanaman musnah akibat tidak adanya lembaga yang merasa punya kepentingan atas hasil rehabilitasi tersebut.

Contoh lebih baru, misalnya, evaluasi Departemen Kehutanan terhadap realisasi fisik hasil rehabilitasi hutan dan lahan dari Dana Alokasi Khusus tahun 2001 yang hanya 41 persen. Dengan mengacu hasil studi di atas, dapatlah diprediksi bahwa setelah tahun keempat hasil fisik tersebut akan berkurang. Meskipun masih terlalu dini untuk dinilai, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang bertujuan mulia diperkirakan akan mengalami nasib serupa apabila aspek penataan kelembagaan hanya menjadi kegiatan sampingan dan bukan menjadi syarat mutlak untuk dapat mempertahankan hasil gerakan tersebut dalam jangka panjang.

Penguatan aspek kelembagaan bukan hanya meliputi organisasi penanggung jawab pelaksana kegiatan, tetapi juga menyangkut kepastian hak (property rights) atas hutan dan lahan. Kawasan hutan dan lahan yang masih dalam sengketa tidak mungkin mewujudkan rasa memiliki (sense of belonging) bagi masyarakat. Ironisnya, dalam konteks ini, masing-masing sektor justru menganggap masalah hak-hak atas hutan dan lahan atau aspek-aspek tenurial menjadi bagian dari isu sensitif yang selalu dihindari. Hal ini tercermin secara jelas, misalnya, dalam rapat-rapat pembahasan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) maupun berbagai pertemuan antarsektor yang membahas penyelesaian konflik-konflik agraria.

Dalam skala nasional, sikap pragmatis tersebut ditunjukkan, misalnya, dalam agenda pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerja Sama dengan International Monetary Fund (IMF). Pertanyaannya bagaimana pemerintah memaknai kata “berkelanjutan” dalam inpres tersebut, sementara program ekonomi tidak dikaitkan dengan masalah kehutanan dan lingkungan hidup.

Dari 30 lembaga, Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup tidak ikut mendapat instruksi dalam inpres tersebut. Adanya dikotomi secara nyata antara sektor ekonomi dan lingkungan pastilah tidak akan menyentuh upaya perbaikan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup saat ini. Padahal, keduanya menjadi bagian dari akar terjadinya konflik sosial yang selama ini justru menghambat investasi maupun menyumbang kerusakan berbagai infrastruktur ekonomi akibat banjir, banjir bandang, dan longsor yang semakin rutin terjadi.

Artinya, program kedua sektor yang tidak termasuk dalam inpres tersebut justru menjadi bagian integral dari keberlanjutan ekonomi di masa depan. Kebijakan nasional seperti ini diperkirakan akan terus memicu eksploitasi sumber daya alam dan di waktu yang sama akan semakin sulit mengubah sikap myopic lembaga-lembaga pemerintah pusat maupun daerah.

HERMAN Daly memberi analogi yang menggambarkan keterkaitan antara ekonomi dan daya dukung lingkungan, dengan memakai garis Plimsoll yang biasa dikenal di dunia maritim. Garis Plimsoll memberi petunjuk sampai seberapa banyak muatan dapat dimasukkan ke dalam kapal agar keamanan berlayar tetap terjaga. Garis ini analog dengan daya dukung lingkungan. Sistem ekonomi analog dengan cara mengatur barang di atas kapal, dan apabila tidak efisien akan menyebabkan inefisiensi pemanfaatan ruang di dalam kapal, tetapi tak ada hubungannya dengan letak garis Plimsoll.

Dari indikator kerusakan sumber daya alam, lingkungan hidup, banjir maupun longsor, dapat ditunjukkan bahwa saat ini daya dukung lingkungan telah terlampaui. Merujuk kiasan Herman Daly, semestinya sikap pemerintah membantu mengatur barang di dalam kapal, dengan terus memperhatikan posisi garis Plimsoll. Tetapi, rupanya itu semua belum akan terjadi. Politik ekonomi nasional bahkan terus berjalan dengan angkuhnya, yang justru sepertinya memastikan bahwa garis Plimsoll tidak pernah ada.

Hariadi Kartodihardjo dan Sudarsono Soedomo Dosen pada Fakultas Kehutanan dan Program Pascasarjana IPB
Sumber: Kompas, 03 Januari 2004

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.