BebasBanjir2015

17 Pengendalian Banjir di Mancanegara

Belajar Bagaimana Jepang Memerangi Banjir

Oleh Sugeng Pribadi

Miris melihat pemberitaan luar negeri tentang banjir di Jakarta, ibukota Indonesia. Lebih prihatin lagi ketika ada komentar ahli terkait yang menganggap fenomena ini sebagai sesuatu hal yang biasa sebagaimana terjadi pada ribuan warga kota yang kini homeless akibat banjir. Terlebih miris lagi jika ada beberapa pihak memang terbiasa menikmati proyek bencana banjir seolah “hidup dari bencana”.

Namun kita tidak perlu berkecil hati, bukan cuma Jakarta yang kebagian banjir, Tokyo – ibukota Jepang pun pernah mengalaminya. Bedanya jargon Flood Fighting mereka cukup ampuh menjadikan kota ini merdeka dari banjir. Dalam kurun waktu 1945 -1959 bencana banjir, taifun, gempabumi, tsunami telah banyak menelan ribuan korban jiwa di Jepang. Lewat era tersebut angka kematian mampu dikendalikan seminimal mungkin. Taifun Ise-wan tahun 1950-an menembus angka kematian 7000 jiwa dengan tingkat kerugian 3.3 triliun Yen. Tahun 2000 saat Banjir Tokai terjadi penurunan jumlah korban meninggal hanya 100 jiwa dengan kerugian 2 triliun yen.

Sebagai pengecualian masih didapati adanya anomaly yang sangat siginifikan seperti gempa Kobe 1995 dan masih didapati dampak luas banjir di Nagoya dalam bulan September 2000. Lazimnya frekuensi banjir terjadi 5 kali dalam kurun waktu 1990 -1999. Berkurangnya lahan hutan, sungai dan danau serta daerah resapan air dikarenakan dampak luas area limpahan banjir. Terlebih lagi jumlah presipitasi curah hujan di Jepang tergolong tinggi 1.714 mm/tahun dibanding Australia, Amerika Serikat, Saudi Arabia, Perancis, Inggris dan negara-negara dunia lainnya pada musim penghujan dan badai. Bulan Juni – Oktober pertahunnya musim banjir di Tokyo mencapai curah hujan 1.405 mm mengalahkan Paris 648 mm dan San Fransisco 305 mm.

Banjir di wilayah Jepang juga dipengaruhi oleh jumlah dan panjang sungai terlebih lagi bila dikaitkan dengan lama genangan dan kecepatan limpasan banjir per unit catchment area. Tahun 1953 Banjir Sungai Chikugo seluas 1.440 km2 terjadi dengan kecepatan aliran 6 m3/sec/km2. Terdapat 3 sungai utama Tokyo; Edo-gawa, Ara-kawa, dan Sumida yang mempunyai percabangan sungai membelah bagian kota.

Kebanyakan kota-kota di Jepang berada di bawah level ketinggian sungai. Apalagi dibangunnya subway akan menumbuhkan underground city dan pusat-pusat keramaian sampai beberapa tingkat ke bagian bawah tanah. Hal ini sangat rawan terhadap bahaya banjir merusak. Problematika urbanisasi yang semakin besar kian tahunnya menyerobot lahan yang seharusnya diperuntukkan daerah bebas untuk cacthment area. Hal ini betul-betul memperparah keadaan Tokyo. Di sekitar Sungai Tsurumi tahun 1958 urbanisasi masih berkisar 10%. Kenaikannya tahun 1997 sudah sebesar 84,3 % dengan populasi 1.820.000 meliputi 196 km2. Dapat dibayangkan banyaknya korban jiwa berjatuhan karena terendam banjir seandainya sungai itu meluap.

Tetapi Jepang bukanlah negara yang mudah menyerah dengan banyak ragamnya bencana, mulai banjir, taifun, kebakaran, gempa bumi dan tsunami. Dengan “Familiarizing with the blessing of nature, and compromising with the treaths of nature” (Prof. Hitoshi Ieda), bangsa Jepang menjadi begitu akrab dengan bencana bahkan menikmatinya, “We are lucky feeling the earthquake” (Prof. Furumura). Sehingga wajar lahir generasi brilian yang ahli dalam bidang-bidang penanganan bencana dengan membaca fenomena alam dan menganalisisnya dengan teori-teori empirik.

Flood Fighting

Penanganan manajemen bencana di Jepang berada di bawah Kementrian Tanah, Infrastruktur dan Transportasi (MLIT / Ministry of Land, Infrastructure, Information and Technology) yang membawahi masalah banjir (masalah pengairan), endapan sediment, letusan gunung berapi, gempa bumi, informasi teknologi (IT) untuk pengurangan dampak bencana alam di Jepang. Infrastuktur yang ditangani meliputi sungai, jalan, pelabuhan laut dan udara, sistem pembuangan limbah, dan pertamanan. Dengan jumlah pekerja 65.000 orang, lembaga kementrian ini terdiri dari 3 lapis struktur ; pusat, biro daerah dan kantor lapangan. Dalam manajemen banjir lingkup tugasnya cukup sederhana, untuk permasalahan bagian utama sungai diserahkan pada dinas pusat, sedangkan pengaliran sungai pertengahan dan kecil diserahkan tanggung jawabnya pada dinas daerah/propinsi dan kota. Namun tetap pusatlah yang mem-backup kinerja bawahannya.

Mirip halnya dengan yang telah ada di Indonesia, bagian-bagian dasar penanganan bencana di Indonesia terdiri dari aspek regulasi, sistem manajemen, rencana, persiapan, tanggap darurat dan recovery. Yang menarik dalam hal recovery, Jepang sudah menganggarkannya dari pajak yang dipungut rutin perbulannya untuk kemudian bisa dinikmati korban dalam bentuk dana kompensasi bencana, asuransi, pengurangan atau pembebasan pajak.

Selain itu ciri khas Jepang sebagai negara berteknologi tinggi juga cukup menonjol perannya dalam penanganan bencana ini. Jaringan komunikasi radio pusat dan daerah terhubung secara organisatoris – tidak berdiri sendiri-sendiri. NTT (Nippon Telegraph and Telephone) dan NHK (Nippon Broadcasting Corporation) menjadi media pelayanan masyarakat cuma-cuma, mengesampingkan keuntungan dan popularitas untuk sementara waktu. Sehinga ketika banjir atau gempa bumi terjadi, masyarakat bisa menikmati telepon gratis untuk menghubungi keluarganya.

Visualisasi data image terkini dari teleconfrence helicopter, sungai, jembatan, dan jalan (CCTV) terus terkoneksi secara real time melalui satelit komunikasi terrestrial dan diberitakan lewat televisi nasional. Info banjir meliputi : waktu normal dengan peta bencana sebagai tahap persiapan, dan waktu darurat dengan status siaga dan perkiraan turun hujan, kenaikan ketinggian banjir, peringatan dan evakuasi. Selanjutnya seluruh komponen teknis tanggap darurat beraksi terdiri dari kendaraan evakuasi, ambulan, helicopter, dan tim-tim penolong (rescue).

Penanganan integrasi Flood Control meliputi :

  1. Perbaikan Sungai
    Perbaikan saluran irigasi (tanggul/embankment, pengerukan dasar sungai/dredging), kontruksi ketahanan daerah cekungan dan saluran limpahan banjir.
  2. Penanggulangan kerusakan
    Pelaksanaanya dilakukan di tiga area :
    a. Area penahan (retention) : perbaikan kontrol distrik urbanisasi, konservasi alam, promosi gerakan penghijauan, kontruksi daerah cekungan, instalasi trotoar yang mampu menyerap limpasan air, dan mesin penyedot air.
    b. Area pemelihara (detention) : pelestarian zona bebas urban, pengawasan lahan, promosi lahan hijau.
    c. Area rendah (rawan banjir): pembuatan fasilitas drainase, pembuatan fasilitas cadangan bahan pangan, sandang kebutuhan darurat bencana, mendorong penggunaan bangunan tahan air (floodproof).
  3. Penanggulangan (mitigasi) bencana
    Terdiri dari : peresmian sistem peringatan dan evakuasi bencana, perluasan sistem flood-fighting yang telah ada, mendorong penggunaan bangunan floodproof, penyebaran informasi sesama warga setempat sekaligus membentuk komunitas bersama warga sadar bencana banjir, pengendalian lingkungan (pembuangan sampah) agar tidak mengganggu jalannya saluran air, dan publikasi area peta historis inundasi (kenaikan air mencapai daratan).

Informasi yang dipaparkan dalam peta bencana (Hazard Map) meliputi : perkiraan ketinggian banjir, rute dan tempat-tempat evakuasi, tips panduan evakuasi, infromasi penting (telepon kantor pemerintah, rumah sakit, lembaga terkait), instruksi penyelamatan, pengetahuan bencana dan sejarah bencana yang pernah terjadi di daerah itu.

Gambar 1. Konsep Hazard Map (Prof. Kenji Okazaki)

Sebelum adanya pembangunan kota hampir semua limpahan hujan meresap ke tanah atau juga tersimpan di dalam tanah-tanah permukaan (air aquifer). Alhasil limpahan air hujan (run-off) bisa tereduksi. Namun sesudah era pembangunan kota, tanah permukaan berubah menjadi beton (konkrit), dan aspal. Hutan habis dan vegetasi berkurang berakibat run-off demikian besar tak terkendali memperburuk dampak kerusakan genangan banjir. Selama taifun tahun 1993 ketinggian air Sungai Kanda naik hingga beberapa meter. Stasiun KA (eki) Hakata pada tanggal 19 Juli 2003 terendam banjir sampai menutupi Subway dibawahnya. MILT telah membuat konsep mentransmisikan informasi pada orang-orang yang sedang berada di area bawah tanah untuk bersegera menuju permukaan atau tempat-tempat tinggi ketika perkiraan bahaya banjir terdeteksi.

Konsep komprehensif Flood Control (pada Gambar 2) adalah bagaimana mengalirkan segera aliran limpahan bajir menuju daerah yang lebih rendah. Dari daerah pegunungan dan perbukitan diinfiltrasikan ke danau atau tanah bawah permukaan, begitu pula perumahan dan gedung-gedung di kota melimpahkan ke tempat rendah reservoir air yang telah teregulasi dengan baik.

Gambar 2. Konsep komprehensif flood control di Jepang (Prof. Kenji Okazaki)

Gambar 2. Konsep komprehensif flood control di Jepang (Prof. Kenji Okazaki)

Kata kunci dari program ini adalah tanggung jawab, keputusan, dan aksi nyata saat becana terjadi. Kesemuanya ditanggung bersama oleh pemerintah pusat (nation), provinsi/daerah (prefecture), kota (municipality) dan warga (resident). Tapi pelaksana dari flood fighting ini terletak pada pemerintah kota beserta masyarakatnya.

Pemerintah pusat dan provinsi bertindak sebagai forecaster yang memantau dan mengontrol daerah-daerah rawan banjir dan memberi peringatan serta pembinaan disamping support kepada daerah. Daerah selanjutnya mengerahkan warganya dalam hal evakuasi dan latihan (drill) sesuai intruksi yang diberikan aparat kota. Pemerintah kota (pemkot) juga bekerja sama dengan relawan dan LSM memberi bantuan dana dan tenaga dan evakuasi terhadap warga. Seperti yang pernah dilakukan bersama relawan dan pemkot saat memperbaiki tepi sungai menggunakan karung-karung pasir. Warga setempat juga diupayakan terlatih dalam usaha preventif penanganan krisis sehingga tanggap dalam merespon informasi dan melakukan penyelamatan diri darurat saat bencana terjadi.

Sugeng Pribadi, peneliti bidang tsunami modelling dan forecasting.

Sumber: http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-04-04-Belajar-Bagaimana-Jepang-Memerangi-Banjir.shtml, Rabu, 4 April 2007 10:25:05 Artikel Iptek

Sumber foto: http://www.blogger.com/profile/04858020798508635438

5 Komentar »

  1. Kmana yah prof2 di indonesia yang pintar2 itu,, prof di jepang aja bisa buat konsep yg spt itu..

    Komentar oleh nyoman yenny — Oktober 26, 2010 @ 4:43 pm

  2. Karena Orang Jepang tidak berAGAMA-IMPOR, tapi lebih mengUTAMAkan BUDAYA SENDIRI, jd SADAR-LINGKUNGAN, tidak sperti Orang INDONESIA yg HOBBY berAGAMA-IMPOR, maka banyak KORBAN bila ada BENCANA !!

    Komentar oleh Dadang Merdesa — Maret 11, 2011 @ 3:56 pm

  3. yuk praktekan di Indonesia mas

    Komentar oleh Rusa — Maret 11, 2011 @ 5:34 pm

  4. two thumbs up for japan

    Komentar oleh Leni Puspa Meliani — Oktober 5, 2011 @ 11:30 pm

  5. trims atas dimuatnya tulisan sy di blog ini dan seluruh tanggapannya … sugeng pribadi

    Komentar oleh sugeng — Januari 17, 2013 @ 9:20 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.