BebasBanjir2015

Tidak Mungkin

HUT Ke-483 Jakarta, Jakarta Tak Mungkin Bebas Banjir

Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/ 22 Juni 2010

JAKARTA, KOMPAS.com — Persoalan banjir masih “menghantui” Kota Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, perlu dipahami bahwa kota yang menjadi sentral pemerintahan negara ini tak mungkin terbebas dari banjir. Mengapa?

DHONI SETIAWAN Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo memberikan sambutan saat Apel Peringatan HUT ke-483 kota Jakarta di Halaman Monumen Nasinal (Monas), Jakarta, Selasa (22/6/2010). HUT Jakarta kali ini mengambil tema Keragaman Jakarta sebagai Kota Jasa yang Ramah Lingkungan.

“Perlu dipahami bahwa Jakarta tidak mungkin dibebaskan sepenuhnya dari banjir. Kondisi alami Kota Jakarta sekitar 40 persen wilayahnya berada di bawah permukaan air laut pasang. Jakarta juga dilintasi 13 sungai besar yang semuanya bermuara di Teluk Utara Jakarta,” kata Fauzi Bowo, yang kerap disapa Foke, dalam pidatonya pada Rapat Paripurna Istimewa HUT 483 Tahun Kota Jakarta, Selasa (22/6/2010) di Gedung DPRD DKI Jakarta.

Ia menyebutkan, pemerintah melakukan pola penekanan dampak banjir melalui dua aspek, yaitu mengurangi luapan dan genangan banjir. Akan tetapi, upaya ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. “Karena luapan dan genangannya sudah menyebar di seluruh wilayah Jakarta. Perlu proyek besar untuk menanggulanginya,” kata dia.

Salah satu cara terhadap masalah tersebut adalah menyelesaikan proyek Kanal Banjir Timur yang termasuk mega-proyek karena telah menelan biaya hingga Rp 5 triliun. Foke juga berharap, partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan menjadi salah satu upaya mengurangi dampak banjir.

Di bagian lain pidatonya, ia juga menekankan bahwa pembangunan yang dilakukan tak hanya pembangunan fisik semata. Pembangunan sosial juga menjadi prioritas untuk meningkatkan mutu hidup warga Jakarta.

“Di tengah krisis yang melanda dunia tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Jakarta masih mampu tumbuh 5,01 persen di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 4,5 persen,” katanya.

Jakarta Tak Mungkin Bebas Banjir

(Jum’at, 20 Januari 2006 | 01:31 WIB )

TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Siswoko menyatakan Jakarta tidak mungkin bebas banjir. “Tak ada kemungkinan Jakarta sama sekali terbebas dari banjir. Ini karena 50 persen kawasan Jakarta berada di dataran banjir,”kata Siswoko di kantor Departemen Pekerjaan Umum.

Jakarta berada di daerah hilir dari 13 sungai dari daerah sekitar yang mengalir dan bermuara di Jakarta. “Kami melakukan berbagai usaha mencegah banjir, tapi manusia punya keterbatasan. Dalam keadaan hujan besar, tanggul pun bisa limpas,”kata Siswoko.

Kawasan yang secara permanen rawan banjir karena secara faktual berada di dataran rendah itu yakni Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan sebagian Jakarta Barat. “Bahkan saat musim kemarau, pintu air di Jakarta Utara harus selalu dipompa. Apalagi saat musim hujan,”ujar Siswoko.

Siswoko tak bisa memprediksi kawasan mana yang akan terkena banjir paling parah tahun ini. “Besaran banjir selalu berbeda-beda di tiap daerah, tergantung curah hujan di kawasan itu,”katanya.

Sumber: Jum’at, 20 Januari 2006 | 01:31 WIB;  http://pestabola.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/01/20/brk,20060120-72634,id.html

JAKARTA TIDAK MUNGKIN BEBAS BANJIR

Jakarta yang dilintasi 13 sungai yang mengalir dari hulu di Wilayah Bogor, 50%-nya merupakan dataran banjir. Untuk mengatasi banjir di Jakarta sebenarnya telah dibuat master plan tahun 1973 yang kemudian direvisi tahun 1997. Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air Siswoko kepada wartawan pada acara Press Briefing (19/1), dalam mengatasi banjir dalam UU 7/2004 tentang sumber daya air mengatur aspek konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak yang didalamnya terdapat masalah banjir. Dalam pengendalian daya rusak ada tiga kegiatan antara lain pencegahan yang bersifat preventif, penanggulangan pada saat kejadian yang dilakukan oleh Bakornas di tingkat pusat dan Sakorlak di tingkat daerah dan upaya rehabilitasi.

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Dep.PU Siswoko mengatakan bahwa Jakarta tidak mungkin bebas banjir. Jika hujan lebat sungai akan cepat meluap, oleh karena itu secara rutin warga yang ada di bantaran sungai tiap tahun mengalami kebanjiran.

Saat ini dibeberapa sungai di Jakarta sudah ada dipasang alat telemetri sebagai early warning system yang memantau ketinggian air pada masing-masing pintu air secara real time. Sehingga apabila banjir besar datang tiba-tiba, masyarakat punya waktu untuk mengungsi. Pengamatan dilakukan melalui posko banjir setiap hari selama 24 jam.

Saat ini jumlah DAS kritis menjadi 60 DAS. Siswoko menambahkan Menteri PU telah mengarahkan agar di setiap provinsi di Indonesia yang terdapat DAS kritis menangani banjir dengan pendekatan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) menggunakan pendekatan teknis, ekonomis dan sosial serta dikerjakan oleh berbagai instansi dengan upaya yang inovatif agar mendapatkan hasil yang jelas. Siswoko mencontohkan proyek irigasi di Jawa Timur. pada tahun lalu, dalam rangka menyelamatkan Waduk di Bojonegoro masyarakat yang melakukan penebangan pohon di daerah resapan air diberikan kompensasi dengan memberikan ternak dan cara pengelolannya sehingga masyarakat tidak menebang hutan lagi yang semula merupakan mata pencaharian mereka. (ind)

Pusat Komunikasi Publik, 19 Januari 2006

Sumber: http://www.pu.go.id

Jakarta Tidak Mungkin Bebas Banjir

(22 Mret 2002)

Pembangunan prasarana dan sarana fisik pengendali banjir tidak otomatis menjadikan Jakarta 100 persen bebas banjir. Apa yang dapat dilakukan hanyalah usaha untuk lebih memperkecil potensi kerugian akibat banjir dengan melengkapi upaya pengendalian yang bersifat struktur (in-stream) dengan upaya nonstruktur (off-stream), dan membentuk upaya terpadu dan menyeluruh. Demikian dinyatakan Inspektur I Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimprasmil) Siswoko saat membacakan makalahnya dalam lokakarya Pencegahan Bencana Air Jakarta” di Erasmus Huis, Kamis (21/3). “Apa pun yang dilakukan, Jakarta akan masih berisiko tergenang air. Jakarta tak mungkin bebas banjir,” jelas Siswoko yang pernah menjabat Pimpinan Proyek PWS (Pengembangan Wilayah Sungai) Ciliwung-Cisedane, 1994-1998.

Menurut Siswoko, usaha pengendalian banjir dan genangan air umumnya dilakukan dengan membangun pra-sarana dan sarana pengendalian banjir dan sitem drainase untuk mengantisipasi datangnya debit banjir sampai tingkat atau periode ulang terten-tu. Misalnya, 10 tahunan, 25 tahunan, atau 100 tahunan. Jadi, bukan untuk mengantisipasi banjir terbesar.

Menggambarkan besaran debit banjir dengan menggunakan periode ulang, kata Siswoko, sering menyesatkan. Untuk periode ulang 25 tahunan, debit banjir sungai Ci-tanduy, misalnya, adalah 1.000 meter kubik per detik, dan untuk periode ulang 100 tahunan besarnya 2.500 meter kubik per detik. Sebagian besar masya-rakat mengartikan, debit banjir sebesar 1.000 meter kubik per detik itu akan terjadi di Sungai Citanduy sekali setiap 25 tahun. Dengan demikian, jika tanggul sungai itu dibangun untuk mengantisipasi banjir dengan debit air 1.000 meter kubik per detik, maka selama 25 tahun masyarakat yang dilindungi tanggul merasa aman dan melupakan kemungkinan terjadi banjir periode 100 tahunan dengn debit air 2.500 meter kubik per detik. (FAI/KCM)

Sumber: http://www.inawater.com/news/wmprint.php?ArtID=179

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.