SISTEM PEMANENAN AIR HUJAN (RAINWATER CATCHMENT SYSTEMS): DALAM UPAYA PENGELOLAAN BANJIR DI DAERAH PERKOTAAN
Oleh Nani Heryani
Pendahuluan
Secara kuantitatif masalah banjir terjadi akibat kesenjangan dua hal yaitu: masalah distribusi dan kapasitas/storage. Distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun cenderung terakumulasi pada waktu yang singkat pada musim hujan (biasanya pada bulan Desember sampai Pebruari) menyebabkan tanah dan tanaman tidak mampu menampung semua volume air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Akibatnya sebagian besar air hujan di alirkan menjadi aliran permukaan, sehingga menyebabkan banjir di hilir (Irianto, 2004). Peningkatan volume aliran permukaan ini diperparah dengan terjadinya alih guna lahan dari sawah, hutan, perkebunan ke lahan berpenutup permanen seperti perumahan, pabrik, jalan. Perubahan yang tidak terkendali ini akan menyebabkan volume aliran permukaan meningkat luar biasa dan kecepatan aliran permukaan meningkat secara tajam, sehingga daya angkut, daya kikisnya menjadi luar biasa. Volume air yang sangat tinggi dengan waktu tempuh yang singkat, menyebabkan bahaya banjir di hilir menjadi sangat besar.
Di sisi lain, urbanisasi yang dapat meningkatkan terbentuknya lapisan kedap akan meningkatkan aliran permukaan dua hingga enam kali dibandingkan yang terjadi pada lahan alami (tidak terganggu). Urbanisasi sering menyebabkan terjadinya penyempitan jalur aliran sungai akibat pembangunan pemukiman baru, bahkan di sekitar bantaran sungai sekalipun. Dengan demikian, banjir mudah terjadi saat musim hujan tiba. Akibat yang dapat ditimbulkan karena pembentukan lapisan kedap yaitu: (1) kemampuan penyerapan air berkurang akibat laju infiltrasi tanah berkurang sehingga air hujan akan lebih banyak dan cepat menuju ke bagian hilir sungai. Indikatornya terlihat dari karakteristik debit puncak yang tinggi dengan waktu respon DAS yang singkat, yang dapat mengakibatkan risiko banjir di hilir, (2) Sistem recharging (penyimpanan) air tanah sangat rendah sehingga pasokan air di musim kemarau akan merosot. Akibatnya, risiko bahaya kekeringan akan semakin tinggi.
Kenyataan di lapangan, perubahan penggunaan lahan menjadi penggunaan yang kedap air juga dapat mengubah bentuk aliran; menurunkan kualitas air; menimbulkan pemanasan bumi; dan mengurangi keanekaragaman biologi (biodiversity). Banyak upaya pengelolaan lahan yang sudah dilakukan dalam penanganan wilayah hulu dan tengah DAS, melalui rehabilitasi lahan baik secara vegetatif maupun sipil teknis (soil conservation measures) memberikan kemungkinan besar dalam pengendalian banjir di hilir. Namun untuk mengurangi risiko banjir di hilir tidak hanya diperlukan penanganan di wilayah hulu dan tengah saja, beberapa upaya pengelolaan banjir harus dilakukan di wilayah hilir.
Tulisan ini menyajikan tinjauan dan bahasan mengenai dampak urbanisasi terhadap banjir di perkotaan dan upaya yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi risiko banjir di wilayah perkotaan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui aplikasi sistem pemanenan hujan (Rainwater Catchment System /RCS). RCS menggambarkan beberapa kombinasi pengaturan panen hujan, sistem penampungan (detention), penyimpanan (retention), dan penyediaan fasilitas infiltrasi (infiltration facilities).
Peningkatan Run off dan Penurunan Infiltrasi
Pembentukan lapisan kedap sebagai dampak urbanisasi dapat menurunkan kapasitas lahan dalam menyimpan air/mengurangi infiltrasi sehingga mengakibatkan hujan yang turun sebagian besar ditransfer mengakibatkan hujan yang turun sebagian besar ditransfer menjadi aliran permukaan dan hanya sedikit sekali yang mengisi cadangan air tanah. Kondisi seperti ini juga merupakan potret klasik hidrologis daerah hulu aliran sungai yang telah mengalami alih fungsi lahan.
Kecenderungan meningkatnya risiko banjir yang disebabkan oleh alih fungsi lahan bervegetasi (cultivated land) menjadi lahan beton/aspal (non cultivated land) tidak saja dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara maju seperti Jerman, Perancis, Inggeris, Amerika, dan Jepang. Pertambahan penduduk Indonesia yang masih tinggi (1.8%/tahun) yang diikuti oleh pertumbuhan sektor industri, merupakan penyebab utama konversi lahan tersebut.
Perubahan karakterisik permukaan tanah menjadi kedap air (impermeable surface) akan menyebabkan penurunan laju infiltrasi tanah secara tajam. Akumulasi volume aliran permukaan yang tinggi, dalam waktu singkat akan menyebabkan daya tampung sungai terlampaui dan terjadi banjir di hilir. Koefisien aliran permukaan (Kr) pada awal musim hujan di Indonesia bervariasi antara 0.1 – 0.3, sedangkan pada saat hujan lebat dan berurutan dapat meningkat hingga 0.7 (Irianto, 1999). Tingginya nilai Kr menunjukkan rendahnya volume air hujan yang dapat disimpan sebagai air tanah.
Gambar 1. Proporsi curah hujan yang menjadi aliran permukaan (run off) atau infiltrasi, tergantung kepada persentase penutupan permukaan kedap (kasus di Philadelphia, Sumber : Liaw, 2003).
Meningkatkan infiltrasi dari curah hujan kedalam tanah untuk menjamin keberlangsungan pengisian kembali (recharge) air tanah serta mengurangi peningkatan volume aliran permukaan dan puncak run off dari permukaan kedap merupakan permasalahan yang terkait satu sama lain. Proporsi curah hujan yang menjadi run off atau yang terinfiltrasi tergantung kepada besarnya persentase permukaan kedap, ilustrasinya disajikan pada Gambar 1. Makin besar persentase permukaan kedap, makin besar proporsi hujan yang menjadi run off dan makin kecil proporsi yang terinfiltrasi, dan sebaliknya. Peningkatan permukaan kedap seperti pengaspalan jalan di daerah perkotaan mendorong peningkatan aliran permukaan bahkan dapat mencapai lebih dari 90%.
Perubahan Bentuk Aliran, Penurunan Kualitas Air, Pemanasan Daratan, dan Penurunan Keanekaragaman Biologi
Perubahan bentuk aliran terjadi sebagai respon terhadap sering munculnya beberapa kejadian hujan. Sebelum terjadi pengembangan (perubahan penggunaan lahan menjadi permukaan kedap), puncak debit (aliran) lebih rendah dan dan waktu responnya lebih lambat. Sedangkan setelah terjadi pengembangan, puncak debit lebih tinggi dan terjadi lebih cepat. Volume aliran permukaannya juga lebih besar dibandingkan dengan sebelum pengembangan. Demikian juga dengan baseflow pada aliran sebelum pengembangan lebih besar daripada setelah pengembangan. Tinggi rendahnya debit puncak dan volume run off juga dipengaruhi oleh sifat hujan. Pada hujan yang besar, maka debit puncak dan volume run off nya lebih besar daripada hujan yang kecil, dan sebaliknya.
Permukaan yang kedap akan menangkap dan menyimpan polutan dari atmosfer, kendaraan bermotor, dan beberapa sumber polutan lain, sehingga dalam beberapa kasus, permukaan kedap dapat menjadi sumber polutan. Hal ini tampak pada saat terjadi banjir, bahan organik, hara, besi, hidrokarbon, dan bakteri dengan cepat akan mengalir kedalam sistem perairan, sehingga merusak kualitas perairan.
Permukaan kedap menyerap dan memantulkan panas. Pada musim kemarau atau musim panas di negara subtropis, temperatur permukaan tanah biasanya naik mencapai 10 sampai 12 derajat lebih tinggi dibandingkan permukaan tanah bervegatasi. Tanaman dapat berfungsi sebagai naungan, sehingga dapat mengurangi pengaruh pemanasan (radiasi) matahari.
Pembentukan lapisan kedap merupakan indikator penting dalam menentukan kualitas aliran air pada masa yang akan datang. Manakala terjadi penurunan kualitas air pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, yang pada tahap lebih lanjut akan mengurangi keanekaragaman hayati di wilayah perkotaan. Hal ini merupakan tantangan bagi pengelola daerah aliran sungai di perkotaan. Dengan adanya peningkatan populasi penduduk, perkembangan ekonomi, pembangunan perumahan, pengelolaan yang kurang tepat, maka ekologi daerah aliran sungai dapat mengalami kerusakan. Selain itu dengan adanya peningkatan populasi penduduk, aktivitas meningkat, juga akan mengakibatkan erosi, pencemaran air sungai, dan laju sedimentasi yang makin memburuk.
Sistem Pemanenan Air Hujan (Rainwater Catchment System)
Dampak dari urbanisasi seperti sudah disebutkan di atas , antara lain: menurunkan aliran dasar (baseflow) dan meningkatkan debit puncak (peak flow), menurunkan ketahanan terhadap kekeringan, mengakibatkan perubahan sistem ekologi dan lingkungan, menurunkan kualitas air, serta mengakibatkan perubahan temperatur. Untuk menangani masalah tersebut antara lain dapat dilakukan melalui sistem tangkapan hujan (sistem ’pemanenan’ hujan) melalui penyediaan fasilitas infiltrasi serta fasilitas penyimpanan (detention/retention) (Gambar 2).

Gambar 2. Penggunaan sistem pemanenan air (rainwater catchment system/ RCS) dalam penanganan dampak urbanisasi (Sumber: Liaw, 2003)
Beberapa negara seperti Taiwan, Cina, Jerman, Sungapura, Korea, Amerika, dan Jepang telah banyak mengaplikasikan teknologi pemanenan hujan dalam upaya mengatasi banjir di perkotaan. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah adanya pengaturan yang baik dalam penanganan banjir melalui penyediaan fasilitas untuk meningkatkan infiltrasi air hujan (infiltration facilities) dan mengatur penampungan air (detention facilities) serta penyalurannya.

Gb 3.Contoh Sistem pemanenan hujan di tempat turunnya air hujan (Inlet Control at Source)
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penetapan ukuran/dimensi areal tangkapan panen hujan, antara lain: pola hujan lokal (jumlah dan distribusinya), panjang data hujan, koefisien aliran permukaan, kapasitas penyimpanan yang diperlukan, dan pola kebutuhan air apabila akan dipergunakan juga untuk pemenuhan kebutuhan air. Beberapa bentuk sistem pemanenan hujan (RCS) yang sudah banyak diaplikasikan (Gould, J., 2003; Liaw.C., 2003; ) antara lain:
- Inlet Control at Source. Penampungan air dilakukan di sumbernya dengan cara menahan di tempat turunnya hujan. Air dapat ditahan di sekitar atap, tempat parkir, halaman industri, dan sebagainya, sebagaimana disajikan pada Gambar 3,
- On-site detention (OSD) atau sistem penampungan yang dalam istilah kita dikenal serupa dengan sumur resapan. OSD menahan aliran permukaan dari beberapa bagian atau seluruh bagian dari pemukiman atau bangunan. Bentuk OSD dapat berupa saluran air, kolam penampungan air, penampung air dari beton (biasanya di bawah tanah), ilustrasinya disajikan pada Gambar 4,
Gb 4. Contoh Sistem pemanenan hujan yang dikenal dengan istilah On site-detention (OSD)
- In-line Detention. Merupakan penyimpanan air berbentuk kubah dari beton, paket pipa penyaluran, terowongan, dan gua besar/lobang di bawah tanah (Gambar 5).
Upaya mengaplikasikan teknologi pemanenan hujan secara menyeluruh di perkotaan seperti Jakarta barangkali akan sangat membantu mengurangi risiko banjir. Jakarta yang secara geografis merupakan dataran rendah dilalui 13 buah sungai, membuat daerah resapan air sangat kurang. Apalagi, prasarana pengendali banjir dinilai belum terlalu efektif mengurangi intensitas banjir di Jakarta (Santoso, E, 2005).
Kerusakan lingkungan telah membuat tingkat penyerapan air di Jakarta jauh berkurang. Di Jakarta, resapan curah hujan hanya sekitar 20%, padahal idealnya tingkat resapan tidak kurang dari 80%. Akibatnya, sebagian besar curah hujan mengalir dan tergenang. Saat ini dari 100 mm curah hujan yang terserap hanya 10-15 milimeter, sisanya sebanyak 85-90 mm mengalir sebagai aliran permukaan.
Kesimpulan
- Sistem pemanenan air hujan bermanfaat dalam menekan risiko bahaya banjir dengan jalan menyediakan fasilitas infiltrasi dan penampungan aliran permukaan.
- Fasilitas infiltrasi diperlukan untuk mengurangi laju aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi ke dalam tanah, selain untuk mengurangi evaporasi juga dapat menurunkan efek pemanasan permukaan tanah.
- Penampungan aliran permukaan di perkotaan, selain dapat mengurangi risiko banjir, juga dapat dipergunakan sebagai sumber air untuk kepentingan lain seperti irigasi dan pemenuhan kebutuhan air di pemukiman dan sarana umum lain seperti sekolah, rumah sakit, dan perkantoran.
Daftar Pustaka
Gould, J. 2003. Rainwater Storage Systems. Disampaikan pada ‘International Training Course on Rainwater Harvesting and Utilization’ Gansu Research Institute for Water Conservancy. September 8 – October 22, 2003.
Irianto, G.2004. Bagaimana menanggulangi banjir dan kekeringan. Tabloid Sinar Tani, 28 April 2004. Badan Litbang pertanian, Jakarta.
Irianto, G., J. Duchesne., F. Forest., P. Perez., C. Cudennec., T. Prasetyo and S. Karama. 1999. Rainfall and Runoff Harvesting for Controlling Erosion and Sustaining Upland Agriculture Development. Proceeding of the 10th International Soil Conservation Organization Conference, 23-28 May 1999, West Lafayette, USA.
Liaw, C. 2003. Impacts from the use of rainwater catchment systems for stormwater management in urban areas. Disampaikan pada ‘International Training Course on Rainwater Harvesting and Utilization’ Gansu Research Institute for Water Conservancy. September 8 – October 22, 2003.
Santoso, E, 2005. Jakarta Menghadapi Banjir 2005. http://www.suarapublik.org/ Cetak/2005/Edisi_Januari/banjir1_jakarta_2005.htm
Sumber: Buletin DAS Volume 4 No 4 Tahun 2008
terima kasih ibu atas makalahnya ,,,,
Komentar oleh reynol — November 9, 2012 @ 3:01 pm