Dua Model Pengendalian banjir
Robert J Kodoatie
KITA sungguh prihatin dan ikut berduka atas korban bencana tanah longsor dan banjir di Cilacap, Purworejo, serta Banyumas belum lama ini. Jumlah korban yang meninggal di Cilacap 33 orang dan Purworejo 55 orang. Dan pada awal tahun ini, lima orang meninggal akibat banjir bandang di Semarang. Jadi, sampai saat ini, banjir dan tanah longsor sepanjang tahun ini telah memakan korban jiwa 93 orang.
Banjir dan tanah longsor di Cilacap dan Purworejo terjadi pada permulaan musim penghujan. Padahal kita tahu, hujan masih akan datang dan kita pun tidak dapat memastikan berapa besarnya. Yang jelas, musim hujan akan berlangsung beberapa bulan lagi, dan puncaknya (pada kondisi normal) akan terjadi pada Januari dan Februari. Di Semarang, misalnya, curah hujan yang terjadi Jumat (3/11) siang dalam satu jam pertama saja tercatat 125 mm lebih tinggi dari curah hujan tertinggi yang terjadi pada April 1996
(110 mm).
Dua musibah baru-baru ini membuat semua pihak harus melakukan berbagai upaya untuk mereduksi dan meminimalkan dampak yang akan terjadi akibat banjir dan curah hujan tinggi. Alam sebagai kambing
hitam, kelihatannya, dapat diterima karena dianggap merupakan fenomena di luar kemampuan kita. Excuse ini cukup ampuh untuk menghindarkan diri bahwa kita sesungguhnya mempunyai andil cukup besar terhadap peningkatan kuantitas banjir, erosi, dan sedimentasi.
Siapa Penyebabnya?
Marilah kita sedikit berhitung tentang siapakah penyebab yang sebenarnya. Dari rumus hidrologi sederhana, dapat diuraikan bahwa faktor kontribusi penyebab banjir adalah luas daerah pengaliran sungai, curah hujan, dan tata guna lahan. Tiga variabel ini berlaku pada daerah pengaliran sungai. Sedangkan besarnya aliran (debit) banjir di sungai dipengaruhi empat faktor: lebar, kedalaman air, jenis material di sungai, dan kemiringan memanjang sungai.
Dari tujuh faktor itu, luas daerah pengaliran sungai dapat dikatakan relatif tetap. Enam faktor lainya dapat berubah (hanya curah hujan yang bisa dikatakan faktor alam). Lima faktor lainya -tata guna lahan,
lebar sungai, kedalaman sungai, jenis material dan kemiringan sungai- dapat berubah akibat tindakan manusia.
Seorang pakar cuaca mengatakan, hujan lebat di Jateng yang menimbulkan banjir dan tanah longsor antara lain di Semarang, Cilacap, Purworejo dan Kebumen akibat dampak tak langsung dari dua badai tropis angsane dan Bebinca. Badai angsane muncul tanggal 26 Oktober lalu di sebelah selatan Pilipina; disusul badai Bebinca yang bergerak ke arah barat laut menuju daratan Cina. Bila sudah sampai di daratan ini, akan menimbulkan hujan lebat di daerah selatan wilayah Jawa.
Ahmad Zakir dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta mengatakan, curah hujan yang terjadi sejak akhir Oktober sampai awal November ini mencapai 87,1 mm di atas kondisi normal (50 mm). Tata
guna lahan yang semula hutan kini berubah menjadi gundul, atau dijadikan areal pemukiman (akibat ulah manusia), bisa meningkatkan kuantitas banjir di sungai sampai 2-9 kali lipat.
Naiknya banjir secara proporsional mengakibatkan erosi lahan dan sedimentasi di sungai, yang pada gilirannya mengurangi kapasitas sungai. Air sungai meluap dan terjadilah banjir.
Kesimpulan dari angka-angka hasil analisis sederhana ini adalah: banjir akibat curah hujan (faktor alam) kuantitasnya naik dua kali serta akibat ulah manusia naik 2-9 kali. Akumulasi kedua faktor ini menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor.
Namun bila dicermati, ulah manusia dapat menimbulkan dampak yang lebih besar daripada faktor alami. Saat kegiatan on the spot di Cilacap, Menteri PU dan Pengembangan Wilayah Permukiman, Ny Erna Witoelar, mengatakan banjir dan tanah longsor di kabupaten ini terutama disebabkan penggudulan hutan, termasuk penebangan hutan produksi. Di daerah landai seperti Kebumen dan Semarang, itu akan menimbulkan banjir. Di daerah tinggi, curah hujan akan tinggi dan hutan pun gundul.
Alam selalu bereaksi membentuk keseimbangan baru, apabila kondisinya berubah. Banjir dan longsor merupakan fenomena alam, sekaligus contoh dari reaksi alam akibat keseimbangannya diganggu.
Benar kata pepatah: ”janganlah sekali-kali menentang alam, karena ia selalu memenangi pertarungannya melawan manusia”.
Tindakan Darurat
Pengendalian banjir bisa dibagi dua metode: struktur dan non-struktur. Metode struktur lebih dominan ke tindakan rekayasa atau engineering. Misalnya, normalisasi sungai dan pembangunan pengendali banjir
(waduk, kolam genangan). Metode non-struktur cenderung pada tindakan bukan pembangunan, melainkan lebih bersifat pengelolaan. Yaitu penanganan kondisi darurat, peramalan, peringatan dini bahaya banjir, dan lain-lain.
Tindakan darurat dengan metode struktur pada musim penghujan ini antara lain perbaikan tanggul kritis dan penguatan daerah-daerah rawan longsor. Ka Dinas PU Pengairan Jateng pernah mengatakan, dari
seluruh tanggul sungai sepanjang 900 km, 17 persen (150 km) di antaranya tergolong kritis. Karena keterbatasan dana, tanggul sungai yang akan diperbaiki dipilih menurut skala prioritasnya, terutama yang
berlokasi di daerah padat penduduk.
Penduduk di daerah rawan longsor harus mengamati daerahnya jika ada perubahan fisik tanah. Perlu dibentuk tim khusus yang terdiri atas Dinas PU, Kehutanan, Pertambangan, perguruan tinggi, dan instansi
terkait lainnya. Tim dapat duduk bersama untuk mengalisis serta merumuskan pedoman dan upaya-upaya mengatasi bahaya banjir dan kelongsoran secara preventif.
Yang spesifik terlibat antara lain ahli-ahli dalam bidang teknik sipil hidro, erosi, dan sedimentasi, teknik sipik struktur, teknik sungai, mekanika tanah dan geologi teknik, tanah, geologi dan hidrogeologi.
Untuk sosialisasi kepada masyarakat, diperlukan pakar sosial terutama bidang komunikasi kemasyarakatan.
Informasi daerah rawan longsor, tanda-tanda akan terjadi kelongsoran, proses kelongsoran, dampaknya, dan cara-cara mengatasinya, dapat dituangkan dalam bentuk guide-line yang mudah dipahami masyarakat
awam. Bilamana perlu, datanglah ke daerah-daerah yang berisiko sangat tinggi terhadap kelongsoran. Daerah yang punya kecenderungan banjir di waktu hujan pun perlu diidentifikasi kondisinya, dan dilakukan tindakan preventif terhadap bahaya banjir.
Berbekal data lapangan maupun data sekunder lainnya, tim ini dapat melakukan sosialisasi hasil yang diperolehnya. Bahasanya sederhana, tapi harus jelas dan bisa langsung dipahami dan dimengerti oleh
masyarakat awam.
Law enforcement juga dapat diinformasikan ke masyarakat, agar mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh secara hukum, disertai dengan sanksi-sanksinya bila terjadi pelanggaran hukum. Contoh konkret yang berupa dokumentasi/foto, data korban, atau kerugian bencana banjir dan longsor akibat pelanggaran hukum dapat dipresentasikan pula.
Jangka Panjang
Untuk tindakan jangka panjang, perlu dilakukan kombinasi metode struktur dan non-struktur. Prioritas pertama adalah konservasi lahan secara terpadu dan menyeluruh. Keberhasilan konservasi lahan dapat
memperkecil aliran permukaan yang tinggi, yang bila kelebihan akan menyebabkan banjir.
Menurut data Bappeda Jawa Tengah, curah hujan di Jateng setiap tahunnya rata-rata 2628 mm, dengan potensi sumber daya air sebesar 65,7 miliar m3. Yang termanfaatkan untuk pertanian dan kebutuhan domestik 25,3 miliar m3 (38,5%), untuk konservasi (waduki, embung dan lain-lain) sebesar 2,3 miliar m3 (3,5%).
Sedangkan yang tak termanfaatkan berupa degradasi/tercemar sebesar 0,5 miliar m3 (0,8%) dan belum termanfaatkan/belum dikonservasi 37,6 miliar m3 (57,2%). Angka terakhir ini juga menunjukkan, jika terjadi hujan maka 57,2 persen akan berubah menjadi aliran permukaan yang potensial menyebabkan banjir besar di beberapa daerah.
Hasil laporan dari Pearce dkk (1990) menyatakan, Jawa merupakan daerah dengan laju erosi tertinggi di dunia. Dari total luas wilayah Jawa Tengah, 47 persen di antaranya termasuk daerah rawan erosi.
Dengan dana yang terbatas, potensi air yang belum termanfaatkan sebesar 57,2 persen, daerah rawan erosi 47 persen, dan jumlah sungai sekitar 600 buah, maka cukup tepat jika program konservasi lahan jadi prioritas utama pembangunan di masa datang. Sebab, program ini sekaligus dapat mengatasi problem kekeringan pada musim kemarau.
(Robert J Kodoatie, PhD, staf pengajar Jurusan Teknik Sipil FT Undip-48)
Sumber: Suara Merdeka, Kamis, 16 Nopember 2000.
terima kasih pak.. waktu di UNDIP bapak sempat mengajar saya.. mudah2an tulisan ini menjadi suatu bayangan bagai mana bila air tidaj bersahabat dingan manusia.. tertumpang salam sy untuk Pak Moga .. Ibu Han Aily..
Komentar oleh iswanhasan — Agustus 18, 2010 @ 9:28 pm