BebasBanjir2015

Tidak Bisa

Robert: Semarang Tak Bisa Bebas Banjir

Sumber: http://www.suaramerdeka.com/  18 Juni 2013 

SEMARANG, suaramerdeka.com – Melihat kondisi geografis dan penanganannya, maka Kota Semarang dinilai tidak akan bisa terbebas dari banjir. Saat terjadi hujan dengan intensitas sedang, banyak titik-titik genangan. Apalagi jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan dalam waktu yang cukup lama.

Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro Robert J Kodoatie mengatakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya banjir adalah kesalahan tata guna lahan. Banyaknya ruang terbuka hijau yang semestinya menjadi daerah resapan justru berubah menjadi perumahan atau gedung perkantoran. Padahal itu bisa mengakibatkan tidak terserapnya air ke dalam tanah dengan ukuran 5-20 kali lipat.

Persoalan selanjutnya adalah penanganan sampah dan penurunan permukaan tanah. “Semarang tidak bisa bebas banjir. Yang harusnya dilakukan adalah pengelolaan dan pemisahan antara air hujan, limbah dan air bersih. Atau disebut dengan waterfall city,” kata Robert, Selasa (18/6).

Penulis buku Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota ini mengatakan dengan waterfall city pengelolaan lebih memungkinkan. Alasannya penanganan melalui metode grafitasi sudah tidak mungkin dilakukan. Terutama di wilayah yang memiliki ketinggian lebih rendah dari permukaan air laut. Bagaimanapun, sesuai dengan hukum grafitasi maka air akan selalu mencari tempat yang lebih rendah.

Hal ini merujuk pada banjir yang terjadi di wilayah Genuk beberapa waktu lalu, dimana genangan air sulit surut. Robert mengatakan wilayah itu berupa cekungan. Tanah akan kering saat kemarau, namun begitu hujan turun maka air menuju satu titik.

Dalam kasus seperti ini jika penanganan tetap dilakukan dengan metode grafitasi maka harus dibuat polder air ukuran besar dengan dilengkapi pompa yang membuang air ke laut. Namun, lanjutnya, hal ini akan membutuhkan biaya yang besar untuk perawatannya.

Menurutnya, banjir memiliki keterkaitan dengan rob. Sementara rob disebabkan lima hal yakni konsolidasi tanah aluvial (penurunan tanah yang belum mampat), pengambilan air tanah, bangunan, naiknya permukaan air laut dan gerakan lempeng Australia yang menurunkan permukaan daratan di Pantai Utara Jawa. Beberapa titik wilayah Semarang sudah mengalami penurunan. Misalnya Pelabuhan Tanjung Emas turun 11 cm/tahun, Stasiun Tawang turun 7 cm/tahun, dan Tanah Mas turun 4 cm/tahun.

“Ini adalah permasalahan kompleks. Penanganan harus tepat dan serius. Termasuk sikap masyarakat yang peduli pada lingkungan,” katanya.
( Hanung Soekendro / CN38 / SMNetwork )

BNPB: Jakarta Tak Bisa Bebas Banjir  

Sumber: http://www.tempo.co/  24 Desember 2012  

TEMPO.CO , Jakarta: Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan Jakarta tak akan bebas banjir secara mutlak.

“Berbagai upaya penanganan selalu kalah cepat dibanding dengan faktor penyebab,” ujar Sutopo dalam keterangan persnya, Minggu, 23 Desember 2012. Dimensi dan masalah banjir di Jakarta terus meningkat. Selain faktor alam, faktor antropogenik berperan menyebabkan banjir. Pada periode tahun sebelum 1970-an, faktor alam penyebab dominan. Sesudah itu, penyebab banjir menjadi lebih komplek. Kombinasi alam dan antropogenik menjadi penyebab banjir.

Hujan deras pada Sabtu, 22 Desember 2012 lalu di Jakarta telah menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Ada 22 genangan banjir yang tersebar di Jakarta. Bahkan jalan protokol Sudirman dan Thamrin juga tergenang banjir.

Pada saat bersamaan, Puncak juga hujan sehingga debit Sungai Ciliwung meningkat 110 cm sehingga Siaga III pada Sabtu pukul 16.18 WIB. Bahkan pukul 18.00 WIB, Katulampa mencapai 120 cm. Dalam waktu 4 jam kemudian Depok dan 11-13 jam kemudian Manggarai akan menerima banjir kiriman. Minggu, 23 Desember 2012, sekitar pukul 03.00 WIB daerah di Kelurahan Makasar, Bidara Cina, Kampung Melayu, Cawang, Kramat dan lainnya di bantaran Ciliwung hilir terendam banjir hingga 1 meter.

Upaya pengendalian banjir hingga 2014 belum akan menuntaskan titik banjir yang ada. Total ada 78 titik banjir di DKI Jakarta. Kanal Banjir Timur mampu mengurangi 15 titik banjir. Jika dilakukan normalisasi sungai di Kanal Banjir Barat akan mengurangi 6 titik banjir. Normalisasi sungai Pesanggrahan, Angke, dan Sunter pada 2011-2014 dengan dana Rp 2,3 triliun hanya mengurangi 10 titik.

Demikian pula proyek pengerukan sungai Jakarta Emergency Dredging Initiative di Cengkareng Drain, Kali Sunter, KBB, Cideng, Angke dan lainnya pada 2013-2014 akan mengurangi 20 titik banjir. Masih ada 27 titik yang belum dibebaskan. Ini pun jika tidak ada penambahan titik banjir baru. “Kenyataannya, banjir kemarin, Jalan Thamrin, Sudirman, dan Gatot Subroto bukan termasuk dalam 78 titik banjir yang ada,” kata dia.

Samarinda Tidak Bisa Bebas Banjir

Sabtu, 07 Juni 2008
Anggarkan Rp13 M Lebih Untuk Penanganannya

SAMARINDA– Kondisi sebagian daratan Kota Samarinda yang lebih rendah dari ketinggian permukaan air saat pasang, membuat Samarinda tidak bisa lepas dari bencana banjir. Ditambah minimnya daerah resapan air yang semakin berkurang karena beralih fungsi, semakin membuat Samarinda menjadi ’langganan’ banjir.

”Pada saat air pasang, daratan kita lebih rendah dari permukaan air, sehingga Samarinda tidak bisa bebas dari banjir,” kata Plt Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Ir H Dadang Airlangga N MMT kepada Koran Kaltim saat ditemui di ruang kerjanya kemarin (6/6).

Tapi, Pemkot Samarinda tetap melakukan beberapa usaha penanggulangannya. Tahun ini, melalui Dinas Bina Marga dan Pengairan Samarinda, dianggarkan Rp13.107.715.900 untuk menjalankan program pengendalian banjir.

Program tersebut antara lain peningkatan sarana dan prasarana ke-Bina Margaan, pengembangan dan pengolahan jaringan irigasi, rawa dan jaringan lainnya, serta pembuatan saluran drainase dan gorong-gorong.

”Peningkatan sarana dan prasarana ke-Bina Margaan itu seperti melengkapi peralatan dan perlengkapan penanganan banjir,” ungkapnya.

Dadang menambahkan, beberapa program pengendalian banjir yang telah dilakukannya yaitu membuat beberapa polder penampung air di beberapa titik kota Samarinda. Meliputi Polder Voorvo, Polder Air Hitam, Polder Gang Indra, dan Polder Batu Cermin yang berfungsi mengurangi genangan air setelah hujan.

”Nanti kita akan membangun Polder baru di daerah Talang Sari dan Damanhuri,” ujarnya.

Ditambahkannya, untuk polder gang Indra, pihaknya belum bisa membuat sistem saluran airnya menuju sungai Mahakam, hal itu karena ada kendala pembebasan lahan yang belum diselesaikan.

”Sekarang masih menampung saja, untuk mengalirkan ke Mahakam belum bisa, karena saluran airnya belum selesai,” ungkapnya.

Lebih lanjut ditambahkannya, untuk penanganan banjir yang terjadi beberapa hari lalu, pihaknya telah menurunkan tim untuk membersihkan beberapa daerah yang terendap lumpur dan saluran air yang yang mengecil karena sampah.

”Sejak tiga hari lalu, kita telah menurunkan tim untuk penanganan kebersihan setelah banjir,” ujarnya. (kh)

Sumber: http://korankaltim.com/index.php?option=com_content&task=view&id=10255&Itemid=70

BANJIR TAK BISA DIHILANGKAN HANYA BISA DIKURANGI

Pemerintah akan merehabilitasi 133 situ yang tersebar di wilayah Jabodetabek sebagai salah satu program mendesak pencegahan bencana banjir di Jakarta. Tindakan tersebut untuk menyelamatkan situ-situ tersebut yang saat ini kondisinya banyak yang beralih fungsi. Selain itu pembuatan sumur resapan juga dapat menjadi pengganti fungsi tanaman menyerap air hujan sehingga meminimalkan aliran air yang mengalir ke sungai.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Siswoko dalam temu wartawan, minggu lalu di Jakarta. Selain rehabilitasi situ, program mendesak lainnya yakni percepatan pembangunan Banjir Kanal Timur, pengerukan dan peninggian tanggul Banjir Kanal Barat, penanganan sungai utama termasuk peninggian perlintasan diatas sungai seperti jembatan serta optimalisasi kapasitas waduk folder dan perbaikan system drainase kota.

Pelaksanaan program tersebut akan dilakukan secara bersama antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Besarnya dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat untuk membantu penanganan banjir di Jakarta sebesar Rp2,7 triliun yang sebagian besar dialokasikan untuk penyelesaikan program mendesak tersebut.

Siswoko juga menyatakan agar pemanfaatan ruang didataran banjir harus diatur untuk mengurangi kerugian yang timbul dan dihimbau untuk tidak membangun prasarana penting di daerah tersebut. Sementara bagi penduduk yang tinggal di bantaran sungai, akan di relokasi ke rumah susun yang lebih manusiawi.

Namun berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah sama sekali tidak menjamin Jakarta akan terbebas dari banjir. Karena Jakarta sendiri memang amat rentan ancaman banjir. Selain berlokasi di daerah hilir yang dilalui 13 Sungai, 40% kawasan di Jakarta bahkan lebih rendah dari permukaan laut.

Kondisi tersebut, menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air Siswoko, menjadi salah satu penyebab banjir yang biasa disebut sebagai kondisi alam statis yakni berhubungan dengan geografis, topografi dan geometri alur sungai. Selain faktor statis tersebut, banjir juga dapat disebabkan oleh faktor dinamis yakni peristiwa alam seperti curah hujan tinggi, pembendungan, amblesan tanah atau pendangkalan. Faktor dinamis lainnya tentu saja adalah kegiatan manusia seperti pembangunan permukiman di bantaran sungai atau dataran banjir.

“Yang kita lakukan hanya mengurangi, tidak bisa menghilangkan banjir sama sekali” jelas Siswoko.

Pusat Komunikasi Publik, 19 Pebruari 2007

Sumber: http://www.pu.go.id

Aceh Tak Bisa Bebas Banjir

Kapanlagi.com – Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Irwandi Yusuf, mengatakan Aceh tidak akan bisa bebas bencana alam banjir dalam beberapa tahun ke depan terutama bila kegiatan penebangan hutan masih terus berlanjut.

“Aceh tidak bisa bebas banjir, kemungkinan kita hanya bisa mengurangi,” katanya di Banda Aceh, Senin, menyikapi bencana alam banjir yang melanda sejumlah kabupaten/kota di NAD dalam beberapa pekan terakhir.

Jeda tebang hutan telah diberlakukan di Aceh sejak Juni 2007, namun dinilai belum maksimal karena membutuhkan sekitar 15 tahun untuk memulihkan kembali hutan yang rusak.

“Moratorium logging baru berjalan beberapa bulan sehingga belum maksimal, sedangkan untuk memulihkan hutan yang sudah rusak memerlukan waktu bertahun-tahun,” katanya.

Selain menanami kembali hutan yang rusak, guna mengurangi dampak banjir dilakukan upaya lain yaitu membentuk kanal penanggulangan banjir, mengeruk kembali sungai yang sudah dangkal dan merelokasi masyarakat yang tinggal disekitar sungai.

Banjir bandang menjadi bencana alam langganan di sejumlah daerah di Aceh, bahkan banjir kembali melanda Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Subulussalam dan Aceh Singkil pada Minggu (21/10) akibat hujan lebat.

Akibat hujan lebat yang mengguyur tersebut telah merendam ribuan rumah serta merusak ratusan hektare sawah dan kebun masyarakat.

Terkait banjir tersebut, Gubernur mengatakan penanganannya tidak akan mungkin maksimal terutama pasca banjir. Penanganan pasca banjir paling tidak baru bisa dilakukan tiga hari setelah banjir sehingga sulit ditangani secara maksimal, katanya.

Untuk jangka panjang pencegahan banjir, siapa pun pelaku pembalakan liar harus berhenti merusak hutan Aceh.

Pada 2006 seluas 446,140 hektare hutan di Aceh berada pada tingkat kritis sehingga menyebabkan bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah kabupaten pada akhir Desember lalu. (*/boo)

Sumber: Kapanlagi.com, Senin, 22 Oktober 2007

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.