BebasBanjir2015

Budidaya Lorong (Alley Cropping)

Sistem Pertanaman Lorong

Sidik H.Tala’ohu.

Gambar 1. Sistem budidaya lorong dengan Flemingia congesta sebagai tanaman pagar pada tanah berlereng. Foto: Sidik H.Tala’ohu.

Sistem pertanaman lorong (alley croping) adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong (alley) di antara barisan tanaman pagar (Gambar 1 dan 2).

Pangkasan dari tanaman pagar digunakan sebagai mulsa yang diharapkan dapat menyumbangkan hara terutama nitrogen kepada tanaman lorong.

Tanaman yang digunakan untuk tanaman pagar antara lain adalah lamtoro (Leucaena leucocephala), gliricidia (Gliricidia sepium), kaliandra (Caliandra calothyrsus) atau flemingia (Flemingia congesta).

Lamtoro lebih sesuai pada tanah yang tidak masam (pH 5,5-7,5) dan kurang baik tumbuhnya apabila tanah masam (pH 4-5,5). Gliricidia mempunyai daya toleransi yang lebih tinggi terhadap kemasaman tanah, tahan pangkasan dan cepat kembali bertunas sesudah pemangkasan. Kaliandra mempunyai daya adaptasi yang cukup luas tetapi kalah populer dibandingkan dengan gliricidia.

F. Agus.

Gambar 2. Sistem budidaya lorong dengan Gliricidia sepium pada tanah datar. Foto: F. Agus.

Persyaratan tanaman pagar:

  • Tahan pemangkasan dan dapat bertunas kembali secara cepat sesudah pemangkasan.
  • Menghasilkan banyak hijauan.
  • Diutamakan yang dapat menambat nitrogen (N2) dari udara.
  • Tingkat persaingannya dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.
  • Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman utama.
  • Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar dan penghasil buah supaya mudah diadopsi petani.

Teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar:

  • Lamtoro dan flemingia biasa ditanam dengan menggunakan biji sedangkan gliricidia dengan menggunakan stek.
  • Untuk bahan stek, pilih cabang yang sudah berwarna keputihan (tidak lagi hijau) berdiameter 2-4 cm. Panjang stek kurang lebih 30 cm.
  • Stek ditanam menurut baris sejajar kontur dengan jarak tanam dalam baris 20-30 cm. Untuk penanaman dengan biji (lamtoro atau flemingia), jarak antar biji sekitar 5-10 cm.

    Gambar 3. Hubungan antara sudut α dalam (derajat, o), jarak vertikal atau interval vertikal (a) dan jarak lateral antar tanaman pagar (c).

  • Jarak antar baris tanaman pagar ditentukan berdasarkan lereng (sudut α) dan jarak vertikal (IV) tanaman pagar (Tabel 9.1 dan Gambar 3). isalnya, untuk lahan yang lerengnya 15%, jarak vertikal yang kita inginkan 75 cm (0,75 m), maka jarak antara baris tanaman pagar (c) adalah 5,1 m atau dibulatkan menjadi 5 m. Untuk lahan yang lerengnya 30% dan jarak interval antar tanaman pagar yang diinginkan 1 m, maka jarak antar baris tanaman adalah 3,5 m. Perlu diingat bahwa apabila jarak antar baris tanaman pagar terlalu dekat, maka kompetisi tanaman pagar terhadap tanaman utama akan lebih kentara dan jika terlalu jarang, keampuhan tanaman pagar menahan erosi akan berkurang.

Pemangkasan dan penggunaan hijauan:

  • Tanaman dibiarkan tumbuh sampai tingginya sekitar 1,5 m (berumur sekitar enam bulan) sebelum dipangkas untuk pertama kalinya. Pemangkasan berikutnya bisa dilakukan sekali dalam tiga bulan.
  • Pemangkasan dilakukan pada ketinggian 50 cm di atas permukaan tanah.
  • Hasil pemangkasan disebar merata pada lorong di antara barisan tanaman semusim.

Keuntungan sistem pertanaman lorong:

  • Dapat menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong.
  • Mengurangi laju aliran permukaan dan erosi apabila tanaman pagar ditanam secara rapat menurut garis kontur.
    F. Agus.

Masalah sistem pertanaman lorong:

  • Tanaman pagar mengambil sekitar 5-15% areal yang biasanya digunakan untuk tanaman pangan/tanaman utama. Untuk itu, perlu diusahakan agar tanaman pagar dapat memberikan hasil langsung. Hal ini dapat ditempuh misalnya dengan menggunakan gliricidia sebagai tanaman pagar dan sekaligus sebagai tongkat panjatan bagi vanili atau lada. Cara lain misalnya dengan menanam kacang gude (Gambar 4) sebagai tanaman pagar.
  • Sering terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk  mendapatkan hara, air, dan cahaya. Cara mengatasinya adalah dengan memangkas tanaman pagar secara teratur supaya pertumbuhan akarnya juga terbatas.
  • Kadang-kadang terjadi pengaruh alelopati dan berkembangnya hama atau penyakit pada tanaman pagar yang dapat mengganggu tanaman pangan.
  • Tenaga kerja yang diperlukan untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar cukup tinggi.

Calliandra calothyrsus used for alley cropping in Indonesia. Photo by H.M. Shelton

FALSAFAH SAINS UNTUK PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDI DAYA LORONG (ALLEY CROPPING) PADA LAHAN PERTANIAN BERLERENG

Oleh: Kamir R. Brata

Sumber:  http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/01101/Kamir.htm

Re-edited 20 December, 2000, Copyright © 2000 Kamir R. Brata ; Makalah Falsafah Sains (PPs 702); Program Pasca Sarjana – S3, Institut Pertanian Bogor; Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

I. PENDAHULUAN

Budidaya lorong (alley cropping) merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air yang telah lama diperkenalkan untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani. Beberapa kendala penerapan budidaya lorong oleh petani secara meluas antara lain: (1) lambatnya pertumbuhan barisan tanaman pagar (hedgerows) pada lahan marginal, (2) kurang efektifnya fungsi barisan tanaman pagar untuk menghambat aliran permukaan dan erosi, (3) sulitnya pemeliharaan dan penanganan hasil pangkasan tanaman pagar, dan (4) terjadinya persaingan penyerapan air dan unsur hara antara tanaman budidaya yang ditanam di lorong (alley) dengan tanaman pagar.

Falsafah sains dapat mendorong ilmuwan secara jujur mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dari ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang telah dikembangkan (Suriasumantri, 1988). Dengan kemampuan daya nalarnya, secara teleologi ilmuwan berusaha mencari keterangan yang dapat menerangkan mengapa kendala-kendala tersebut terjadi (Nasoetion, 1988). Dengan demikian ilmuwan terdorong untuk berfalsafah memikirkan kembali usaha penyempurnaan-nya, dengan modifikasi teknik yang dapat mengatasi kendala tersebut.

Makalah ini membahas apa dan mengapa teknik budidaya lorong perlu disempurnakan (landasan ontologis), bagaimana usaha penyempurnaannya dapat dilakukan (landasan epistemologis), serta manfaat usaha penyempurnaan (landasan aksiologis).

II. TEKNIK BUDIDAYA LORONG

Teknik budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.

Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman. Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan.

Hasil penelitian Rachman, Abdurachman, dan Haryono (1995) tentang sistem budidaya lorong pada tanah Eutropepts Ungaran berlereng 10 – 15 %, menunjukkan bahwa setelah tahun ke-4 tanaman pagar Kaliandra, Vetiver (Vetiveria zizanioides), dan Flemingia (Flemingia congesta) masih menghasilkan jumlah aliran permukaan masing-masing sebesar 2039, 1007, dan 470 m3/ha/tahun; meskipun tanaman pagar tersebut ditanam dalam strip 2 baris tanaman. Mereka melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman pagar Teprosia (Tephrosia vogelii) sangat buruk sehingga diganti dengan Vetiver. Ai Dariah, Suganda, Sujitno, Tala’ohu, dan Sutrisno (1995) menggunakan sistem budidaya lorong untuk merehabilitasi lahan semi kritis bervegetasi Alang-alang (Imperata cylindrica) di Desa Jatiwangi, Garut. Budidaya lorong dengan tanaman pagar Flemingia, Vetiver, dan Lamtoro (Leucaena leucocephala) masing-masing masih menim-bulkan aliran pemukaan sebesar 15.8, 69.1, dan 24.1 m3/ha dalam bulan Februari 1994 (tahun ke-4) dan menghasilkan erosi kumulatif masing-masing sebesar 4.1, 11.2, dan 1.9 ton/ha selama 6 bulan.

Persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman yang dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan unsur hara oleh akar tanaman pagar sulit dihindari karena terus berkembang menyebar di dalam tanah pada areal tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidya, sering dianggap sulit untuk dilakukan karena pangkasan cabang/ranting tanaman pagar relatif lebih sulit mengatur penyebarannya.

Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam penerapan dan pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan penyebarluasan adopsi teknologi budidaya lorong oleh petani. Seringkali kegiatan pembinaan dalam penerapan teknologi konservasi tanah dan air memerlukan biaya mahal diluar kemampuan finansial petani sehingga bantuan pembiayaan yang dikeluarkan pada saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi sia-sia karena tidak dilanjutkan oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan. Meskipun penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat mengurangi tingkat kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan dapat memotivasi kemampuan menalarnya berfalsafah memikirkan pengembangan sains bagi penyempurnaan teknologi yang dapat memudahkan pemakai teknologi memperoleh keuntungan maksimal akibat mengadopsi teknologi tersebut.

III. USAHA PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDIDAYA LORONG

Menurut Siswomartono dan Wirodidjojo (1990), kendala utama dalam memotivasi petani untuk menerapkan paket teknologi konservasi yang diperkenalkan meliputi: keterbatasan kemampuan finansial petani untuk menerapkan dan memelihara tindakan konservasi, serta tingkat pengetahuan dan keterampilan petani yang rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut, mereka menyarankan perlu dikembangkannya paket teknologi konservasi yang lebih tepat guna, yaitu secara teknik lebih sederhana, lebih ekonomis, dapat diterima masyarakat, tetapi lebih efektif dapat mengendalikan aliran permukaan dan erosi.

Menurut El-Swaify (1991), pengendalian aliran permukaan dan erosi harus diusahakan melalui peningkatan laju peresapan air ke dalam tanah, pemanfaatan sisa tanaman yang optimal untuk melindungi tanah dan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologis tanah. Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal telah lama dikembangkan oleh Spain dan McCune (1956) di Amerika Serikat. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai jenis tanah menunjukkan bahwa berbagai macam sisa tanaman dapat dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal untuk memperbaiki sifat fisik, meningkatkan laju infiltrasi dan produktivitas lahan (Parr,1959 ; Kingsley dan Shubeck, 1964 ; Fairbourn dan Gardner, 1974 ; Rama Mohan Rao, Ranga Rao, Ramachandram dan Agnihotri, 1978).

Untuk mempermudah penerapan mulsa vertikal, Brata (1993) berusaha memodifikasi teknik mulsa vertikal dengan memanfaatkan saluran teras gulud untuk mengumpulkan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal (Gambar 1). Hasil penelitian Brata (1995a, 1995b) menunjukkan bahwa modifikasi teknik mulsa vertikal tersebut mampu dengan nyata menurunkan jumlah aliran permukaan dan erosi, serta kehilangan hara yang ditimbulkannya; dibandingkan dengan teras gulud dan mulsa konvensional. Modifikasi teknik mulsa tersebut telah berhasil diterapkan untuk rehabilitasi lahan pada proyek Kaji Tindak Usaha Pertanian Lahan Kering di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau – Kalimantan Barat (Tim Lembaga Penelitian IPB, 1995) dan Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah di Unit Pemukiman Transmigrasi Bekambit SP 2, Kabupaten Kota Baru – Kalimantan Selatan (Fakultas Pertanian IPB, 1996).

01k

Gambar 1. Modifikasi Teras Gulud Dengan Mulsa Vertikal

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pengamatan pada kaji tindak (action research) tersebut, pada beberapa kesempatan presentasi teknik mulsa vertikal, Brata (1995c) menyarankan perlu digunakannya teknik mulsa vertikal untuk penyempurnaan budidaya lorong (Gambar 2).

02k

Gambar 2. Budidaya lorong konvensional (a) dan dengan mulsa vertikal (b)

Barisan tanaman pagar berperakaran dalam yang ditanam pada guludan diharapkan dapat memperkuat guludan untuk menahan aliran permukaan dan menyerap unsur hara dari subsoil untuk pendaur-ulangan unsur hara yang lebih efisien. Penanaman tanaman pagar pada guludan juga dapat berfungsi ganda, antara lain: (1) untuk memperkuat guludan, (2) menyerap kelebihan air dan unsur hara yang terkumpul di saluran untuk menghasilkan bahan organik, serta (3) mengurangi volume perakaran tanaman pagar yang dapat menjangkau dan bersaing dalam pengambilan air dan unsur hara dengan tanaman budidaya.

Sedangkan saluran bermulsa sangat penting untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan, sekaligus dapat membatasi persaingan air dan unsur hara oleh perkembangan akar tanaman pagar ke bidang pertanaman budidaya. Saluran juga berfungsi untuk mengumpulkan sisa tanaman dan hasil pangkasan tanaman pagar. Saluran teras gulud lebih didayagunakan untuk tempat pengomposan, sekaligus dapat menambah permukaan resapan yang berfungsi ganda yaitu untuk memperlancar drainase dari bidang pertanaman di bagian hulu/atas dan untuk mengairi bidang pertanaman di bagian hilir/bawah.

Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal untuk mengisi saluran teras gulud dapat mempunyai manfaat ganda, antara lain: (1) sebelum mengalami pelapukan sisa tanaman dapat mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus, (2) aktivitas organisme yang membantu proses pelapukan sisa tanaman bahkan dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran, (3) unsur hara yang dilepaskan selama proses pengomposan akan diserap oleh tanaman pagar yang kemudian dapat dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman, (4) campuran kompos dan sedimen yang tertampung dalam saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke bidang pertanaman setelah panen, dan (5) saluran yang sudah dikosongkan dapat digunakan untuk mengumpulkan sisa tanaman, sehingga dapat memudahkan persiapan lahan untuk musim tanam berikutnya (Brata, 1999).

IV. MANFAAT PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDIDAYA LORONG

Tindakan penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat memaksimalkan fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan sisa tanaman, meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur hara, serta mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan. Beberapa tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.

Untuk mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut diperlukan penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari dan memantau dampak teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap besarnya aliran permukaan dan erosi, pertumbuhan dan produksi tanaman, serta peubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi; dibandingkan dengan teknik budidaya lorong konvensional. Untuk menjamin terpeliharanya petak permanen tersebut maka penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian IPB di Cikabayan yang telah dilengkapi dengan stasiun pengamatan iklim yang memadai. Dari lokasi yang strategis di dekat Kampus Institut Pertanian Bogor dan tidak jauh dari Ibu Kota Negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tambahan yang sangat penting yaitu menyediakan sarana peragaan bagi pendidikan, pelatihan dan obyek kunjungan bagi kontak tani dan transmigran teladan.

V. DAFTAR PUSTAKA

Ai Dariah, H. Suganda, E. Suyitno, S.H. Tala’ohu, dan N. Sutrisno. 1995. Rehabilitasi lahan Alang-alang dengan sistem budidaya lorong di Pakenjeng, Kabupaten Garut. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat. pp. 31-41.

Brata, K.R. 1993. Teknik Konservasi Tanah dan Air Tepat Guna Untuk Rehabilitasi Lahan. Bahan Kuliah Pembekalan KKN Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Brata, K.R. 1995a. Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering di Latosol Darmaga. J. Il. Pert. Indon 5(1):13-19.

Brata, K.R. 1995b. Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering dengan pemanfaatan bantuan cacing tanah. J. Il. Pert. Indon 5(2):69-75.

Brata, K.R. 1995c. Teknik mulsa vertikal sebagai salah satu alternatif dalam membantu penyiapan lahan tanpa bakar di daerah transmigrasi. Makalah disampaikan pada Diskusi Teknis Staf Direktorat Pendayagunaan Lingkungan, di Dept. Trans. dan PPH, Jakarta.

Brata, K.R. 1999. The utilization of plant residues as vertical mulch to control runoff, erosion, and nutrient losses from sloping upland agriculture. Proc. Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung, September 27-28, 1999. pp. 409-414.

El-Swaify, S.A. 1991. Effective resource conservation on hillslopes. In W.C. Moldenhauer, N.W. Hudson, T.C. Sheng and S.W. Lee (Eds.). Development of Conservation Farming on Hillslopes. SWCS. Ankeny. pp.93-100.

Fairbourn, M.L. and H.R. Gardner. 1974. Field use of microwatersheds with vertical mulch. Agron J. 66:740-744.

Juo, A.S.R., J.O. Caldwell, and B.T. Kang. 1994. Place for alley cropping in sustainable agriculture in the humid tropics. Trans. 15th World Congr. Soil Sci., Mexico 7a:98-109.

Kingsley, Q.S. and F.E. Shubeck. 1964. The effects of organic trenching on runoff. J. Soil and Water Conserv. 19:19-22

Nasoetion, A.H. 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Bogor.

Parr, J.F. 1959. Effects of vertical mulching and subsoiling on soil physical properties. Agron J. 51:412-414.

Rachman, A., A. Abdurachman, dan Haryono. 1995. Erosi dan perubahan sifat tanah dalam sistem pertanaman lorong pada tanah Eutropepts, Ungaran. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat. pp. 17-30.

Rama Mohan Rao, M.S., Ranga Rao, V., Ramachandram, M. and R.C. Agnihotri. 1978. Effects of vertical mulch on moisture conservation and yield of sorghum in Vertisols. Agric. Water Management. 1:333-342.

Siswomartono, D. and S. Wirodidjojo. 1990. Overview of soil conservation in Indonesia. Contour 2.1:13-16.

Spain, J. M. and D. L. McCune. 1956. Something new in subsoiling. Agron. J. 48:192-193.

Suriasumantri, J.S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Tim Lembaga Penelitian IPB. 1995. Laporan Akhir Kaji Tindak (Action Research) Usaha Pertanian Lahan Kering Terpadu di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Propinsi DT I Kalimantan Barat. Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN SISTEM ALLEY CROPPING SERTA PELUANG DA N KENDALA ADOPSINYA DI LAHAN KERING DAS BAGIAN HULU

Oleh: Umi Haryati,  A226014021, Email : umiharyati@yahoo.com

© 2002 Umi Haryati Posted 29 November, 2002, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, November 2002. Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab), Prof. Dr. Zahrial Coto, Dr. Bambang Purwantara

Sumber: http://tumoutou.net/702_05123/umi_haryati.htm

ABSTRAK

Lahan kering merupakan sumber daya alam yang mempunyai peluang besar untuk dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan lahan kering (terutama yang berlereng terjal) harus disertai dengan kaidah-kaidah teknik konservasi yang cocok dan sesuai dengan kondisi petani. Oleh karena itu teknik konservasi yang diintroduksikan haruslah teknik konservasi yang efektif mengendalikan erosi, murah dan mudah diterapkan serta dapat diterima oleh petani. Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong (Alley cropping). Tulisan ini mengemukakan tentang keunggulan dan kelemahan Alley cropping serta peluang dan kendala adopsinya berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang : (1) efektivitas pengendalian erosi, (2) peningkatan produktivitas tanah dan tanaman, (3) analisis ekonomi, (4) kelemahan, (5) minimasi pengaruh negatif dan maksimasi pengaruh positif, serta (6) peluang dan kendala adopsinya. Dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan serta peluang dan kendala adopsinya maka Alley cropping mempunyai peluang yang strategis untuk dikembangkan di lahan kering daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu.

Kata kunci : Alley cropping, erosi, produktivitas tanah, kompetisi, ekonomi, adopsi.

PENDAHULUAN

Lahan kering merupakan sumber daya alam yang mempunyai peluang besar untuk dimanfaatkan secara optimal. Areal lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di P. Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 juta ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha) dan Irian Jaya (11,8 juta ha) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998). Untuk memanfaatkan sumberdaya ini haruslah berhati-hati karena sebagian besar lahan kering tersebar di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu yang bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit dengan curah hujan yang tinggi. Hal ini akan memicu terjadinya erosi, sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemanfaatan lahan kering di DAS bagian hulu tidak akan optimal tanpa penerapan teknik konservasi yang memadai. Selain fisik lingkungan, keadaan sosial ekonomi petani juga merupakan faktor penyebab terhambatnya pengembangan /pembangunan pertanian di daerah ini. Pada umumnya petani lahan kering di DAS bagian hulu adalah petani miskin dengan penguasaan/pemilikan lahan yang sempit dan bermodal rendah. Oleh karena itu teknologi yang diintroduksikan ke lahan kering DAS bagian hulu haruslah teknologi yang mampu mengendalikan erosi, mudah dilaksanakan, murah dan dapat diterima oleh petani. Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong atau Alley cropping.

Alley cropping merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak (Kang et al., 1984). Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala yang pertama diuji dalam sistem Alley cropping ini dan menyusul kemudian Glinsidia sepium.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif mengendalikan erosi. Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 69%, yang terdiri atas 48% disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8% disebabkan oleh perubahan profil tanah dan 4% oleh penanaman secara kontour (O’Sullivan, dalam Hawkins et al., 1990). Di Indonesia sistem ini sudah diyakini efektif mengendalikan erosi (Sukmana and Suwardjo, 1991) dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman serta dapat diadopsi oleh petani di lahan kering (Kang et al., 1984 ; Santoso and Dixin, 1997).

Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan tentang keunggulan dan kelemahan Alley cropping serta peluang dan kendala adopsinya berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang : (1) efektivitas pengendalian erosi, (2) peningkatan produktivitas tanah dan tanaman, (3) analisis ekonomi, (4) kelemahan, (5) minimasi pengaruh negatif dan maksimasi pengaruh positif, serta (6) peluang dan kendala adopsinya.

KEUNGGULAN SISTEM ALLEY CROPPING

Efektivitas Pengendalian Erosi

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat efektif dalam mengendalikan erosi (Tabel 1).

Efektivitas pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan lahan. Efektivitas pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak menggunakan Alley cropping (Tabel 1).

Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal semusin. Efektivitas pengendalian erosi ini selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga karena terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. Lebih lanjut Alegre dan Rao (1995) juga mengemukakan bahwa rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan dan pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi.

Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman

Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga ternyata dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Hasil penelitian Alegre dan Rao (1996) menunjukkan bahwa sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah (Tabel 2).

Sumber : Alegre and Rao (1996)

Perbaikan sifat fisik ini disebabkan karena adanya perambahan residu organik dari hasil pangkasan secara periodik ke tanah. Penelitian lain menunjukkan bahwa sistem Alley cropping dapat mengingkatkan diameter agregat dan stabilitas agregat. Diameter agregat dan pengayakan kering meningkat dari 1,33 (kontrol) menjadi 2,68 dan 3,11 mm setelah 3 tahun, masing-masing pada plot pigeon pea dan Gliricidia (Tabel 3) menjadi 95-90% setelah 3 tahun Alley cropping dengan Gliricidia lebih baik dari kacang babi (pigeon pea) dalam meningkatkan stabilitas agregat (Mapa and Gunasena,1995).

Hasil penelitian Agas et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah Alley cropping pada tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat tanah tidak dipengaruhi oleh jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh posisi dalam lorong. Lebih dekat pada barisan tanaman pagar, mempengaruhi distribusi air. Air tersedia pada kedalaman 10-15 cm adalah 0,16 ; 0,13 dan 0,08 m3 masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas dari lorong. Transmisivitas air menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12 mm/detik pada bagian atas dari lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun pada bagian lorong yang dekat pada tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air antara tanaman pagar dengan tanaman pangan pada lorong.

Selain perbaikan sifat fisik tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga memperlihatkan bahwa Alley cropping dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah (Tabel 4)

at4

Selain peningkatan unsur C,P,K, Ca dan Mg, Alley cropping dengan Inga edulis juga dapat menurunkan kejenuhan Al dari 78% menjadi 73 % (Alegre and Rao, 1996).

Penelitian (Salazar et al., 1993) menyebutkan bahwa pada semua spesies yang dicoba (Erythrina, Leucaena dan Inga) terdapat keseimbangan yang positif untuk N, K, Ca, serta negatif untuk P. Keseimbangan yang positif terjadi pada perlakuan Erythrina dan Leucaena dan sedikit negatif pada Inga. Keseimbangan N lebih kecil untuk Erythrina dibandingkan spesies yang lain karena ratio daun : ranting yang rendah dan konsentrasi N yang rendah dari ranting/batang.

Kesuburan tanah dalam Alley cropping ternyata bervariasi menurut fungsi posisi pada lorong (diantara tanaman pagar), pada sistem pertanaman. Pada Alley cropping dengan Casia spectabilis (Garrity et al., 1995 dalam Garrity, 1996), C-organik tanah bervarisi dari 1,7% dekat barisan tanaman pagar bagian atas lorong sampai 2,8% pada bagian bawah. P-tersedia dua kali lebih tinggi pada bagian bawah dibandingkan bagian atas, pH tanah tidak berubah tetapi Al-dd menurun sementara K dan Mg tidak berubah. C-organik meningkat dari 2 menjadi 3%, nitrogen dari 0,2 manjadi 0,27% pada Oxic Palehumult (Samzussaman’s, 1994 dalam Garrity, 1996 danTurkelboom et al., 1993 dalam Garrity, 1996).

Respon spatial dalam Alley cropping juga terjadi pada aktivitas organisme di dalam tanah yang ditunjukkan oleh gradient spatial dan temporal dari aktivitas casting cacing tanah (Hauzer et al., 1998). Aktivitas casting menurun menurut jarak terhadap tanaman pagar yang ditunjukkan oleh persamaan regresi pada Tabel 5. Aktivitas casting tersebut menurun hingga 0 (nol) pada jarak 200 cm dari tanaman pagar.

at5

Aktivitas casting pada Alley cropping dengan Leucaena leucocephala pada lorong menurun sebanyak 12,55, 80 dan 86% masing-masing pada tahun pertama, keempat, keenam dan ketujuh bila dibandingkan dengan aktivitas casting di bawah tanaman pagar. Penurunan casting sampai ke bagian tengah lorong tidak linier tetapi mengikuti fungsi logaritmic. Selain menurun menurut jarak, aktivitas casting juga menurun menurut lamanya waktu. Penurunan tersebut berbeda pada bagian lorong dan di bawah tanaman pagar, yang dicerminkan oleh persamaan regresi sebagai berikut :

– di bawah tanaman pagar : Cast = -12,7 (tahun aplikasi) + 184 (R2 = 0,95*)

– di dalam lorong : Cast = -14,5 (tahun aplikasi) + 110 (R2 = 0,80 ns)

Penelitian di Costa Rica memperlihatkan bahwa Alley cropping dengan tanaman utama kacang-kacangan dapat meningkatkan kehidupan mikrobiota tanah (nodulasi dengan Rhizobium) pada tahun-tahun kering. Akar tanaman yang dikolonisasi oleh fungi arbuscular mycorrihiza (AM) sebanyak 95 – 98%. Sistem ini dapat menurunkan bahaya penyakit anthrac nose yang disebabkan oleh Colletotrichum lindemuthianum dan menurunkan bahaya fusarium akar. Peningkatan aktivitas mikrobiota ini diperlihatkan dengan adanya peningkatan respirasi CO2 (Rosemeyer et al., 2000).

Perbaikan produktivitas tanah yang meliputi perbaikan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan aktivitas biologi tanah tentu saja akan sangat menunjang pertumbuhan taaman yang pada akhirnya meningkatkan produksi tanaman pangan/semusim yang ditanam pada lorongnya. Hal tersebut juga dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hasil tanaman pangan/semusim yang ditanam dalam Alley cropping hasilnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa Alley cropping. Kembali Kang et al. (1984) menunjukkan peningkatan hasil dari tanaman jagung, kacang tunggak dan ubikayu pada Alley cropping dengan Glirisidia, Leucaena dan Acioa (Tabel 6).

Peneliti lain (Chamshama et al., 1998) juga menunjukkan bahwa Alley cropping dapat meningkatkan hasil jagung dari 1,6 menjadi 2,0 ton/ha dengan tanaman Faidherbia dan dari 1,7 menjadi 1,9 ton/ha dengan Leucaena sp di Morogoro, Tanzania.

Tanggap tanaman sepanjang lorong dalam Alley cropping pada tahun-tahun pertama adalah menyerupai parabola convex, jika tanaman pagarnya dipangkas. Penurunan produktivitas pasa tanaman yang dekat dengan pagar menunjukkan adany kombinasi kompetisi di bagian atas dan bawah tanah (Garrity, 1996). Bentuk tanggap yang berbeda (bentuk dome) terjadi pada padi gogo (Salazar et al., 1993), sementara jagung relatif lebih netral. Pola tanggap ini juga berbeda sejalan dengan umur tanaman pagarnya.

Interaksi Menguntungkan Antara Tanaman Pagar dan Tanaman Pangan/Semusim

Interaksi yang mungkin terjadi antara tanaman pagar dan tanaman utama (pangan/semusim) yang bersifat menguntungkan atau positif adalah (Hairiah et al., 2000)

  1. Serasah dan hasil pangkasan (daun dan ranting) merupakan lapisan pelindung sumber bahn organik untuk tanah.
  2. Lapisan serasah menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah dan memperbaiki regim kelembaban tanah.
  3. Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma (misalnya Imperata cylindrica), dan mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau.
  4. System perakaran yang dalam memperbaiki siklus unsur hara dengan cara :
    a. Nutrient safety net, pengambilan unsur hara yang tercuci ke lapisan sub soil yang tidak terjangkau oleh akar tanaman pangan/semusim yang dangkal.
    b. Nutrient Pump, pengambilan unsur hara yang dilepas dari pelapukan mineral pada lapisan yang lebih dalam.
  5. Tanaman pagar (Leguminosa) dapat mengikat unsur N2 secara biologis dari udara dan sebagai suplai nitrogen sehingga kebutuhan pupuk N diturunkan.
  6. Memberikan iklim mikro yang stabil, dengan penurunan kecepatan angin, peningkatan kelembaban, memberikan naungan (misalnya Erythrina pada pertanaman coklat atau kopi).
  7. Memberikan keuntungan jangka panjang, misanya menurunkan resiko melalui perbaikan struktur dan parositas oleh penambahan bahan organik.

KELEMAHAN SISTEM ALLEY CROPPING

Suatu teknologi disamping mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan. Beberapa kelemahan sistem Alley cropping diantaranya adalah :

  1. Mengurangi luas areal tanam sebanyak ± 20 – 22 % (Alegre and Rao, 1996 ; Laseo et al., 1996)
  2. Adanya penambahan biaya dan tenaga untuk penanaman, pemangkasan, pemulsaan dan pemeliharaan tanaman pagar. (Celestino, 1985 dalam Lasco et al., 1996 ; Mercado et al,. 2000 Sanchez, 1995).
  3. Efek allelophati (mengeluarkan aksudat yang bersifat racun bagi tanaman) Cuezas and Samson, 1982 dalam Lasco et al,. 1996; Cagampang et al., 1985 dalam Lasco et al., 1996)
  4. Interaksi yang tidak menguntungkan antara pohon dan tanaman pangan/semusim)
    a. Kompetisi cahaya : naungan pohon, menurunkan intensitas cahaya pada level tanaman pangan/semusim (Mc Intyre et al., 1996 ; Hairiah et al., 2000 ; Garrity, 1996)
    b. Kompetisi hara dan air : Sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal akan berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air, menurunkan penyerapan oleh akar tanaman pangan/semusim (Hairiah et al., 2000)
    c. Tanaman pagar bisa sebagai inang hama dan penyakit bagi tanaman pangan/semusim dan sebaliknya (Hairiah et al., 2000)

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa Alley cropping pada tanah masam tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan apabila tidak disertai dengan penambahan pupuk buatan (Sanchez, 1995) dan jika pupuk buatan diberikan secara lengkap maka pengaruh positif dari tanaman lorong tidak terlihat (Lal, 1991 dalam Sanchez, 1995).

Persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman pangan untuk mendapatkan cahaya, air dan zat hara seringkali sangat mengurangi pengaruh positif tanaman pagar (Van Noordwijk et al., 1998). Persaingan yang ditimbulkan oleh legum yang cepat pertumbuhannya (fast growing leguminnus tree) seperti lamtoro, kaliandra, Flemingia sp dan Glirisidi lebih tinggi dibandingkan dengan persaingan yang ditimbulkan tanaman legum lokal (peltophorum dasyrrhachis) walaupun sebenarnya kontribusi fast growing leguminous tree terhadap kesuburantanah juga cukup besar.

Penelitian Van Noordwijk et al., 1998 menunjukkan bahwa hanya Peltophorum Dasyrrchachis dan kaliandra yang memberikan pengaruh interaksi positif terhadap tanaman pangan (Tabel 7). Peltophorum dasyrrhachis mempunyai kanopi yang rapat, sehingga pengaruh naungannya sedikit sedangkan legum lainnya pada percobaan on mempunyao hanopi yang menyebar.

ANALISIS EKONOMI DALAM ALLEY CROPPING

Dengan menggunakan model program linier, Verinumbe et al. (1984 dalam Kang et al., 1996) menunjukkan bahwa jagung dalam Alley cropping dengan Luecaena sangat menarik secara ekonomi, meskipun lebih banyak tenaga kerja untuk pemangkasan, sedikit pupuk dan herbisida diperlukan. Selanjutnya Sumberg et al. (1987 dalam Kang et al., 1990) mengemukakan bahwa tanaman jagung dalam pertanaman lorong lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tanpa pertanman lorong, tetapi keuntungan tersebut menurun ketika harga benih jagung meningkat secara relatif terhadap tenaga kerja.

Peneliti lain melaporkan bahwa penambahan tenaga kerja dalam Alley cropping terjadi pada waktu penanaman tanaman pagar sebanyak 51 HOK/ha, pemangkasan pada waktu musim hujan 20 HOK/ha dan musim kemarau 10 HOK/ha (Nelson et al., 1997). Net present Value (NPV) menurun setelah tiga tahun bahkan negatif setelah 9 tahun pada usaha tani tanpa pertanaman lorong sedangkan pada Alley cropping tetap bernilai positif sampai 25 tahun.

Analisi ekonomi yang dilakukan oleh Tonye dan Titi – Nwel (1995) menunjukkan bahwa dalam Alley cropping terjadi peningkatan kebutuhan tenaga kerja pada tahun pertama yaitu sebesar 14 HOK/ha untuk penanaman tanaman pagar dan 22 – 26 HOK/ha untuk pemangkasan tanaman pagar serta pemulsaan pada tahun kedua dan ketiga. Analisis dominansi memperlihatkan bahwa pertanaman jagung + kacang tanah dalam Alley cropping dengan Leucaena leucocephala memberikan nilai pengembalian marjinal (marginal rate of return) yang lebih tinggi. Hasil analisi dominansi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada ke-4 sistem yang dicoba mempunyai nilai B/C ratio > 1, maka dengan analisis dominansi terseleksi bahwa Alley cropping tanpa pupuk memberikan nilai pengembalian marjinal tertinggi yaitu 447 %.

Sementara itu Akyeampong dan Hitimana (1996) di Mashitsi, Burundi, menunjukkan bahwa penggunaan eksternal input (pupuk) dengan ataupun tanpa pertanaman lorong tidak terbukti menguntungkan selama 5 tahun. Ini mungkin karena tanaman utama tidak memberikan respon terhadap N yang disebabkan oleh defisiensi unsur hara yang lain yaitu P dan input pupuk P yang rendah. Keuntungan bersih menjadi negatif jika harga tanaman utama (jagung) meningkat 50% biaya pembibitan menurun 50% atau resiko diturunkan 10%. Nilai pengembalian yang negatif terutama terjadi pada 3 tahun pertama. Ini sejalan dengan evaluasi terhadap 50 petani di bagian barat Kenya dimana Alley cropping tidak menguntungkan pada 80% responden.

Tenaga kerja ekstra yang diperlukan dalam Alley cropping di Lombok berkisar 250 – 310 HOK/ha (tergantung apakah satu atau dua kali tanam) dibandingkan 160 HOK/ha untuk padi sawah dan 180-240 HOK/ha untuk lahan kering tradisional (Wiersum, 1994).

MINIMASI PENGARUH NEGATIF DAN MAKSIMASI PENGARUH POSITIF DALAM SISTEM ALLEY CROPPING

Kunci untuk suksesnya penerapan Alley cropping sangat tergantung pada bagaimana meminimalkan pengaruh tidak menguntungkan dan memaksimalkan pengaruh menguntungkan pada taraf input tenaga kerja yang memungkinkan (Hairiah et al.,2000).

Pengaruh tidak menguntungkan atau pengaruh negatif tersebut dapat dilakukan dengan cara :

  • Pemangkasan secara periodik selama fase pertumbuhan tanaman utama untuk mengurangi pengaruh naungan.
  • Memilih tanaman yang mempunyai kanopi lebih sempit tetapi rapat untuk mengurangi kompetisi cahaya.
  • Melebarkan jarak tanaman pagar, untuk mengurangi kompetisi di bagian atas tanah juga lapisan bawah tanah.
  • Memilih tanaman utama (pangan/semusim) yang toleran terhadap naungan seperti cocoyam, jahe dan lain-lain.
  • Memilih jenis tanaman pagar yang mempunyai perakaran yang dalam untuk menghilangkan kompetisi dengan tanaman utama tetapi cukup dekat untuk mengendalikan gulma dan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari suplai bahan organik.

Pengaruh menguntungkan dapat dimaksimalkan dengan cara memilih tanaman pohon yang sesuai untuk ditumpangsarikan dengan tanaman semusim berdasarkan :

  • Bentuk dan distribusi kanopi. Pohon yang tinggi dengan kanopi yang sempit tapi padat tidak akan memberikan terlalu banyak naungan terhadap tanaman utama selama musim tanam. Sebaliknya, pohon dengan kanopi yang lebar dan setengah terbuka akan memungkinkan cahaya menjangkau tanaman utama, tetapi tidak sesuai dalam mengendalikan gulma setelah atau diantara periode pertanaman.
  • Kualitas dan kuantitaas penyediaan bahan organik. Untuk memaksimalkan pengaruh positif, pohon dengan selah yang lambat didekomposisi dikombinasikan dengan pohon yang mempunyai resiau bahan organik yang cepat terdekomposisi serasah dengan kualitas yang rendah dan lambat didekomposisi sesuai untuk mulsa, melindungi permukaan tanah dari erosi. Sebaliknya, serasah dengan kualitas yang tinggi dan cepat didekomposisi mudah tercuci. Kualitas serasah yang tinggi berpotensi sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Kombinasi dari serasah yang berkualitas rendah dan tinggi akan meningkatkan sinkronisasi dari pelepasan hara dari resiau organik dengan kebutuhan tanaman.
  • Kemampuan pertumbuhan. Pohon yang cocok untuk tumpangsari harus tumbuh lebih lambat pada tahap awal dari fase pertanaman, tetapi bertahan pada waktu musim kemarau.
  • Kedalaman perakaran dan distribusinya. Perbandingan perakaran yang dalam dan mempunyai sistem distribusi perakaran akan menurunkan pencucian hara.
  • Tahan terhadap pemangkasan dan periodik. Pemangkasan sangat penting untuk menghilangkan naungan yang berlebihan. Mungkin ada pohon yang tidak tahan terhadap pemangkasan yang berulang.
  • Tahan terhadap hama dan penyakit
  • Mempunyai kemampuan biologi untuk memfiksasi N2 – Udara

PELUANG DAN KENDALA ADOPSI ALLEY CROPPING DI LAHAN KERING

Petani lahan kering pada umumnya bermodal rendah dengan tenaga kerja yang langka, maka Alley cropping merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan teras bangku. Selain itu sistem ini merupakan pilihan yang cocok baik dimana teknik konservasi yang lain, misalnya teras bangku, tidak cocok diterapkan pada daerah tersebut karena, solum tanah yang dangkal (<50 cm), labil (karena mengandung liat 2:1) dan mempunyai kemiringan >45%.

Pada lahan yang sudah terlanjur dibuat teras bangku, biasanya tanpa tanaman penguat teras, memerlukan tanaman penguat teras berupa rumput dan leguminosa pohon untuk lebih mengefektifkan dari teras bangku tersebut. Ini juga merupakan peluang pengembangan leguminosa yang biasa ditanam dalam Alley cropping. Selanjutnya jenis tanaman yang dikembangkan maupun tempat dan cara bertanam disesuaikan dengan keinginan petani setempat.

Masalah yang kerap kali dihadapi petani di lahan kering yaitu kelangkaan hijauan pohon setiap musim kemarau dapat menjadi pendorong kuat motivasi petani untuk menerapkan Alley cropping. Oleh karena itu untuk lebih mendayagunakan sistem ini hubungannya dengan kebutuhan petani, maka Alley cropping perlu dimodifikasi yaitu dengan mengkombinasikan rumput pakan ternak pada barisan pagarnya atau ditanam secara berselang-seling antar barisan.

Selain sumber makanan ternak dan atau sumber bahan organik , introduksi tanaman leguminosa pohon pada Alley cropping memberi kesempatan kepada petani dalam pemenuhan kebutuhan kayu bakar. Untuk itu pemilihan jenis leguminosa yang akan diintroduksikan selain dipilih tanaman yang sesuai dengan agroekosistem setempat, mempunyai pengaruh negatif yang rendah, juga harus sesuai dengan tujuan utama (prioritas masalah) yang akan dipecahkan, misalnya :

  • Jika erosi menjadi masalah utama (dibandingkan pakan ternak), maka Flemingia congesta menjadi pilihan utama dalam Alley cropping;
  • Jika pakan ternak menjadi masalah utama, maka Gliricidia sepium dan atau Calliandra calothyrsus menjadi pilihan atau dikombinasikan dengan Flemingia congesta.
  • Jika tanah alkalin kuat, atau solum tanah <50 cm di atas batu kapur, maka Gliricidia sepium yang dipilih; dan
  • Jika ketinggian tempat >500 m dpl, maka Calliandra calothyrsus menjadi pilihan utama sebagai alternatif Gliricidia sepium atau Flemingia congesta.

Dengan demikian sebaiknya diintroduksikan beberapa jenis legum dalam Alley cropping, karena petani ingin memiliki lebih dari satu jenis legum setelah tahu bahwa masing-masing jenis legum mempunyai kekurangan dan kelebihan yang berbeda.

Dengan memperhatikan kendala adopsi, maka Alley cropping potensial untuk dikembangkan pada daerah dimana praktek perladangan berpindah masih sangat dominan untuk mendorong petani melakukan usaha pertanian menetap serta di lahan kering DAS bagian hulu.

Shancez (1995) mengemukakan bahwa Alley cropping baik diterapkan pada kondisi dimana : (1) tanah cukup subur tanpa keterbatasan unsur hara makro; (2) curah hujan cukup selama masa pertanaman; (3) lahan sangat miring dan erosi tinggi; (4) tenaga kerja banyak tersedia dan lahannya luas; dan (5) status pemilikan tanah yang aman.

Penelitian di Indonesia bagian timur (Lombok dan Sumbawa) yang dikemukakan oleh Wiersum (1994) menunjukkan bahwa proses adopsi Alley cropping cukup heterogen dan sangat tergantung pada status sosial petani (kaya, miskin), pemilikan sawah, luas penguasaan lahan dan status pemilikan lahan. Petani yang lebih sejahtera akan cenderung mengadopsi karena untuk penerapan sistem dibutuhkan tenaga kerja tambahan yang cukup banyak. Pemilikan sawah menjadi alasan diadopsinya sistem ini karena pemilik sawah akan lebih memilih menanam tanaman tahunan/buah-buahan di lahan kering yang sifatnya cepat menghasilkan (pererial cash crop) dari pada tanaman semusim/pangan. Hal ini dapat dimengerti karena petani tersebut telah memiliki rasa keamanan pangan (food security) sehingga lebih baik menginvestasikan modalnya untuk menanam tanaman tahunan dari pada tanaman pangan di lahan keringnya. Tanaman pagar tidak untuk sebagai sumber pupuk hijau melainkan lebih berfungsi sebagai pembibitan dan tanaman pelindung (naungan) untuk tanaman tahunannya seperti untuk kopi.

Status pemilikan lahan yang tidak jelas di Indonesia bagian timur justru mendorong petani untuk mengadopsi Alley cropping. Peraturan di Indonesia menyebutkan bahwa jika petani terbukti dapat mengelola lahan tersebut selama tiga tahun maka petani mendapatkan izin/hak secara legal dari pemerintah. Di samping itu menjadi ketua kelompok tani merupakan peningkatan status sosial di masyarakat. Adanya insentif seperti subsidi ternak juga mendorong petani menerapkan sistem ini.

Pada daerah dimana praktek perladangan berpindah masih dominan, kendala adopsi Alley cropping menurut Garrity (1996) dan Mercado et al. (1997) meliputi tenaga kerja yang intensif, untuk implementasi, pemangkasan secara periodik dan pemeliharaan tanaman pagar, nilai tambah yang terbatas terhadap pendapatan usaha tni dan masalah keberlanjutan kesuburan tanah yang tidak diantisipasi.

Dengan direkomendasikannya Alley cropping secara luas, maka pemahaman tentang sistem ini harus ditingkatkan terutama mengenai dimana, kapan dan bagaimana sistem ini menjelma menjadi teknologi yang superior untuk pertanian lahan kering dan yang tidak kalah pentingnya juga pemahaman tentang tiga cara dasar mengatasi efek negatif (scuoring effect) yaitu : menghilangkan, mengurangi atau merubah suatu sisetm pertanaman/pertanian agar sesuai dengan sistem tersebut (Garrity, 1996).

Secara sosial ekonomi, Alley cropping mempunyai beberapa tantangan untuk dikembangkan di lahan kering diantaranya : memperbaiki pandangan petani yang teras bangku minded, persepsi negatif petani (trauma) terhadap pengembangan tanaman lamtoro, teknologi ini menghendaki biaya sosial tinggi untuk daerah marjinal kritis, prioritas petani masih berorientasi pada keamanan pangan (food security), kerawanan keamanan tanaman pagar dari masyarakat itu sendiri, dan teknologi ini mengkonsumsi kesadaran, kesabaran, dan pengorbanan petani yang tidak ringan.

Selain hal tersebut, adanya persepsi petani, dengan penerapan budidaya lorong mengurangi areal produksi yang dimiliki, sedangkan rata-rata pemilikan lahan usaha tani sangat sempit. Penyediaan benih tanaman pagar/leguminosa dalam jumlah besar juga menjadi kendala apabila sistem ini akan diterapkan pada skala luas. Kunci suksesnya implementasi teknologi konservasi tanah adalah kemampuan yang bervariasi dari institusi/lembaga terkait, khususnya penyuluh, dalam mensinkronkan pilihan teknologi dengan kondisi biofisik setempat dengan mempergunakan perangkat lunak sistem pengambilan keputusan , dan dengan kondisi sosial ekonomi, latar belakang budaya petani serta preferensi petani dengan menggunakan pendekatan partisipatif (participatory rulal appraisal). Melibatkan petani sejak awal perencanaan, pengambilan keputusan sampai penerapan/implementasi suatu treknologi menyebabkan petani sebagai pelaku lebih merasa memiliki dan merasa dihargai dari pada bertindak hanya sebagai pelaksana saja. Oleh karena itu pendekatan bottom-up akan lebih menunjang suksesnya suatu adopsi teknologi dari pada top-down. Berkaitan dengan hal tersebut, maka memberikan konsekuensi bahwa penentu kebijakan, peneliti penyuluh dan petani harus duduk bersama dalam merencanakan implementasi suatu teknologi baru. Peranan penyuluh dalam proses adopsi tidak kalah pentingnya dalam memotivasi petani.

Peranan penyuluhan dalam penyebaran informasi pada proses adopsi sangat penting. Salah satu alat bantu dalam penyebaran informasi ini adalah multimedia baik cetak meupun elektronik. Media elektronik seperti radio dan atau televisi akan lebih efektif dalam merubah perilaku petani, hal ini analog dengan peranan iklan (terutama di TV) dalam merubah selera konsumen. Jadi apabila suatu teknologi yang akan diintroduksikan akan lebih efektif dalam hal adopsinya apabila sebelumnya diiklankan dulu melalui media TV.

Peranan penyuluh tidak kalah pentingnya dalam memberikan bimbingan dan memotivisai petani dalam mengadopsi teknologi. Selain itu peranan pemerintah dalam memberikan subsidi, misalnya dalam penyediaan benih atau bibit tanaman pagar, ternak sebagai insentif yang dapat diberikan sebagai dana bergulir (revolving fund) dan juga legalissi pemilikan lahan.

KESIMPULAN

  1. Alley cropping sangat efektif mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan.
  2. Selain mempunyai pengaruh positif (keuntungan), Alley cropping juga mempunyai pengaruh negatif melalui kombinasi kompetisi di bagian atas (naungan) dan bawah tanah (air dan hara) yang dapat diatasi dengan cara menghilangkan, mengurangi atau menyesuaikan sistem pertanaman (cropping system) dengan Alley cropping.
  3. Alley cropping dapat diterapkan dengan mengoptimalkan interaksi antara tanaman pagar dan tanaman pangan/semusim dengan cara meminimalkan pengaruh negatif dan memaksimalkan pengaruh positif.
  4. Alley cropping mempunyai peluang yang cukup strategis untuk dikembangkan pada sistem usaha tani di lahan kering melalui penyuluhan yang cukup intensif untuk pemahaman dan sosialisasi sistem ini.
  5. Agar lebih berdaya guna bagi petani, Alley cropping dapat dilakukan dengan mengkombinasikan leguminosa pohon dan rumput pakan ternak.
  6. Kendala adopsi Alley cropping adalah kebutuhan tenaga kerja yang tinggi pada saat penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar, keterbatasan nilai tambah terhadap pendapatan usaha tani, masalah kesuburan tanah akibat kompetisi dengan tanaman pagar yang tidak diantisipasi, lebar lorong yang tidak teratur, pagar yang terlalu rapat/padat pada lereng yang sedang sampai curam, adaptasi yang jelek dari berbagai spesies, kurangnya bahan tanaman dan kepemilikan tanah yang tidak aman.
  7. Penelitian tentang kendala adopsi pada berbagai agroekologi di Indonesia masih perlu dilakukan.
  8. Melibatkan petani sejak awal perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi melalui participatory appraisal merupakan salah satu kunci suksesnya implementasi sistem Alley cropping di lahan kering DAS bagian hulu.

DAFTAR PUSTAKA

Alegre, J.C., M.R. Rao. 1996. Soil and water conservation by countour ledging in the humid tropics of Peru. Agriculture, Acosystem and Environment 57 : 17-25. Elsevier Science. BV.

Akyeampong, E. and L.Hitimana. 1996. Agronomic and economic appraisal of alley cropping with Leucaena diversifolia on an acid soil in the highlands of Burundi. Agroforestry System 33 : 1 – 11. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Agus. F., D.K. Cassel, and D.P. Garrity. 1997. Soil water and soil physical properties under

countour hedgerow system on stoping oxisols. Soil and Tillage Research 40 : 185 – 199. International Soil Tillage Research Organization (ISRO).

Comia, R.A., E.P. Paningbatan, and I. Hakansson. 1994. Erosion and crop yield response to  soil conditions under alley cropping system in the Philippines. Soil & Tillage Research 31 : 249 – 261. International Soil Tillage Research Organization (ISRO).

Chamshama, S.A.O., A.G. Mugasha, A.Klovstad, O. Haveraaen and S.M.S. Maliondo. 1998. Growth and Yield of Maize Alley Cropped with Leucaena Leucocephala and Faidherbia Albida in Morogoro, Tanzania. Agroforestry System 40 : 215-225. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Garrity, D.P. 1996 Tree-Soil-Crop Interactions on Slopes. In Ong and Huxley (Eds) Tree-Crop Interactions. A Physiological Approach. P: 299 – 318. (AB. International and ICRAF).

Hawkins, R., H. Sembiring, D. Lubis, and Suwardjo. 1990. The Potensial of Alley cropping in the Uplands of East and Central Java. A Review. Agency for Agricultural Research and Development. Department of Agriculture.

Hauzar, S., D.O. Asawalam and B. Vanlauwe. 1998. Spatial and temporal gradients of earth worm casting vetivity in alley cropping system. Agroforestry System 41 : 127 – 137. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Hairiah, K., S.R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, SM. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana,. R. Mulia, M. Van Noordwijk and G. Cadisch. 2000. Agroforestry on Acid Soils in the Humid Tropics : Managing tree-soil-crop interactions. International Center for Research in Agroforestry (ICRAF).

Kang, B.T. , G.F. Wilson, and T.L. Lawson. 1984. Alley Cropping a Stable Alternative to Shifting Cultivation. International Institute of Tropical Agriculture (IITA). Ibadan, Nigeria.

Kang, B.T., L. Reynolds, and A.N. Atta-Krah. 1990. Alley Farming. Advances in Agronomy Vol 43 : 315 – 359.

Lasco, R.D., M. Okazaki and R.P. Furoc. 1996. Alley copping system in the Philippines. In

Anase et al., (eds). Rehabilitation and Development of Upland and Highland Ecosystem. Tokyo University of Agriculture Press, Japan.

Mc-Intyre, B.D., SJ. Riha, C.K. Ong. 1996. Light Interception and Evapotranspiration in Hedgerow Agroforestry System. Agricultural and Forest Meteorology 81 (1996) : 31 – 40. Elsevier Science. BV.

Mapa, R.B. and H.P.M. Gunasena. 1995. Effect of alley cropping on soil agregate stability of a tropical alfisol. Agroforestry System 32 : 237 –245. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Mercado, A., M. Stark, and Garrity 1997. Enchancing Sloping Land Management Technologi Adoption and Dissemination. In Sajjapongse (Ed.). Farmers’ Adoption of Soil-Conservation Technologies. Proceedings of the 9th Annual Meeting of ASIALAND Management of Sloping Land Network. Bogor, Indonesia. 15 – 21 September 1997. IBSRAM Proceedings 17 : 25 – 45.

Mercado Jr, A.R., M. Patindol, D.P. Garrity. 2000. The Lancare Experience in the Philippines : Technical and Stitutional Innovations. For Conservation Farming. Paper presented during the International Landcare Conference Held at Melbourne, Australia, 2 – 5 March 2000.

Nelson, R.A., P.G. Grist, K.M. Menz, R.A. Cramb, E.P. Paningbatan and M.A. Mamicpic. 1997. A Cost-benefit analysis of hedgerow intercropping in the Philippines uplands using the SCUAF model. Agroforestry System 35 : 203 – 220. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1998. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.

Rosemeyer, M., N. Viaene, H. Swartz, J. Kattler. 2000. The effect of slash/mulch and alley cropping bean production systems on soil microbiota in the tropics. Applied Soil Ecology 15 (2000) : 49 – 59. Elsevier Science. BV.

Sukmana, S., and H. Suwardjo. 1991. Prospect of Vegetative Soil Conservation Method for Sustainable Upland Agriculture. IARD Journal . 13 : 1 – 7.

Salazar, A., L.T. Szott and C.A. Palm. 1993. Crop – tree – interactions in alley cropping system on alluvial soils of the upper Amazon Basin. Agroforestry System 22 : 67 – 82. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry System 30 : 5 – 55. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Santoso, D. and Yin Dixin. 1997. The impotance of strong linkage coordination for widespread adoption of sloping lands management (SLM) technologies. IBSRAM Proceedings 17 : 107 – 120.

Tonye, J., P. Titi-Nwel. 1995. Agronomic and Economic Evaluation of Method of Establishing Alley Cropping under a Maize / Groundnut Intercrop System. Agriculture, Ecosystems and Environment 56 (1995) : 29 – 36. Elsevier Science B.V.

Van Noordwijk, M., K. Hairiah, B. Lusiana and G. Cadish. 1998. Tree-soil crop interactions in sequential and simultaneous agroforestry system. P. 173 – 190 ln L. Bergstrom and H. Kirchmann (eds). Carbon and Nutrient Dynamich in Natural and Agricultural Tropical Ecosystems. CAB International Wallingford, UK.

Wiersum, K.F. 1994. Farmer adoption of hedgerow intercropping, a case study from east Indonesia. Agroforestry System 27 : 163 – 182. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

7 Komentar »

  1. terima kasih atas ilmu nya..izin share yaaa^^

    Komentar oleh Anisa Runi — September 29, 2010 @ 5:51 pm

  2. menurut saya informasi yang telah diberikan sangat banyak sekali,tetapi alangkah baiknya jika juga ditambahkan juga cara penghitungan jumlah biomassa yang dihasilkan dari metode ini , dan cara penghitungan scoring system .terimakasih

    Komentar oleh Mohamad Cibenktok — Desember 22, 2010 @ 9:27 pm

  3. snang busa belajar dari petani…

    Komentar oleh Tamarindus Indica — Juni 26, 2011 @ 4:54 pm

  4. ya bagus cuma lebih bervariasi lagi kususnya jenis tanaman dan keuntungan yg diperoleh

    Komentar oleh Daud Sanda Layuk — Januari 14, 2012 @ 11:47 am

  5. teknik konservasi tanah dan air yang bagus…mksih bwt ilmunya

    Komentar oleh Anonim — Februari 18, 2012 @ 12:05 pm

  6. teknik konservasi yang bagusss

    Komentar oleh Anonim — Februari 18, 2012 @ 12:10 pm

  7. Makasih atas sharing ilmunya…berguna bagi mahasiswa dan semua stakeholder yang mau peduli bagi keberlanjutan pertanian lahan kering di Indonesia…Salut..

    Komentar oleh sukmawati — November 10, 2013 @ 6:33 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.