BebasBanjir2015

Aspek Politik

BANJIR ADALAH KEPUTUSAN POLITIK

Oleh: Transtoto Handadhari

Sumber: Harian Kompas, Senin 16 Februari 2009

Banjir ternyata bukan hanya fenomena alam, melainkan sudah merupakan akibat budidaya tangan manusia yang meninggalkan prinsip-prinsip keseimbangan alam yang dilakukan tanpa sadar sejak lama.

Hingga skala paling kecil pun, banjir adalah produk keputusan politik. Sebuah keputusan pembangunan yang laiknya dikatakan sebagai kemajuan peradaban masyarakat. Padahal, akibat perubahan keseimbangan alam untuk kepentingan pembangunan yang dilakukan tanpa mendahulukan kepentingan keselamatan lingkungan itulah yang selalu berujung terjadinya banjir. Yang fenomenal, rakyat menderita karena banjir, tetapi banyak kalangan justru menikmatinya.

Banjir Bengawan Solo merupakan salah satu puncak berita banjir, termasuk tahun 2009. Upaya sejak banjir besar tahun 1966, yang meningkatkan luas lahan berhutan sebesar 36 persen, atau sekitar 5.000 ha setiap tahun, pada periode tahun 1970-2003 ternyata diiringi meningkatnya luas permukiman dan pengembangan kawasan perkotaan dengan laju 4.169 hektar per tahun. Nilai koefisien air limpas (run-off) meningkat dari 0,34-0,56 tahun 1970 menjadi 0,49-0,66 tahun 2003.

Data perkembangan kemajuan pengembangan permukiman dan perkotaan di daerah lain, termasuk ibu kota Jakarta sendiri, serta rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di mana-mana, amat korelatif dengan maraknya berita banjir setiap musim hujan.

Paling tidak ada 36 DAS yang telah kritis di hampir seluruh sungai besar di Indonesia, di antaranya DAS Solo, DAS Brantas, dan DAS Ciliwung di Pulau Jawa. Banjir yang sebelumnya tak terlalu terdengar di luar Jawa—yang di Banjarmasin, Kalsel, hanya disebut ”air pasang”—akhir-akhir ini menjadi berita yang tidak kalah menakutkan.

Penyebab banjir adalah hilangnya kemampuan DAS menyerap air presipitasi karena berkurangnya penutupan lahan oleh pepohonan. Suka atau tidak suka, kerusakan hutan alam yang menyebabkan 59 juta hektar kawasannya perlu direhabilitasi (2000), perluasan budidaya lahan pertanian dan kebun, serta kemajuan perkotaan yang tidak dikendalikan, termasuk faktor utama penyebab banjir di luar Jawa. Curah hujan yang ekstrem menjadi faktor lain, tetapi baru terdengar menjadi alasan terjadinya banjir pada waktu sekarang.

Ekohidraulik

Upaya fisik dan penanaman hulu DAS yang telah dilakukan dalam skala nasional sejak tahun 1970-an sebenarnya tidak memberi hasil nyata. Upaya itu lebih dapat disebut sebagai proyek konvensional yang bersifat tambal sulam. Umumnya dilakukan dengan membuat tanggul atau memasang pompa air, sodetan sungai, menormalkan arah aliran sungai, membuat talut dan bronjong kawat. Penanaman pohon dianggap memerlukan waktu yang terlalu lama untuk dapat berfungsi efektif.

Kini, negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan lainnya telah melakukan penanggulangan banjir dengan metode ekohidraulik (ecological hydraulics). Metode itu diperkenalkan tahun 1980-an dengan mengutamakan peningkatan fungsi alam secara integral dalam pencegahan banjir.

Kunci pokok penanggulangan dan pencegahan banjir metode ekohidraulik adalah DAS yang sebenarnya juga telah diperkenalkan di Indonesia sebelum tahun 1970. Renaturalisasi sungai, mengembalikan belokan-belokan sungai yang sebelumnya diluruskan, menghidupkan bekas potongan sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan sungai, memelihara kealamiahan sungai-sungai level menengah dan parit, serta melakukan penanaman pada daerah hulu dan sepanjang aliran sungai, merupakan langkah cara ekohidraulik, menggantikan cara konvensional yang lebih mementingkan cara teknik sipil itu.

Metode ekohidraulik dalam pengembangannya harus memasukkan unsur-unsur sosial-ekonomi dan kultural, bahkan faktor perilaku penyelenggaraan negara, yang untuk negara maju bukan merupakan faktor kunci dalam masalah banjir. Jelasnya, metode ekohidraulik menawarkan penyelesaian alamiah yang komprehensif integral tanpa mengorbankan unsur ekologi lainnya. Namun, ada pertanyaan, apakah situasi kependudukan, sosial-budaya, dan perekonomian masyarakat Indonesia cocok untuk penanggulangan banjir cara ekohidraulik itu?

Keputusan politik

Fungsi legislatif dan eksekutif dalam pemerintahan menetapkan keputusan politik yang membawa arah pembangunan dan peradaban bangsa. Ironisnya, para penyelenggara pemerintahan maupun pelaksana kontrol dan penganggaran di legislatif tidak paham atau mengabaikan pemahaman kelestarian lingkungan.

Eforia perilaku mengedepankan kepentingan ekonomi, terutama kepentingan ekonomi individual, telah menjerumuskan masyarakat yang harus selalu berhadapan dengan bencana alam dan banjir.

Selayaknya analisis dampak setiap rencana pembangunan dilakukan atas dasar untung rugi nilai rupiah dan tangibilitas nilai lingkungan (benefit-loss analysis), termasuk analisis kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang harus dibangun lebih baik. Dinamika pembangunan harus dikawal ketat meski akan tampak tidak populer. Kita berharap memperoleh titik terang perwujudan penanganan masalah banjir ini dari hasil demokrasi politik Pemilu 2009.

Penulis: Pemerhati Ekosistem Lingkungan; Pengajar Pascasarjana Ekonomi Kehutanan

Bursa Cagub DKI Pascabanjir.

Salahuddin Wahid

Pemilihan gubernur DKI makin mendekat dan memasuki tahap menentukan yaitu penentuan cagub/cawagub oleh (koalisi) partai yang berhak mengajukan calon. Setiap partai yang punya kursi cukup lumayan di DPRD sibuk melakukan komunikasi politik di antara mereka dan juga dengan para tokoh yang dianggap layak untuk diajukan sebagai calon (gubernur/wakil gubernur).

Tampaknya nama-nama yang akan muncul sebagai cagub/cawagub makin mengerucut pada beberapa nama: Fauzi Bowo, Adang Dara- djatun, Agum Gumelar, Sarwono Kusumaatmadja, Faisal Basri dan Bibit Waluyo. Untuk cawagub, nama yang menonjol adalah Rano Karno. Lainnya ialah Dani Anwar, Jasri Marin, Biem Benyamin, Asril Tanjung.

Tiba-tiba terjadi bencana banjir dahsyat yang melumpuhkan DKI. Tudingan menyalahkan Gubernur Sutiyoso tidak bisa dielakkan. Sayangnya Sutiyoso sibuk mencari kesalahan di luar dirinya dan pemprov. Kita tahu bahwa terjadinya banjir dahsyat ini kesalahan banyak pihak termasuk Pemprov DKI. Sutiyoso menyatakan bahwa banjir ini siklus lima tahunan. Pernyataan ini dibantah sejumlah pakar. Hal ini menunjukkan bahwa gubernur tidak memahami apa yang terjadi.

Koran The International Herald Tribune dan The Financial Times menyatakan bahwa bencana di Indonesia (termasuk banjir DKI tentunya, SW), bisa dikurangi secara amat berarti apabila korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) bisa dibasmi dan birokrasi pemerintah bekerja dengan baik. Saya menggarisbawahi pendapat itu.

Tentu Fauzi Bowo tidak bisa melepaskan diri dari masalah tersebut. Saya tidak mendengar atau membaca langsung wawancaranya, tetapi Bambang Pranowo di media menulis bahwa Fauzi Bowo menyatakan banjir itu adalah peristiwa alam dan tidak mungkin bisa dikendalikan manusia. Upaya melawan banjir oleh warga di Pluit dan manajemen Hotel Regent/Four Seasons, yang ditahun 2002 terkena banjir dan sekarang tidak, menunjukkan bahwa kita bisa melawan banjir.

Pertanyaan yang muncul ialah apakah posisi Fauzi Bowo sebagai bagian dari pemprov yang disalahkan karena terjadinya banjir itu akan mempengaruhi “nilai jualnya” di dalam pandangan para pemilih dan karena itu juga didalam penilaian partai yang mencalonkan? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Secara rasional partai yang berminat terhadap Fauzi Bowo perlu mempertimbangkan kembali dengan serius pencalonannya. Tetapi seringkali politik memang tidak rasional.

Beberapa bakal cagub (Sarwono, Faisal Basri, dan Adang Darajatun) sudah ikut menyampaikan pandangannya tentang masalah banjir di dalam dialog di Metro TV (8-2-2007) bersama Sutiyoso, Menteri PU dan anggota DPD Marwan Batubara. Tentu dialog singkat itu tidak mungkin bisa mengungkap apa visi mereka tentang penanggulangan banjir.

Masyarakat menunggu penyampaian gagasan para tokoh yang berminat jadi cagub DKI untuk mengungkap visi dan misinya tentang masalah penanggulangan banjir dan banyak masalah lainnya. Para calon harus menguraikan secara cukup rinci, tidak hanya normatif, apa yang akan dilakukannya didalam melawan banjir. Termasuk di dalam menentukan prioritas anggaran.

Pedoman Partai

Apa pedoman partai di dalam memilih calon gubernur/calon wakil gubernur DKI? Sejauh informasi dan kabar burung yang saya peroleh, tampaknya yang paling menentukan ialah ketersediaan dana dalam jumlah amat besar. Bisa mencapai ratusan miliar. Partai yang bisa mengajukan calon tanpa koalisi tentu memasang tarif yang tinggi. Partai yang punya kursi lumayan saja ada yang memasang tarif tinggi.

Yang bisa melakukan negosiasi adalah DPD/DPW dan DPP. Seorang ketua umum dan pimpinan sebuah partai yang punya beberapa kursi di DPRD DKI (sebut saja partai A) didatangi seorang tokoh -yang tampaknya tidak punya dana besar- yang minta didukung menjadi cagub bersama partai lain. Salah seorang pimpinan dengan enteng dan lugas tanpa rikuh bertanya, berapa dana yang dipunyai.

Ada partai yang menyaring para pendaftar cagub/cawagub melalui proses dari bawah termasuk pemaparan visi dan misi oleh para peminat yang mendaftar. Ini adalah suatu proses bottom-up yang bagus. Tetapi ternyata proses seleksi itu tidak mengikat karena keputusan tetap ada di tangan DPP. Apakah penentuan oleh DPP itu juga mempertimbangkan faktor dana yang disediakan oleh balon untuk kas partai atau tidak, tidak jelas.

Tentu hasil survey juga menjadi acuan bagi partai di dalam menentukan calon, tetapi bukan acuan utama. Yang utama tampaknya kemampuan dana, baik untuk “menyewa kendaraan politik” atau untuk biaya kampanye. Visi dan misi serta kemampuan para bakal calon tampaknya hanya pemanis. Apalagi karakter (kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, keberanian, ketegasan) si bakal calon.

Sebenarnya masih banyak lagi masalah yang perlu ditanyakan kepada para cagub, selain masalah yang selama ini sudah banyak dibicarakan seperti transportasi, pendidikan, kesehatan. Yaitu antara lain masalah penggusuran PKL dan pedagang lama di pasar yang dibangun kembali.

Untuk kasus Blok M Square, menurut saya telah terjadi pelanggaran HAM terhadap para pedagang lama yang tergusur dan kehilangan haknya untuk bekerja karena tarif yang ditentukan PD Pasar Jaya (BUMD) amat tinggi dan tidak wajar serta tidak adil. Bisa jadi hal serupa terjadi di beberapa pasar lain yang diremajakan. Gubernur/wagub/ DPRD tidak ada yang bersuara membela para pedagang itu.

Saya khawatir banjir dahsyat yang melumpuhkan Jabodetabek tidak mampu menyadarkan penduduk DKI bahwa perlu ada perubahan dalam cara kita mengelola DKI dengan memberi perhatian lebih banyak kepada rakyat termasuk para PKL dan pedagang tradisional yang selama ini dianaktirikan oleh pemda. Saya juga khawatir para pemimpin partai lebih mengutamakan mencari dana dari para calon yang mereka dukung.

Kalau itu yang terjadi dan calon-calon yang muncul adalah mereka yang berparadigma lama -membela yang kuat dengan menindas yang lemah, memperhatikan yang kuat dan mengabaikan yang lemah- maka tidak akan terjadi perubahan apa pun. Artinya pemilihan langsung tidak banyak gunanya karena tidak merubah apa pun.

Karena itu, perlu ditanamkan kesadaran rakyat untuk memilih calon yang mampu, jujur, bertanggung jawab, tidak mencari kekuasaan untuk menumpuk harta, sederhana dan pro-rakyat. Masalahnya apakah tokoh semacam itu -ada beberapa di antara sejumlah bakal calon- akan dipilih sebagai calon oleh partai-partai yang punya legalitas mengajukan calon?

Kalau ternyata memang ketersediaan dana lebih penting daripada kemampuan, akseptabilitas dan karakter di mata partai-partai, tampaknya kita perlu menggugat monopoli yang kita berikan kepada partai di dalam mengajukan calon saat pilkada. Kita harus mendesak agar calon independen diperbolehkan ikut seperti di NAD, di dalam pilkada mendatang. UU yang mengatur masalah itu harus diubah.

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Sumber: SUARA PEMBARUAN;   18/2/07

Bersahabat dengan Banjir

Oleh: Eep Saefulloh Fatah

Banjir adalah bukti sebuah kegagalan kolektif. Ia adalah buah dari pohon yang kita tanam sendiri. Ia adalah konsekuensi tata kota dan gaya hidup kita yang abai pada lingkungan.

Banjir adalah bukti ketidakmampuan kolektif kita (hampir tanpa kecuali) dalam memelihara, mengelola, dan melakukan konservasi lingkungan. Akibatnya, secara rutin banjir menjenguk kita, merusak harta benda kita, mendatangkan kerugian materi sungguh besar, bahkan mengancam hidup kita dan mengembalikan kita nyaris ke titik nol.

 

Nyaris setiap kita, tanpa kecuali, punya sumbangan di dalamnya. Tetapi, tak ada gunanya saling tuding menyalahkan. Lebih baik mengambil pelajaran dari kesalahan yang kita buat (dan berulang-ulang) sambil belajar dari kasus pengelolaan banjir di tempat lain.

Mengelola banjir

Musim panas 2002 belum lagi berakhir ketika banjir besar mengepung sebagian kawasan Eropa Timur, Tengah, dan Barat. Praha, ibu kota Republik Ceko, adalah salah satu tempat yang dilanda banjir sangat parah.

Air sungai Vltava yang membelah kota Praha meluap. Di hari kedua banjir, air meningkat sekitar sembilan meter dari ketinggian normal. Sebagian besar kota Praha pun tergenang. Stasiun-stasiun dan jalur kereta bawah tanah terendam dan tenggelam.

Wilayah Stare Mesto, Nove Mesto, dan Mala Strana, salah tempat konsentrasi turis di Praha, tak luput dari banjir. Perumahan penduduk, perkantoran, universitas dan sekolah, serta hotel dan motel dikosongkan. Saya “beruntung” termasuk salah seorang yang mesti mengalami evakuasi saat itu sehingga bisa melakukan investigasi kecil-kecilan—sambil menyaksikan dari dekat—bagaimana pemerintah kota menghadapi banjir.

Ketika debet air sungai Vltava meningkat dengan sangat cepat, truk-truk berdatangan ke sejumlah lokasi yang paling rawan banjir. Truk-truk ini membawa pasir dan karung goni dengan bentuk yang dirancang khusus sehingga ketika sudah diisi akan bisa saling mengait dan menguatkan satu sama lain. Para petugas pemerintahan kota, sejumlah kecil polisi dan tentara dengan sigap bersatu bekerja bahu-membahu dengan penduduk di sekitar lokasi untuk mengisi karung-karung itu dengan pasir. Mereka membangun tanggul- tanggul darurat untuk menghalangi laju air atau membelokkannya.

Pemetaan lokasi rawan banjir—yang sudah dilakukan pemerintah kota sejak lama—menjadi panduan kerja itu. Dari mana pasir dan karung-karung yang sudah dirancang khusus itu? Ternyata, di pinggiran kota ada gudang-gudang penyimpanan karung serta tempat-tempat penimbunan pasir. Semuanya untuk mengantisipasi banjir yang biasa melanda kota pada waktu-waktu tertentu.

Selain itu, dari sejak awal kenaikan air sungai, rencana evakuasi sudah diumumkan pemerintah serta kemudian disebarkan melalui pengeras suara yang berkeliling ke sejumlah tempat. Hotel-hotel, misalnya, sudah memegang perintah evakuasi sesuai dengan tingkat kerawanan dan kemungkinan kedatangan air ke tempat mereka.

Sementara itu, pejabat publik, pusat maupun daerah/kota, mengoptimalkan media massa, terutama televisi, untuk memberikan informasi mengenai perkembangan banjir dan fasilitas-fasilitas penyelamatan diri yang disediakan pemerintah. Perahu-perahu karet serta tempat- tempat penampungan sementara juga disediakan dengan cepat menggunakan perlengkapan dan logistik yang juga sudah disiapkan jauh hari sebelumnya.

Banjir memang datang dengan sangat cepat. Tetapi, pemerintah dan warga kota dengan cekatan berusaha beradu cepat dengannya. Di sana-sini tentu saja ada kepanikan. Tetapi, semuanya sudah diantisipasi dan terpandu sehingga kerusakan dan korban pun bisa diminimalisasi.

Banjir Agustus 2002 di Praha adalah siklus satu abad. Pada tahun 1950-an Praha konon dilanda banjir dengan skala sama besarnya. Banjir-banjir dengan kekerapan yang lebih pendek, tahunan atau beberapa tahunan, juga kadang-kadang terjadi. Pemerintah kota yang sudah terbiasa menghadapi banjir pun terdesak mengambil pelajaran dan menyiapkan antisipasi. Pemerintah dan warga kota membiasakan diri bersahabat dengan banjir.

Atas nama persahabatan dengan banjir inilah, sekadar misal lain, kota Amsterdam ditata dengan sistem lalu lintas air yang terkelola dengan baik. Sekalipun ketinggian kota berada di bawah permukaan laut, luapan air laut di saat-saat tertentu tersalurkan melalui tata kota yang bersahabat dengan banjir.

Kegagalan pemerintah kota

Banjir, sekali lagi, adalah bukti kesalahan kolektif dalam pengelolaan lingkungan. Tak ada untungnya saling tuding, apalagi menuding satu pihak sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab. Tetapi, harus diakui bahwa tetap ada porsi besar dan signifikan yang semestinya diambil pemerintah kota (dan pemerintah secara umum) untuk mengelola perkara ini secara layak.

Ketika banjir datang berulang di Jakarta, maka selayaknya pemerintah kota memiliki kemampuan antisipasi, pencegahan, serta penanganan yang makin baik dan canggih dari waktu ke waktu. Tetapi, mari kita saksikan drama penanganan banjir besar Jakarta hari-hari ini. Semua itu membuktikan pemerintah (kota) saat ini tak lebih sigap dan cekatan.

Sampai dengan hari ketiga banjir, masih sangat banyak korban yang belum tersentuh bantuan dan fasilitas evakuasi. Di Jakarta, yang anggaran belanja negara berbilang triliun rupiah, fasilitas evakuasi dan penampungan sementara ternyata tak dimiliki pemerintah kota. Tentu kita mengerti, sebagaimana dijelaskan gubernur, tak mudah menjangkau semua korban. Tetapi, tetap terbukti pemerintah kota tak punya antisipasi dan lamban.

Dilihat dari sisi itu, banjir kali ini adalah bukti kegagalan Gubernur Sutiyoso dan Wakil Gubernur Fauzi Bowo serta para pejabat publik di daerah sekitar Jakarta. Mereka gagal menyiapkan kebijakan dan langkah yang bersahabat dengan banjir.

Dilihat dari perspektif kebijakan publik, penanganan soal banjir Jakarta ditandai oleh kelemahan pemerintah kota dari hulu ke hilir. Pemerintah selama ini tak mengelola secara layak pembentukan agenda, pembuatan kebijakan, pemilihan instrumen kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi dan monitoring kebijakan serta manajemen kebijakan yang ramah lingkungan.

Banjir pun dihadapi seolah kecelakaan biasa yang pasti tiba. Persoalan mendasar, termasuk kebutuhan konservasi lingkungan, tak pernah ditangani secara saksama. Sementara itu, secara fisik kota terus dikembangkan dengan rumus komersialisasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan menghadapi banjir dirancang, tetapi sambil membuat lebih banyak lagi kebijakan yang bermusuhan dengan kebutuhan konservasi lingkungan.

Menghadapi banjir, pemerintah kota berlaku seperti dokter yang memberi pasiennya obat analgesik. Yang diatasi hanya rasa sakitnya saja, sementara sumber penyakitnya sama sekali tak dibasmi. Maka, Jakarta dan kota di sekitarnya pun gagal belajar dari banjir demi banjir serta tak mampu bersahabat dengannya.

Tentu saja perbaikan dalam aspek ini tak bisa dikerjakan segera seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu panjang untuk bersahabat dengan banjir. Dan bagaimanapun, tak layak menuding pemerintah sebagai biang keladi banjir sendirian. Semua anasir kota—baik sektor publik, privat-swasta, maupun masyarakat—ikut memberikan kontribusi. Gaya hidup sehari-hari kita yang tak ramah lingkungan juga ikut menyumbang.

Semestinya, banjir berskala besar yang melanda kita hari- hari ini bisa mendorong kita melakukan pertobatan kolektif dengan memandang penting pemeliharaan lingkungan. Ya, demikianlah semestinya.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/06/Politikhukum/3297954.htm

EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif The Indonesian School of Democracy, Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sumber: KompasTanggal: 05 Feb 07

Politik Banjir;  Menebar Simpati, Membantu Korban, Siapa Tahu Menambah Kursi…

Oleh: M Zaid Wahyudi

Sejak banjir menggenangi wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak Kamis (1/2), bukan hanya air keruh yang menghiasi jalan dan permukiman warga di lokasi bencana. Atribut partai politik pun menjamur seiring kian banyaknya daerah yang terkena banjir.

Pos bantuan dan dapur umum banyak didirikan sejumlah partai. Tak cukup dengan tenda sebagai tempat koordinasi dan pengelola bantuan, atribut partai pun disertakan.

Atribut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) terlihat di sejumlah lokasi banjir, seperti di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dan Petamburan, Jakarta Pusat.

Atribut partai lain yang juga terlihat adalah Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Persatuan Pembangunan. Partai baru, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak ketinggalan membantu korban dengan tentu tak melupakan atributnya pula.

Kader partai di sekitar lokasi bencana dikerahkan sebagai tenaga sukarela. “Dari delapan RW di Kampung Melayu, PD mengerahkan 25 kadernya di setiap RW,” kata Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Dewan Pimpinan Cabang PD Jakarta Timur Tomy RS.

Di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, PKS membuka pos bantuan induk, mengoordinasikan 10 pos bantuan cabang yang tersebar di setiap kelurahan. Selain memanfaatkan kader berjumlah 100 orang yang dibagi dalam tiga kelompok kerja pada setiap posnya, PKS juga menggalang kerja sama dengan warga.

Pembentukan pos bantuan bagi korban banjir itu adalah instruksi pimpinan partai. Kader yang tinggal di daerah bencana pun wajib membentuk pos bantuan bagi warga meski keluarga mereka turut menjadi korban.

Walaupun menampik anggapan jika bantuan yang diberikan hanya untuk menarik simpati warga demi meraih dukungan pada Pemilu 2009, Tomy dan Ridwan, Ketua Posko Induk DPC PKS Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak menyangkal apa yang mereka lakukan dapat meningkatkan citra positif partai.

Dengan citra partai yang terjaga, dukungan rakyat dalam Pemilu 2009 diharapkan kian meningkat. Jumlah kursi di lembaga legislatif pun akan bertambah. Artinya, kekuasaan yang dimiliki parpol dalam negara akan semakin besar.

“Ini pertolongan bagi siapa pun. Siapa pun yang terpanggil boleh membantu,” tegas Tomy.

Menurut Ridwan, partai dalam membantu korban di daerah bencana bukan kerja politik. Kader partai, seperti warga lainnya, wajib membantu warga lain yang mengalami bencana.

Wali Kota Jakarta Pusat Muhayat menilai kerja kemanusiaan yang dilakukan sejumlah kader parpol itu bisa mengurangi beban yang ditanggung korban. Tetapi, peran terbesar penanganan bencana dilakukan masyarakat sendiri, yang lebih tahu kondisi dan kebutuhan mereka.

Guru besar ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Bachtiar Aly menilai upaya partai yang memanfaatkan bencana sebagai media untuk menarik simpati masyarakat adalah tindakan yang cerdik. Dalam kondisi kesusahan seperti saat ini di Jakarta dan sekitarnya, siapa pun yang berbuat kebaikan akan selalu diingat warga.

“Ambil sisi positif dari hadirnya partai politik pada saat bencana. Yang penting, bantuan sampai ke masyarakat,” kata Bachtiar, Senin (5/2).

Namun, usaha menarik simpati rakyat itu tak efektif bila bantuan hanya diberikan saat bencana. (m zaid wahyudi)

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/07/Politikhukum/3299669.htm

M Zaid Wahyudi
Keterangan Artikel

Sumber: Kompas Tanggal: 06 Feb 07

Banjirpolitan’ dalam mistisisme politik

Oleh: Stevanus Subagijo

Adakah dugaan mistisisme politik negeri ini di tengah bencana yang bertubi-tubi? Gempa, tsunami, lumpur panas, kecelakaan kapal, pesawat, kereta, flu burung, hingga ‘banjirpolitan’ Jakarta datang secara beruntun.

Mistisisme politik yang ramai diperbincangkan rakyat adalah, ada apa dengan lakon pemerintahan SBY-JK, yang mestinya legitimate secara politik maupun mistis, sepertinya bernasib kurang mujur. Alhasil, ketika pemerintahan SBY-JK dituntut untuk lari kencang memulihkan bangsa, terus dirundung-hambat oleh bencana bertubi yang menguras anggaran dan fokus pemerintahan.

Terlepas dari mistisisme politik yang mencoba mempertanyakan legitimasi mistis penguasa dengan fenomena bencana alam, boleh-boleh saja dilakukan meski objektivitasnya sulit.

Pemerintah tidak bisa menggampangkan bahwa semua musibah yang terjadi itu pada akhirnya akan berujung pada kebaikan. Tentu saja setiap musibah bisa diambil hikmahnya, tetapi tidak berarti bahwa demi sebuah hikmah sebuah pemerintahan ditakdirkan ‘layak dimusibahi’.

Meminjam adagium politik ‘Gusti ora sare’ dari Sukardi Rinakit, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, dalam konteks ini tidak berarti bahwa semua musibah yang terjadi pada pemerintahan kini dimistifikasikan dengan ‘Tuhan tidak tidur’.

Tuhan dengan melek dan objektif bisa jadi akan memberikan nilai lebih tinggi meski kinerja pemerintahan kini dirundung bencana. Bicara pemerintahan di tengah bencana bertubi-tubi berarti bicara apa kata Tuhan nanti, bukan bagaimana kinerja dan ramalan mistisisme politik pemerintah kini.

Bencana boleh silih berganti tetapi ‘Gusti ora sare’ yang dimaknai agar seseorang belajar menerima keadaan dengan sabar dan meyakini bahwa time will tell the truth. Waktu jualah yang akan membuktikan semuanya itu. Apa yang dilakukan pemerintah adalah yang terbaik, bencana membawa hikmah besar (mestinya juga jangan dilupakan korban yang sangat besar).

Pokoknya akan berakhir dengan happy ending meski faktanya bencana demi bencana berakhir dengan akhir yang mengenaskan, air mata, keputusasaan dan trauma. Ungkapan time will tell the truth bukan kata-kata indah menyejukkan agar rakyat percaya begitu saja akan suatu akhir pemerintahan dengan baik di tengah bencana yang begitu dahsyat dan bertubi-tubi.

Tuhan berbicara?

Upaya untuk mendelusikan kenyataan objektif bencana bertubi-tubi atas sebuah pemerintahan dengan mistisisme politik ‘Tuhan tidak tidur’ tampaknya menjadi benang merah kepemimpinan nasional.

Mistisisme politik seperti ini berakar jauh pada pola kepemimpinan lokal bahwa pemimpin terpilih dipercayai sebagai titisan, minimal pilihan Tuhan sebagai orang pertama sehingga rasa percaya diri pemimpin lebih kepada apa kata Tuhan nanti, bukan apa kata rakyat sekarang yang menuntut bukti perubahan dan mengkritik pedas.

Dengan meyakininya, pemimpin merasa lebih ‘stabil’ dalam menjalankan pemerintahannya, meski rakyat mulai gundah dengan tanda-tanda zaman. Rakyat tewas massal, lari lintang pukang, mengungsi ke sana sini, tanpa ada kepemimpinan di tengah krisis akibat bencana.

Mistisisme politik ‘Gusti ora sare’ di satu sisi sangat baik agar pemimpin bertanggung jawab kepada Tuhan karena menjadi orang nomor satu, tapi di sisi lain juga bisa menjadi kedok ketidakmampuannya dengan merefleksikan kenyataan yang stagnan atau gagal lewat fenomena bencana sebagai ‘oposisi politik dari alam’ yang paling nyata, bahkan lebih oposan dari sikap politik PDIP.

Bencana bukan hanya mengkritik pedas penguasa tetapi juga menentangnya. Jangan bicara pembangunan jika bencana merusaknya. Dengan kedok mistisisme politik ‘Tuhan tidak tidur’ yang disadari sangat aman, karena toh Tuhan juga tidak pernah mendemo atau keras mengkritik, padahal bisa jadi bencana alam adalah suara Tuhan.

Jadi ‘Tuhan tidak tidur’ seharusnya disikapi Tuhan memang tidak tidur, tetapi sedang menegur keras bangsa ini. Jauh-jauh Voltaire pernah mengatakan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. ‘Tuhan tidak tidur’ mestinya dimaknai ‘Tuhan sedang berbicara’ yang terefleksi pada suara rakyat yang putus asa, mulai dari petani, korban bencana, keluarga miskin, sampai anak sekolah.

Tak bisa tidur

Menghadapi mistisisme politik seperti ini tidak bisa tidak membuat kita harus mengevaluasi dengan bukti-bukti, dan tidak terpusatkan melulu pada keyakinan ending suatu kebijakan, di mana waktu akhirlah yang akan berbicara nanti.

Karena pengharapan itu masih jauh di belakang, cara seperti ini merupakan mistisisme politik yang kurang bertanggung jawab. Perubahan terjadi melalui proses dan bukan instan, proses yang mengarah pada perubahan yang semakin baik harus bisa dirasakan dan bukan diyakini saja.

Ada tolok ukur dan bukti yang harus bisa dirasakan nyata. Niat baik saja seperti kompensasi dana bantuan bencana alam untuk korban masih menjadi kata-kata manis yang harus dibuktikan.

Dalam konteks bencana alam, adagium politik ‘Gusti ora sare’ telah melahirkan adagium politik tandingan ‘rakyat ora turu’ (rakyat tidak tidur). Sudah menjadi kebiasaan kita setiap bencana datang dihantui oleh sindrom kehidupan yang makin berat pada rakyat.

Efek domino mulai dirasakan, di sisi lain muncul ‘kehidupan lempar risiko’, di mana bencana selalu meningkatkan risiko yang harus dilemparkan dalam bentuk kenaikan harga-harga, serta penurunan kuantitas atau kualitas kehidupan.

Makna pertama, dari politik ‘rakyat ora turu’ adalah rakyat tidak bisa tidur karena dampak bencana sehingga harus menanggung risiko hidup. Makna kedua, rakyat bukan hanya tidak tidur karena harus memulai dari nol, tetapi bisa lebih parah lagi rakyat sudah ‘ora biso turu’ (tidak bisa tidur) karena simalakama sulitnya penghidupan, tidak mencukupinya nafkah, dan tak tahu harus memulai dari mana.

Pemerintahan adalah ruang-waktu untuk diisi dengan perubahan yang lebih baik.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta
Keterangan Artikel

Sumber: Bisnis Indonesia

Tanggal: 08 Feb 07

Catatan:

Banjir dan Politik

Oleh: Azyumardi Azra

Banjir—seperti banyak bencana lainnya—belakangan ini tidak lagi sekadar fenomena alam yang biasa. Berbagai penelitian dan kajian akhir-akhir ini menunjukkan, berbagai bencana tersebut semakin merupakan hasil dari perbuatan manusia, yang tidak bersahabat dan tak sensitif terhadap alam. Oleh karena itu, pada dasarnya banjir dan bencana lain dapat diantisipasi dan diupayakan agar tidak memakan korban harta benda dan nyawa yang begitu banyak; ditekan sampai ke tingkat paling minimal.

Kombinasi antara gejala alam yang dalam belum sepenuhnya dapat diungkapkan ilmu pengetahuan dengan pandangan dunia, gaya hidup, dan tingkah laku manusia telah mengakibatkan berbagai bencana lama yang kian dahsyat dan mencemaskan masa depan manusia dan alam itu sendiri.

Lihatlah perubahan iklim dan cuaca yang ekstrem di berbagai penjuru dunia. Banyak kawasan di Belahan Utara Dunia (Northern Hemisphere) sampai akhir Desember dan awal Januari lalu mengalami musim dingin yang hangat; salju yang turun sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga banyak ski resort yang harus tutup. Ini mengakibatkan banyak orang yang bekerja di sektor ini menjadi penganggur. Namun, tiba-tiba pada akhir Januari dan awal Februari, gelombang yang sangat dingin melanda kawasan Belahan Utara Dunia tersebut. Kehidupan menjadi lumpuh.

Hal yang sama juga terjadi di Tanah Air. Pada Desember, curah hujan yang sangat tinggi mengakibatkan banjir dan longsor di berbagai tempat. Pada pekan-pekan pertengahan Januari, di Jakarta, suhu udara menjadi sangat panas, di luar kebiasaan. Selanjutnya datanglah musibah banjir besar, yang menenggelamkan sekitar 60 persen wilayah Ibu Kota dengan korban nyawa lebih dari 80 orang. Kerugian harta benda nyaris tak terhitung.

Memandang “gejala- gejala” alam yang aneh itu cukup beralasan jika muncul apa yang disebut sebagai climate hysteria, kekhawatiran dan ketakutan karena berbagai perubahan iklim.

Histeria perubahan iklim tersebut menguat karena prediksi berbagai lembaga lingkungan alam menyatakan, misalnya, menjelang 2100, karena pemanasan global yang mengakibatkan mencairnya es di kawasan Kutub Utara dan Selatan, permukaan air akan naik beberapa meter. Jika ini terjadi, tidak hanya membuat beberapa negara Eropa tenggelam, tetapi juga ribuan pulau di Indonesia akan hanya tinggal sejarah.

Dalam konteks Indonesia, pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab atas bencana banjir dan berbagai bencana alam lain yang terus melanda? Jawaban tipikal kalangan kita adalah tidak ada siapa-siapa yang perlu disalahkan karena semua itu merupakan musibah dan ujian dari Tuhan Yang Maha Esa atau bahkan sudah merupakan takdir.

Jika mau jujur, kita semualah yang bertanggung jawab atas berbagai bencana alam. Pemerintah—baik pusat maupun daerah—agaknya merupakan pihak yang perlu dituntut tanggung jawabnya karena gagal membuat perencanaan secara komprehensif dan koheren dan menjalankan program secara konsisten guna mengantisipasi berbagai bencana alam.

Selain karena persoalan anggaran, juga karena program tertentu mendapat resistansi dari masyarakat, seperti dalam kasus pembuatan waduk dan kanal banjir di Jakarta Timur.

Selain resistansi itu, juga banyak hal lain yang tidak kondusif. Karena berbagai faktor tertentu, banyak kalangan masyarakat kita menempuh gaya hidup yang sama sekali tidak bersahabat dengan alam, yang pada gilirannya mencelakakan diri mereka sendiri. Lihatlah, pinggir sungai, situ, dan waduk menjadi permukiman ilegal. Atau bahkan legal—karena ada izin dari pihak berwenang—sebab diuruk menjadi real estat, mal, dan banyak lagi. Atau bahkan tak kurang parahnya, sungai, situ, dan selokan menjadi tempat pembuangan sampah. Jika pemerintah menertibkan dan merelokasi masyarakat yang bermukim di sekitar daerah aliran sungai, reservoir, dan serapan air tersebut, yang ada hanyalah resistansi.

Lebih celaka lagi, baik pemerintah maupun masyarakat kita umumnya cenderung tak pernah mau belajar dari pengalaman pahitnya menghadapi bencana. Begitu bencana berlalu, kita kembali kepada kehidupan seperti biasanya; kita adalah masyarakat yang careless, ceroboh, karena tak mau belajar dan sekaligus tak punya kepedulian yang berkesinambungan.

Namun, di tengah realitas seperti itu, di tengah bencana banjir, selalu ada pihak yang melihatnya sebagai peluang politik.

Lihatlah para pejabat, elite politik, dan aspiran politik yang berlomba-lomba “menyantuni” para korban banjir di Jakarta. Berbagai bendera parpol bertaburan di sekitar daerah bencana, di posko-posko, dan bahkan di kardus-kardus makanan instan.

Gejala ini menunjukkan, kalangan elite politik dan parpol kian sadar, membantu para korban banjir—dan bencana alam lainnya—dapat menjadi peluang untuk penggalangan “modal politik” (political capital), baik dalam konteks Pilkada DKI Jakarta maupun Pemilu 2009. Melalui bantuan yang mereka berikan, para korban bencana dan masyarakat lainnya nanti memberikan suara kepada parpol dan calon mereka.

Karena itulah, banjir di Jakarta bukan lagi sekadar bencana, tetapi juga berkembang menjadi masalah politik, baik pada tingkat lokal DKI Jakarta maupun nasional. Ketika banjir menjadi isu dan masalah politik, tatkala itu pulalah terjadi gesekan dan tensi politik di antara para elite politik, baik yang tersembunyi dalam arus maupun yang terungkap ke ranah publik.

Banjir dan bencana lainnya seharusnya lebih mendorong terciptanya solidaritas sosial, yang pada gilirannya dapat memperkuat social capital bangsa, bukan lebih untuk menggalang political capital. Masyarakat kita memang lebih memerlukan solidaritas sosial dan sensitivitas daripada penggalangan politik. Dan ini lebih menenteramkan masyarakat yang terus gundah.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/13/utama/3314850.htm

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Keterangan Artikel

Sumber: Kompas, 12 Pebruari 2007

Politik Banjir Megapolitan?

Christianto Wibisono

Masalah banjir sudah dibahas dengan pendekatan multidisiplin, multidimensi, multisektoral, multilateral dan entah multi apa lagi. Semua mencerminkan kegemasan, kecemasan dan frustrasi sosial yang tinggi.

Satu lagu lama yang mencuat ialah bahwa masalah banjir memerlukan pendekatan terpadu kawasan Jabodetabek- Punjur untuk pembenaran adanya “Menteri Megapo- litan”.

Paduan suara itu menjadi tidak relevan karena Profesor Sejarah Hubungan Eropa Asia Leonard Blusse dari Leiden menyatakan bahwa Belanda mampu mengatasi dampak penggundulan sungai Rhine di wilayah hulu di Jerman.

2/3 wilayah Belanda berada dibawah permukaan laut, demikian pula 40 persen Jakarta. Belanda menjadi ahli ekosistem bawah laut sehingga untuk membangun kembali New Orleans akibat banjir Katrina, AS mengundang tim ahli Belanda.

New Orleans di Lousiana dibangun oleh Prancis yang lebih mengutamakan estetika ketimbang ekosistem. Rencana pembangunan Banjir Kanal Timur sejak 1933 tetap relevan setelah 73 tahun. Apa yang dikerjakan elite nasional Indonesia selama hampir 62 tahun merdeka?

Problem banjir Jakarta dan aglomerasi kawasan megapolitan Jabodetabek merupakan konsekuensi logis dari konsentrasi kekuasaan politik selama setengah abad Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman Hindia Belanda, Batavia hanya ibu kota politik.

Sedang pusat kegiatan ekonomi, bisnis, industri adalah Surabaya yang mirip New York terhadap Washington. Atau Shanghai terhadap Beijing dan Sydney dengan Canberra. Di zaman Belanda, Surabaya menjadi pelabuhan terbesar, kota dagang dan industri terkemuka yang produksi dan ekspornya diatas Jakarta. Jadi orang Surabaya dan Jawa Timur tidak perlu berbondong bondong sowan atau cari nafkah ke Jakarta.

Sistim politik kekuasaan manunggal disatu tangan kepresidenan dan eksekutif telah membuat Surabaya dan pusat-pusat kota lain yang dizaman Belanda punya prospek pertumbuhan setara dengan Jakarta, tersendat dan mencuatkan konsentrasi monster Jabodetabek Punjur. Disini segala macam penyalahgunaan dan hukum rimba bisa terjadi.

Pemda lokal tingkat dua, kabupaten, kota madya atau provinsi jelas tidak akan berani menolak.

instruksi, kehendak atau himbauan pejabat Jakarta, atau Istana dalam menikmati perubahan Tata Ruang dengan Tata Uang atau tekanan despot.

Rancangan Kolonial

Reformasi yang membuka desentralisasi dan dekonsentrasi serta otonomi daerah merupakan ayunan pendulum dari pola konsentrasi Orde Baru. Namun arus migrasi ke Jabodetabek tetap mengalir mirip arus imigran Amerika Latin ke AS.

Paralel dengan meningkatnya kebutuhan lahan, alokasi dana kurang mencerminkan kepedulian dan prioritas pengendalian banjir yang sudah dirancang sejak 1933 oleh pemerintah kolonial. Selama Indonesia merdeka, memang banyak bangunan baru dibangun oleh pemerintah RI.

Tapi pengendalian banjir Jakarta masih mengandalkan pintu air Manggarai warisan kolonial yang tidak pernah diperbaharui atau ditambah. Banjir Kanal Timur hanya jadi wacana dan rencana dengan alasan kurang dana.

Padahal dana yang diperlukan hanya Rp 5 triliun. Bandingkan dengan estimasi kerugian banjir menurut Menteri Kepala Bappenas, Paskah Suzetta Rp 4,1 trilyun untuk Jakarta saja. Ini berarti, seandainya pemerintah pusat dan DKI berkongsi konkret membangun banjir kanal maka kerugian itu bisa terhindar dan DKI sudah punya banjir kanal. Alokasi dana untuk busway melebihi keperluan pembebasan tanah banjir kanal.

Pembangunan megapolitan akibat konsentrasi ekonomi bisnis ke pusat ibukota politik tidak terhindarkan. Pusat-pusat pertumbuhan di luar Jakarta masih seperti Segitiga Jogya-Solo- Semarang dan Gerbang Kertosusilo di Jatim masih sulit menjadi magnet tandingan Jabodatabek.

Tapi memang aglomerasi ke kawasan metropolitan tidak terhindarkan, juga di AS. Diproyeksikan akan terjadi 4 konsentrasi urban yaitu Los Angeles, New York, Houston Texas dan Miami Florida. Sementara di Indonesia, bila tidak dikembangkan pemerataan ke daerah, maka situasi mirip 4 pusat urban AS ditumplek blek ke Jabodetabek men- jadi urban monster tak terji- nakkan.

Sekarang Presiden mencanangkan 1000 menara rusun untuk memelihara daerah resapan air. Sebab memang pertumbuhan penduduk dan migrasi ke Jabodetabek tidak bisa tertahan, kecuali pola pembangunan menyebar ke seluruh wilayah diluar ibukota digalakkan lebih proaktif.

Pembangunan banjir kanal dan penataan kembali Tata Ruang barangkali bisa melibatkan Bank Dunia dan tim ahli Belanda. Ali Sadikin pernah mempelopori program perbaikan kampung, yang menjadi acuan Bank Dunia dan memberi pinjaman lunak kepada Pemda DKI. Perbaikan kampung dijadikan pola bantuan negara berkembang lain.

Sekarang dalam pembangunan menara rusun untuk menghemat lahan dan urgensi pembangunan banjir kanal yang memerlukan dana jangka panjang, diuji kecanggihan diplomasi untuk melibatkan Bank Dunia. Paul Wolfowitz sedang berusaha merubah citra Bank Dunia sebagai lembaga pembiayaan peduli rakyat kecil.

Sok Populis

Suatu pembangunan banjir kanal terpadu sekaligus sebagai obyek wisata model kanal Amsterdam dan bis air (angkutan lewat kanal) dari hulu ke hilir bisa merupakan program dengan multiple effect dalam jangka panjang.

Elite sok populis biasa berteriak, kita cukup kaya, punya dana simpanan menganggur di bank berupa SBI/SUN karena itu kita tidak perlu utang lagi. Tapi kalau disuruh membangun banjir kanal, mengeluh tidak punya dana dan getol memaki go to hell. Di mana logika dan etika serta moral berpolitik.

Kalau memang ada dana ya cepat membangun, kalau tidak mampu mengalokasikan dana ya perlu pinjaman lunak, maka aktiflah berdiplomasi. Namun kalau berkepala batu arogan dan hanya menyalahkan orang lain, maka bencana banjir ini hanya salah satu musibah yang terus mengancam secara rutin.

Belanda menerima banjir kiriman dari sungai Rhine Jerman tapi tidak mengeluh dan mengatasi dengan teknologi tercanggih sedunia.

Orde Lama dan Orde Baru sudah salah, kebablasan dalam otonomi juga sudah jadi sejarah. Semua itu harus diakui dan kita harus melakukan terobosan baru yang benar-benar mengutamakan meritokrasi guna mencapai hasil optimal bagi rakyat.

Selama merdeka Jakarta dan Jawa hanya dilayani prasarana warisan Hindia Belanda seperti pintu air Manggarai, jalan pos Daendels. Jalan tol baru diawali oleh putra putri penguasa tunggal Orba.

Sekarang saatnya rakyat Jakarta menentukan pilihan bahwa hanya cagub yang mampu membangun banjir kanal dalam 3 tahun dengan segala kecanggihan tehnik diplomasi finansial dan menciptakan model pembangunan terpadu, layak jadi Gubernur DKI.

Kalau tidak mampu membangun banjir kanal ya tidak perlu berambisi jadi Gubernur DKI atau “Menteri belepotan” apalagi jadi capres 2009.

Beban citra dan reputasi kegagalan banjir tentu juga berdampak pada prospek pemilihan kembali duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalau banjir teratasi bisa menjadi bukti sukses kepemimpinan, maka saingan capres lain akan susah maju.

Namun bila Kabinet Indonesia Bersatu, gagal membangun banjir kanal, capres alternatif berpeluang untuk tampil secara independen. Seperti Gubenur NAD, karena rakyat sudah muak dengan “rezim parpol” yang korup, impoten dan inkompeten.

Penulis adalah pengamat masalah internasional
Sumber: Suara Pembaruan, 12 Pebruari 2007

Bencana banjir, utang negara dan solidaritas

(Oleh : A. Umar Said)

Musibah banjir yang kali ini melanda berbagai daerah di Indonesia, khususnya yang di daerah Jakarta Raya dan sekitarnya, menggugah hati dan menggoncangkan fikiran banyak orang. Bukan saja karena musibah besar ini telah mendatangkan penderitaan – dalam berbagai bentuk dan ukuran – bagi jutaan orang, melainkan juga memunculkan beraneka pertanyaan dan bahan renungan. Apakah musibah ini memang takdir Tuhan, ataukah ini hanyalah akibat kesalahan manusia juga? Atau, apakah kita semua harus menerima dengan tawakal dan sabar nasib sedih yang menimpa begitu banyak orang, ataukah harus ikut berbuat sesuatu untuk mengatasinya? Lalu, kalau sudah begitu, apa sajakah kekurangan (atau kesalahan) yang telah terjadi, dan siapa pula yang harus bertanggungjawab?

Justru soal-soal yang berkaitan dengan itu semualah yang selama berhari-hari dan terus-menerus bisa kita baca dalam pers Indonesia, dan kita lihat atau dengar dari televisi dan radio. Agaknya, juga itu semualah yang dibicarakan oleh begitu banyak orang yang rumahnya terendam air (atau terpaksa ditinggalkan), dan oleh orang-orang yang bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi di emperan toko-toko, di mesjid-mesjid, di gedung-gedung sekolah, di pinggiran jalan kereta-api. Mungkin, ketika sejumlah besar orang sudah berhari-hari tidak bisa ganti pakaian dalam keadaan kelaparan dan kedinginan, dan ketika banyak anak-anak yang sudah kena penyakit gatal-gatal, diarhee, sesak napas dsb, banyak juga yang mempertanyakan tentang efisiensi kerja pemerintah dan kebenaran sistem politik, ekonomi, sosial yang dianut oleh negeri kita dewasa ini.

 

Walaupun banjir sudah sering terjadi, tetapi yang kali ini pastilah akan menimbulkan dampak yang lebih besar dari pada yang sudah-sudah, di berbagai bidang. Kali ini, begitu besarnya banjir sehingga banyak daerah di pusat kota Jakarta juga terendam air. Di samping itu, banyak sekali penduduk di daerah di Bekasi, Tangerang dan Jakarta Selatan yang berdekatan dengan kabupaten Bogor juga harus menderita musibah ini. Banyak daerah yang selama ini tidak pernah tersentuh banjir secara serius (lapangan Monas, jalan Thamrin, jalan Gajahmada dan Hayamwuruk, jalan Gunung Sahari) juga dilanda banjir. Bahkan, untuk pertama kalinya sejak Proklamasi kemerdekaan Republik kita, banjir pun sudah menyerang halaman Istana Negara. Singkatnya, banjir telah menyerang juga “ulu hati” pusat pemerintahan Republik Indonesia.

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH BESAR

Banjir besar kali ini telah mendatangkan kesengsaraan bagi banyak sekali penduduk. Siaran siaran radio dan televisi telah menyajikan cerita-cerita yang mengharukan dan menyedihkan tentang penderitaan mereka itu. (Ketika tulisan ini dibuat tanggal 3 Februari pagi, radio Elshinta menyiarkan reportase tentang penduduk di Kelapagading, yang sudah seminggu terkurung dalam rumah yang digenangi air, sehingga tidak bisa kemana-mana dan mendapat kesulitan untuk mencari makan). Masih belum bisa diperkirakan berapa besar kerugian material (dan jiwa) yang dialami oleh penduduk dan perusahaan-perusahaan, dan juga oleh negara. Sebab banjir masih berlangsung terus di berbagai wilayah, dan bahaya hujan juga masih mengancam terus sampai akhir Maret yad. (Hingga Minggu 3/2/2002, sedikitnya 21 orang tewas dan 381.300 orang terpaksa mengungsi. Hal itu disampaikan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dalam keterangan persnya.)

Namun, bencana besar yang menimpa daerah Jakarta dan sekitarnya kali ini juga bisa membawa berbagai hikmah. Karena terjadi di Jakarta, maka musibah ini bisa diharapkan menjadi “pecut” atau “pukulan” untuk membangunkan kalangan atas dari tidur dan mimpi mereka, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas realitas kongrit bahwa banyak hal yang harus diperbaiki, dirobah, atau bahkan dibongkar sama sekali dalam cara menyelenggarakan negara. Hikmah lainnya adalah b ahwa banjir ini bisa merupakan pelajaran bagi masyarakat, sehingga mereka bisa menjadi lebih bersikap kritis terhadap langkah-langkah atau politik berbagai institusi pemerintahan, DPR (atau DPRD), dan juga kalangan swasta. Di samping itu, banjir besar ini juga telah melahirkan aspek positif, yang berbentuk berbagai aksi solidaritas yang lahir secara spontan di kalangan masyarakat sendiri. Aksi solidaritas yang berkembang di kalangan penduduk ini adalah segi yang indah di tengah-tengah penderitaan rakyat korban banjir.

Selama bencana banjir, berbagai stasion radio ( antara lain : Elshinta, radio Delta), televisi dan media cetak memainkan peran positif dalam menebarkan benih-benih solidaritas, dengan mengadakan program-program yang menyerukan bantuan kepada korban banjir. Seruan tentang bantuan yang terus-menerus dikumandangkan dan disertai dengan reportase tentang kondisi para korban merupakan pendidikan solidaritas yang sangat menyentuh hati banyak orang. Demikian juga dengan banyaknya posko-posko yang dibentuk oleh LSM, gerakan pemuda/mahasiswa, dan berbagai golongan dalam masyarakat, yang membantu para korban dengan beraneka-ragam aksi, umpamanya pembagian sembako, pakaian, obat-obatan atau berbagai ragam bantuan lainnya.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menghadapi musibah besar ini, makin kelihatan lebih jelas lagi bagi banyak orang, siapa-siapa saja atau golongan yang mana saja, yang betul-betul bersikap peka terhadap kepentingan rakyat, dan mana pula yang tidak peduli atau bahkan terus membuta-tuli saja terhadap penderitaan rakyat. Oleh karenanya, sejak sekarang sudah dapat diperkirakan bahwa banjir besar di Jakarta dan sekitarnya ini masih akan berbuntut panjang. Kalau pun banjir sudah surut, banyak persoalan masih bisa timbul. Sebab, justru waktu itulah datang saatnya bagi berbagai fihak (kalangan pemerintah maupun masyarakat) untuk menarik pelajaran dari pengalaman yang sangat menyedihkan banyak orang ini, dan mencari solusi supaya musibah semacam itu tidak terulang lagi di masa datang.

FAKTOR KORUPSI DI BELAKANG BANJIR

Banjir besar di berbagai wilayah Jabotabek kali ini telah mulai memunculkan suara-suara keras tentang politik pemerintahan di masa lalu yang berkaitan dengan pengelolaan tanah atau tata-ruang. Berbagai kalangan menghubungkan masalah banjir ini dengan adanya pembangunan rumah-rumah mewah di daerah-daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), yang telah merusak kawasan yang luas sekali yang seharusnya dipertahankan sebagai daerah resapan air. Dengan banyaknya kawasan real-estate yang diselenggarakan oleh para pengembang (developper), maka terjadi banyak juga pelanggaran-pelanggaran. Berbagai projek real-estate yang dibangun di masa lalu merupakan projek “kongkalikong” antara para pengembang (atau para konglomerat) dengan para pejabat di banyak instansi yang berhak mengeluarkan berbagai ijin.

Menurut artikel yang disiarkan oleh Mandiri (1 Februari, 2002), “Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya selama dua pekan terakhir ini disebabkan tidak hanya oleh tingginya curah hujan tetapi akibat sejumlah kawasan hijau di jalur Bogor-Puncak dan Cianjur mengalami kerusakan. Pemerintah pusat rupanya harus melakukan peninjauan ulang terhadap perizinan sejumlah vila dan real estate yang berdiri di atas lahan hijau di kawasan Bopunjur,” kata anggota DPR asal Cianjur H Dadang Rukmana Mulya kepada pers di Cianjur, Jumat (1/2).

Menurut Dadang, padatnya perumahan mewah di sejumlah lahan yang dianggap kritis selama ini telah menyebabkan air hujan yang terus mengguyur kawasan Bopunjur tidak tertampung dan terus mengalir hingga daerah sekitarnya. Puluhan hektar hutan yang dalam sepuluh tahun belakangan ini menjadi paru-paru Ibu Kota, kini tinggal kenangan karena banyak yang telah berubah menjadi lahan beton. “Anehnya meskipun ada Keppres dan ketentuan lain dari pemerintah tentang pembangunan di kawasan tersebut, para investor tetap melirik kawasan Bopunjur sebagai lahan bisnis untuk membangun vila mewah bagi kalangan berduit,” kata Dadang anggota F-PDI Perjuangan.

Secara terpisah, anggota Komisi D DPRD Kabupaten Cianjur, Acep Hidayat JD, mengemukakan Pemkab Cianjur kini memerlukan Perda baru tentang pembongkaran paksa bagi sejumlah bangunan tak berizin yang berdiri di kawasan hijau, terutama beberapa bangunan villa dan real estate yang telah menyalahi Kepres 114/1999 tentang Pengendalian Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (Bopunjur).

Sedikitnya 54 real estate dan perumahan mewah di kawasan Puncak Cianjur ternyata berada pada lahan hijau sehingga telah menyalahi sejumlah peraturan termasuk Kepres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (kutipan dari Mandiri selesai).

Apa yang dilakukan oleh para pengembang di daerah Bogor-Puncak-Cianjur itu hanyalah salah satu contoh di antara banyak praktek para pengembang di berbagai daerah lainnya di Indonesia, termasuk yang di daerah Jabotabek. Dalam banyak praktek para pengembang, “uang semir” (suapan) bagi para pejabat merupakan faktor yang memainkan peran penting. Artinya, ijin diperjualbelikan, dan pelanggaran dibiarkan saja oleh para pejabat, asal KUHP (kasih uang habis perkara).

AWASI DANA-DANA YANG BESAR ITU

Menurut Detikcom (3 Februari), “pemerintahan propinsi DKI Jakarta telah mengajukan anggaran untuk rehabilitasi rehabilitasi pasca banjir ke DPRD I DKI sebanyak Rp 550 miliar. Dana tersebut merupakan dana cadangan dari sisa APBD 2001 yang telah didepositokan. Pemda juga telah membentuk Tim Rehabilitasi yang dikirimkan ke 5 wilayah DKI yang terkena banjir”. Adalah kewajiban masyarakat, untuk ikut mengawasi secara cermat penggunaan dana sebesar itu. Sebab, berdasarkan pengalaman selama ini (yang sudah berjalan selama puluhan tahun dan yang terjadi juga di banyak tempat lainnya), banyak dana untuk pembangunan atau rehabilitasi atau bantuan darurat dll dstnya, menyasar ke kantong-kantong yang tidak berhak. Penjarahan kolektif secara bersekongkol ramai-ramai antara pejabat, kontraktor, pimpinan berbagai bank, anggota-anggota DPRD atau “tokoh-tokoh” masyarakat lainnya, sudah banyak terjadi.

Utang negara kita (baik utang dalamnegeri maupun luarnegeri) sudah amat besar, yaitu sekitar Rp 1400 trilyun, atau 4 kali APBN kita. Artinya, sebenarnya kas negara kita sudah kosong. Defisit anggaran belanja negara kita juga diperkirakan akan besar sekali untuk tahun 2002 ini. Dalam situasi yang demikian ini, kalau masih ada oknum-oknum yang masih berani main korupsi dengan anggaran Rp 550 milyar (untuk rehabilitasi pasca banjir Jakarta) maka patutlah dihukum yang seberat-beratnya. Ketika jutaan orang menderita (dalam berbagai bentuk dan kadar) karena musibah banjir, maka korupsi adalah dosa yang amat besar. Untuk mencegah praktek-praktek para maling besar itu, maka peran pengawasan berbagai Ornop (LSM, gerakan mahasiswa, lembaga-lembaga studi kemasyarakatan dll) amatlah penting. Sebab, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa banyak projek-projek “pembangunan” ternyata telah menjadi proyek “penghancuran”, baik di bidang ekologi, ekonomi, finansial, maupun (dan ini yang juga parah!) moral. Contohnya adalah di sektor industri real estate.

Menurut kantor berita Antara ada 330 pengembang (developer) yang mempunyai utang kepada BPPN, yang seluruhnya bernilai Rp 9,4 trilyun ( dengan angka lain Rp 9 400 000 000 000). Proses restrukturasi utang para pengembang ini sekarang tidak jelas. Ketidakpastian penyelesaian proses restrukturisasi tersebut merugikan negara karena potensi penerimaan negara menjadi terhambat. (Media Indonesia, 21 Januari 2002). Uang Rp 9,4 trilyun ini adalah besar sekali! Dan, selama Orde Baru, uang inilah yang sebagian juga dipakai untuk mendirikan vila-vila, rumah-rumah indah, mall bagi mereka yang berduit. Di masa lalu terdengar banyak cerita tentang adanya penggusuran tanah-tanah atau pemindahan penduduk (dengan intimidasi atau imbalan yang murah). Karena adanya krisis moneter, sebagian dari projek itu menjadi berantakan. Sekarang, negara (artinya rakyat kita) terpaksa menanggung akibat ulah para konglomerat (dan pejabat) itu.

BANJIR JUGA PUNYA ASPEK POLITIK

Kita akan sama-sama saksikan, tidak lama lagi, bahwa masalah banjir akan menimbulkan perdebatan yang cukup ramai. Sekarang saja sudah ada pernyataan yang macam-macam. Umpamanya apa yang dikatakan oleh Akbar Tanjung, yang sebagai berikut : “ Masyarakat dan pemerintah hendaknya jangan saling menyalahkan menyangkut soal musibah banjir yang melanda Jakarta dan berbagai daerah lain di Tanah Air akhir-akhir ini. Bencana banjir tersebut hendaknya disadari sebagai cobaan dari Tuhan, dan tidak perlu kita saling menyalahkan. Yang terpenting dilakukan adalah langkah-langkah nyata untuk membantu mengurangi beban penderitaan para korban yang tertimpa musibah banjir itu,” katanya, di Kisaran, Sumatera Utara (Republika, 3 Februari 2002). Rupanya, Akbar Tanjung tidak suka kalau kita semua mempersoalkan mengapa sampai terjadi banjir, kecuali sebagai cobaan dari Tuhan! Sebagai politikus yang kawakan, sikapnya ini memang mengherankan. Coba, mari kita bandingkan dengan yang berikut ini.

“Banjir yang terjadi Jakarta merupakan akibat kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat. Penilaian tersebut dikemukakan rohaniawan (katolik. Pen) Mudji Soetrisno dan Rektor IAIN Azyumardi Azra yang dihubungi Tempo News Room Minggu (3/2) sore melalui telepon. Mudji Soetrisno menilai, banjir di Jakarta saat ini merupakan dosa yang sangat mahal yang harus dibayar akibat kesalahan kebijakan Pemda DKI. Pasalnya, pihak Pemda telah memperjualbelikan daerah-daerah resapan air untuk dijadikan mall atau tempat hunian. Selain itu, kebijakan perencanaan tata kota juga tidak jelas. Dana-dana yang seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan banjir pun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. “Kesalahan masyarakat adalah tidak memiliki kesadaran ekologi yang baik dengan membuang sampah sembarangan dan tidak mengontrol penggunaan dana-dana yang diperuntukan untuk penanggulangan banjir,” katanya. Di sisi lain, Muji menilai bahwa apa yang terjadi di Jakarta ini merupakan wajah mini Indonesia saat ini dimana terjadi jurang masyrakat miskin dengan elit yang tuli dan tidak peka. Mudji juga menyorot kurangnya perhatian DPRD. “Mereka terkesan diam dalam menanggapi apa yang terjadi di Jakarta,” katanya.

Sementara itu, Azyumardi Azra menilai bahwa dari sudut pandang agama, apa yang terjadi di Jakarta merupakan musibah. Akan tetapi, menurut Azyumardi, “Musibah berlaku sesuai dengan hukum alam.” Hukum alam yang dimaksudkan Azyumardi adalah bahwa perencanaan lingkungan hidup dan tata kota selama ini keliru. Selain itu, gaya hidup masyarakat juga mendukungnya dengan cara membuang sampah sembarangan dan mendirikan pemukiman-pemukiman liar. “Hal inilah yang merupakan faktor penyebab terjadinya musibah,” katanya. (Tempo Interaktif, 3 Februari 2002).

Kiranya, akan makin jelas bagi banyak orang, nantinya, bahwa masalah banjir di Jakarta (seperti halnya banjir-banjir lainnya di donesia) tidaklah cukup hanya dihadapi dengan sikap “sebagai cobaan dari Tuhan” saja, tanpa berbuat sesuatu. Akan makin jelas bahwa banjir di Jakarta ada sangkut-pautnya dengan masalah pengelolaan lingkungan hidup, dengan penegakan hukum, dengan pemberantasan korupsi, dengan kesedaran bernegara dan bermasyarakat, dengan perencanaan tata-ruang, dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Singkatnya, ada hubungannya dengan masalah politik, ekonomi, sosial, dan moral.

Dari segi inilah kelihatan betapa pentingnya aksi-aksi berbagai golongan dalam masyarakat untuk menjadikan masalah banjir di Jakarta juga sebagai bagian dari pendidikan politik, dan sebagai bagian dari perjuangan untuk meneruskan reformasi. Gagasan tentang kemungkinan dilancarkannya class action (gugatan kelompok) terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah oleh para korban banjir adalah salah satu di antara aksi-aksi itu. “Pengajuan gugatan class action itu dilandaskan pada kerugian publik dan adanya kebijakan keliru. Pemerintah bisa dipandang lalai melaksanakan tugas menciptakan kesejahteraan publik dan alpa menyiapkan program menghadapi ancaman banjir yang merupakan persoalan rutin. Hal tersebut dikemukakan praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis, ahli hukum lingkungan Mas Achmad Santosa, dan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Hendardi” (Kompas, 1 Februari 2002).

Banjir di Jakarta telah mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang, dan juga menimbulkan korban benda dan jiwa yang besar. Tetapi, musibah ini juga mempunyai hikmah bagi perjuangan kita bersama untuk membangun “clean and good government” (pemerintahan yang bersih dan baik). Sebab, banjir ini juga memungkinkan terbukanya sebagian borok-borok parah, yang selama ini telah membikin sakitnya tubuh bangsa.

Paris, musim dingin, 3 Februari 2002

Dimensi Politis Banjir di Jakarta

Achmad Nurmandi,

Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum Soeparmono mengatakan bahwa   andil pengembang dalam kasus banjir di Jakarta tidak sedikit. Menurutnya, penyebab banjir Jakarta sebagian besar (50%) adalah    pesatnya pembangunan perumahan antara Bogor-Ciputat (Republika, 11/10)

Secara geografis, Jakarta adalah kota pantai yang dilalui 13 sungai,    semuanya bermuara di Laut Jawa. Tahun 1920, sistem tanggul dibangun   Pemerintah Belanda untuk melindungi Jakarta dari bahaya banjir. Namun   sistem ini tak dapat lagi berfungsi baik seiring perubahan fungsi    lahan dan ruang di sekitar Jakarta.

Zona I adalah zona di kawasan pantai, berciri buruknya sistem    drainase, kapasitas tanah rendah dalam penyerapan air, rendahnya   kapasitas lahan untuk permukiman dan biasanya digunakan sebagai tambak    udang atau ikan.

Zona II adalah daerah pertanian, seperti Bekasi dan Tangerang dengan    ciri-ciri: air tanah masih baik namun rawan polusi, rawan banjir, dan   buruknya sistem drainase serta kemampuan tanah rendah dalam menyerap   air.

Zona III adalah kawasan perluasan kota dan kawasan industri yang    dicirikan dengan gradien tanah baik sehingga mendukung sistem   drainase, tanah untuk kegiatan campuran, baik pertanian maupun   industri atau lainnya.

Zona IV adalah kawasan Bogor dan Ciputat yang dicirikan pembangunan    kota terbatas, sistem drainase alamiah baik, tidak banjir, kapasitas   penyerapan air baik, dan sumber air tanah terbatas.

Zona V adalah kawasan Puncak, dicirikan daerah pegunungan, hutan alam,    mudah erosi bila ada penebangan hutan.

Manusia dan rencana kota

Dengan memperhatikan pembagian kawasan dan karakteristik di atas,    jelas Allah sebenarnya telah menetapkan ukuran dan kemampuan alam atau   kawasan (faqoddarohu taqdiiro). Ukuran dan kemampuan ini yang   seharusnya diperhatikan manusia, terutama pihak-pihak yang berwenang di dalam pengembangan kawasan Jabotabek. Dari sudut norma atau nilai   agama, sebenarnya pihak-pihak berwenang merencanakan dan melaksanakan   RUTRK atau Rencana Kawasan berperan sangat penting dalam    mensosialisasikan ukuran atau kemampuan alam itu pada pihak-pihak   lain, terutama pengembang, instansi pemerintah terkait, LSM, atau   masyarakat umumnya.

kota, kelompok kepentingan, partai politik, kelompok penekan,    masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Dalam kerangka   ini, manajemen dan perencanaan kota dipandang sebagai proses politik.

Dari pemahaman ini jelas perencanaan dan pelaksanaannya lebih digambarkan sebagai proses penyeimbangan kepentingan dari berbagai kelompok atau golongan di masyarakat kota dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Sumber daya terbatas itu adalah air, tanah, udara,  dan ruang. Pemahaman ini menarik dicermati bila kita melihat perencanaan ruang di kota-kota Indonesia. Rencana Umum Tata Ruang (RUTRK) sering tak dapat dilaksanakan secara efisien karena golongan  masyarakat yang mempunyai akses ke pengambil keputusan berusaha sedemikian rupa untuk memanfaatkan ruang sesuai kepentingannya.

Penggusuran tanah-tanah rakyat di sekitar pinggiran kota untuk  pembangunan perumahan atau pertokoan di kota-kota besar Indonesia  adalah contoh hal tersebut.

Kawasan Puncak di Cianjur sesuai Keppres Nomor 53 Tahun 1989 telah  mengatur pengendalian pembangunan fisik di kawasan Puncak. Namun  sampai kini, keputusan tersebut tidak mampu menahan lajunya pembangunan kawasan ini yang dilakukan swasta. Konversi lahan  pertanian ke perumahan mewah atau hotel berbintang merupakan gejala alamiah dan tak mampu dicegah pemerintah. Di lain pihak Keppres   tersebut dimaksud untuk melindungi kawasan Puncak sebagai kawasan   peresap air untuk kebutuhan air bersih di Daerah Khusus Ibukota   Jakarta.

Pejabat-pejabat di Bogor dan Cianjur banyak mengeluhkan  ketidakmampuan mereka jika berhadapan dengan investor dari Jakarta dan  diyakini mempunyai backing pejabat-pejabat tertentu. Ini terbukti  dengan tidak adanya tindakan tegas Pemda dalam menindak    bangunan-bangunan tak ber-IMB yang terus tumbuh pesat. Rantai masalah   ini sebenarnya dapat dilihat dari kacamata berbeda, yaitu selama ini   pelaksanaan kawasan lebih dari sekadar cetak biru penggunaan lahan   dari sebuah kawasan. Kenyataannya, pelaksanaan rencana suatu kawasan   sangat bermuatan ekonomis-politis dari kepentingan-kepentingan   berbagai pihak. Persoalan politis lain adalah berkaitan dengan ekonomi rente yang banyak diisukan media massa, yang terjadi pada proses  perizinan. Banyak pihak yakin bahwa izin prinsip, izin rencana guna   lahan dan izin mendirikan bangunan telah menjadi semacam jaringan    kolusi antara pengusaha dan pejabat daerah. Ini memang sulit dibuktikan. Namun dari penyimpangan tata-guna lahan, kita dapat menyelusuri di mana dan bagaimana penyimpangan itu terjadi. Sebuah kawasan yang seharusnya jadi hutan lindung, tiba-tiba jadi padang   golf, misalnya. Kenyataan ini tidak sulit untuk dilacak.

Persoalan politis ketiga adalah persoalan kerja sama antarpemerintah  daerah. Sebagai contoh, Pemda Bekasi harus mengubah RUTRW-nya sebanyak dua kali, karena adanya tekanan dari Pemda DKI Jakarta. Tekanan ini tentu sangat bersifat politis, dimana pengambil kebijakan di DKI Jakarta mempunyai otoritas di atas Pemda Bekasi dan dapat memaksanakan kepentingannya kepada Pemda Tingkat II Bekasi. Dalam posisi seperti ini, semua analisis teknis berkaitan dengan rawannya banjir akibat pembangunan perumahan besar-besaran menjadi pertimbangan yang rendah dalam perencanaan penggunaan lahan. Peristiwa banjirnya sebagian besar perumahan di musim penghujan di Bekasi baru-baru ini merupakan  indikator signifikan bahwa semakin luasnya lahan yang tertutup sebagai peresap air. Perencana kota di Bappeda Pemda Bekasi sudah tentu tidak dapat berbuat banyak jika ada tekanan politis oleh pengusaha-pengusaha  yang berkolusi dengan pejabat di pemerintah pusat di Jakarta.

Bagaimana law enforcement?

Dari konsekuensi politik perencanaan kota dan kawasan serta pelaksanaannya, tentu law enforcement pun sangat bermakna politik.  Dalam kasus law enforcement di kawasan Puncak nampak sekali Pemda  Tingkat II Bogor dan Tingkat II Cianjur sangat memerlukan dukungan  politik dari menteri bahkan Presiden. Langkah politik ini didorong  dari ketidakmampuannya dalam berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pengusaha Jakarta yang diyakini mempunyai dukungan politik kuat. Pemaknaan gejala politik sebenarnya tidaklah sulit. Adalah jelas kekuatan-kekuatan ekonomi mempunyai kekuatan riil politik untuk memaksanakan kepentingannya. Pada kondisi seperti ini, peran  pemerintah daerah sangatlah penting untuk menjadi simbol aktualisasi  dan agregasi kepentingan masyarakat. Dukungan politik menteri terhadap keputusan pejabat atau dalam skala lebih luas, pemerintah daerah,   sebenarnya banyak dinanti-nanti masyarakat daerah. Dalam banyak hal,  seringkali kepentingan masyarakat daerah yang diaktualisasikan oleh  pemerintah daerah harus dikalahkan demi kepentingan departemen tertentu.

Terjemahan kedua dari law enforcement di kawasan Puncak ini adalah perlunya penguatan sumber daya politik pemda. Yang dimaksud penguatan sumber daya politik pemda adalah pelimpahan kewenangan dan pengakuan pejabat pusat akan kewenangan tersebut. Pelimpahan kewenangan saja,  tanpa pengakuan politik sama saja dengan memberikan pisau tumpul. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah haruslah diiringi pengakuan dalam bentuk riil. Artinya penghormatan dan kerelaan pemerintah pusat terhadap keputusan-keputusan yang diambil pemda, sepanjang masih di dalam kawasan kewenangannya.

Terjemahan politik selanjutnya adalah pentingnya pertimbangan dan  asumsi politik (political asumptions) atau fakta politik (political  facts) dalam pembuatan rencana kawasan, baik di tingkat perkotaan,  daerah, regional, bahkan nasional. Pertimbangan atau asumsi politik  ini terutama dikaitkan dengan analisis konflik kepentingan yang  mungkin timbul dalam pelaksanaan sebuah rencana kawasan atau rencana   guna lahan. Analisis konflik kepentingan jadi semacam metode  mengantisipasi kesulitan-kesulitan yang akan timbul pada saat  pengaturan pemanfaatan fungsi lahan sesuai rencana kawasan atau  rencana tata guna lahan (land use plan). Pejabat-pejabat di daerah  yang mempunyai kewenangan memberikan izin perubahan fungsi lahan atau  izin mendirikan bangunan sudah dibekali pengetahuan politik tertentu guna mengantisipasi pemihakan kepentingan pada sekelompok orang  tertentu dan menafikan kepentingan masyarakat banyak. Sebagai contoh,  pejabat yang bertugas di kawasan tumbuh cepat (fast growing  cities/areas) perlu dibekali pengetahuan-pengetahuan teoritis tentang  pertentangan kelas dan kepentingan antara kelompok masyarakat serta  kecenderungan-kecenderungan kebutuhan masing-masing kelompok politik   dan ekonomi. Seorang pejabat daerah perlu dibekali cara melakukan  mediasi diantara kepentingan yang saling bertentangan; perbenturan  kepentingan masyarakat di lingkungan kumuh dengan kepentingan   investor, kepentingan LSM dan kepentingan pemerintah, dan seterusnya.

Secara alamiah, perlu juga diingat, kawasan-kawasan tumbuh cepat akan   memancing perhatian kaum berduit untuk menguasai sejumlah lahan  strategis, yang tentunya harus berbenturan dengan kepentingan kelompok  sosial lainnya. Rencana penggunaan lahan yang secara teknis dibuat seorang arsitek dalam bentuk peta teknis perlu diberi makna-makna dan  penjelasan ekonomi politik, terutama kawasan-kawasan yang harga  lahannya tinggi. Pada kawasan-kawasan ini akan timbul konflik-konflik  kepentingan: kepentingan antara keuntungan dan kepentingan untuk  menjaga kualitas lingkungan. Antisipasi yang dibekali dengan  pengetahuan yang cukup ini akan sangat bermanfaat saat mereka  mengambil keputusan memberikan izin atau tidak pada suatu proyek.  Tentu tindakan pembuatan keputusan merupakan kombinasi dari kemampuan  profesional dalam mengetahui daya dukung alam yang telah diatur oleh   Allah dan kemampuan hati nurani sang pejabat untuk mendahulukan kepentingan orang banyak. &#127

Achmad Nurmandi,   Staf edukatif pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fispol, Universitas    Muhammadiyah Yogyakarta

1 Komentar »

  1. jangan buang sampah sembarangan.

    Komentar oleh Anonim — Agustus 7, 2014 @ 3:48 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.