BebasBanjir2015

Sulit

Sulit Wujudkan Jakarta Terbebas dari Banjir

JAKARTA – Februari 2007 merupakan bulan yang tidak akan dilupakan, khususnya bagi masyarakat Jakarta. Sebab, pada awal bulan kedua tahun lalu, Ibu Kota dihantam banjir yang cukup parah. Hampir seluruh ruas-ruas jalan dan permukiman di Jakarta terendam air yang cukup tinggi. Ketinggian bervariasi antara satu hingga lima meter. Air bah mulai menggenangi Jakarta pada malam 1 Februari 2007. Sekitar 60% wilayah Jakarta terendam air. Banyak hal penyebab tenggelamnya Jakarta saat itu.

Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung hingga dua hari dua malam. Ditambah lagi, banyaknya volume air dari 13 sungai dari Bogor dan Cianjur, Jawa Barat, masuk Jakarta. Saat itu, air laut juga sedang pasang. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), curah hujan yang tinggi mulai turun pada Desember dan berakhir pada Maret.

Pada 2007, intensitas hujan mencapai puncaknya Februari mendatang, dengan intensitas terbesar pada akhir bulan. Di luar cuaca yang sangat besar perannya dalam mempercepat akumulasi air permukaan saat hujan, daerah resapan yang sudah mulai berkurang di wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor,Tangerang, dan Bekasi) -sejalan berkembangnya infrastruktur dan perluasan permukiman yang berorientasi horizontal. Sehingga boros lahan juga menjadi penyebab mudahnya Jakarta dilanda banjir. Penurunan tanah akibat beban Jakarta yang penuh dengan bangunan pencakar langir dan pengeksploitasian air tanah juga menambah semakin sulitnya mengatasi banjir di metropolitan ini.

Yang jelas, akibat hal tersebut, permukaan tanah di Jakarta mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banjir di Jakarta memang bukan hal baru dan sudah merupakan rutinitas setiap tahun di Jakarta. Namun, banjir 2007 kemarin terjadi dalam skala lebih luas dan banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada 2002 dan 1996.Tercatat sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, dan sakit. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai sekitar Rp4,3 triliun. Sementara itu, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang. Kalau ditelusuri, Jakarta sudah mengalami banjir sejak beberapa abad lalu.

Bahkan, pada zaman kolonial, pemerintah Belanda yang berkuasa juga telah melakukan beberapa pembangunan untuk mengatasi banjir yang kerap melanda wilayah Batavia, sebutan Jakarta kala itu. Menurut catatan, pada zaman VOC pada abad ke-17. Banjir besar di Batavia terjadi pada 1671, 1699, 1711, 1714, dan 1854. Saat itu, keadaan banjir yang dialami hampir sama seperti yang terjadi saat ini. Pemerintah VOC yang berkuasa kala itu membuat sistem pengendalian banjir.

Yang dilakukan saat itu salah satunya dengan membuat sudetan sungai.Van Breen, salah satu insinyur Belanda, yang menggagas pembuatan kanal di bagian barat Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke yang sekarang kita kenal dengan Banjir Kanal Barat (BKB). Perubahan tata lahan kebun teh di kawasan Puncak, Bogor, diantisipasi dengan mengubah area persawahan menjadi situ-situ. Namun, apa yang dilakukan oleh VOC tidak pernah bisa mengurangi banjir yang terus melanda Batavia hingga saat ini. Pengamat Planologi Universitas Trisakti YayatSupriatna menyatakan,Jakarta tidak akan pernah terbebas dari banjir. Hal tersebut disebabkan apa yang ada di Jakarta sudah tidak dapat tertolong lagi.

Selain posisi Jakarta yang berada di bawah pemukaan laut, daya serap air hujan di Jakarta juga semakin berkurang. Karena itu, air hujan yang biasa mengguyur Jakarta tidak lagi dapat diserap, melainkan harus dialirkan melalui drainasedrainase yang ada di seluruh wilayah Jakarta. Namun kenyataannya, hampir seluruh drainase di Ibu Kota tidak berfungsi dengan baik. Yayat menambahkan, kondisi wilayah Jakarta yang berada di muara sungai menyebabkan Jakarta sulit terbebas dari banjir sampai kapan pun. Kondisi Jakarta yang berada di muara sungai sebenarnya sudah menjadi “cacat bawaan”.

Selain itu, ada 13 sungai yang melewati kawasan Jakarta. Panjang sungai baik kecil maupun besar yang ada di Jakarta mencapai 1.000 km. Namun, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta hanya mampu melakukan perawatan sekitar 1 km per tahun. “Ini sangat memprihatinkan. Bagaimana Jakarta bisa terbebas dari banjir,” tutur Yayat. Kendala yang dihadapi tak hanya itu, pemerintah juga dipusingkan dengan permukiman di sekitar bantaran kali yang semakin bertambah. Akibatnya, pemerintah tidak bisa optimal melakukan pembersihan sungai. Diperparah lagi jika air laut pasang, sungai-sungai tidak bisa mengalir dengan baik. Sebenarnya, banjir di Jakarta tidak bisa disalahkan karena adanya siklus lima tahunan.

Namun, kondisi drainase di Jakarta hanya sebagian yang masih layak menambah permasalahan banjir bertambah semakin rumit. Saat ini, pemerintah selalu mengandalkan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) yang hingga kini belum terealisasi -akibat sebagian tanahnya belum dibebaskan- untuk mengatasi banjir. Namun, sebenarnya, BKT yang saat ini digembargemborkan dapat mengatasi banjir di Jakarta, sebenarnya hanya mampu mengatasi sekitar 40%.

Karena itu, masyarakat jangan berharap banyak dari BKT. “Bagaimanapun, kita juga harus mengakui keterbatasan pemerintah dalam menangani bencana ini,” ujarnya.

Yang secepatnya harus ditangani sebenarnya adalah penanganan daerah yang menjadi simpul-simpul bencana terparah bila banjir datang. Solusi paling cepat dan bisa dilakukan saat ini adalah menyiapkan atau mengantisipasi serta meminimalisasi kerugian bila banjir kembali melanda. Dengan demikian, bila banjir datang, pemerintah tidak lagi mengalami kerugian besar akibat lumpuhnya perekonomian. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk menjaga ketertiban dan kebersihan harus lebih ditingkatkan agar Jakarta terlihat indah dan bersih. (sindo//kem)

Sumber: Koran Sindo, 02/01/08

Prijanto: Sulit Atasi Banjir di DKI Jakarta

JAKARTA, KOMPAS – Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menegaskan, sulit mengatasi genangan dan banjir yang terjadi di Jakarta karena terbatasnya anggaran antisipasi banjir. Saat ini dana yang tersedia dalam APBD 2007 hanya Rp 272 miliar, padahal untuk mengatasi banjir dibutuhkan Rp 1,2 triliun.

“Banyak sekali perbaikan saluran drainase dan pengerukan sungai yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko banjir. Di sisi lain, anggaran sangat terbatas sehingga harus dibagi-bagi ke banyak lokasi sehingga hasilnya tidak akan optimal,” kata Prijanto, Jumat (2/11), saat meninjau pintu-pintu air di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.

Anggaran yang ada saat ini, kata Prijanto, dipergunakan untuk membangun dan memperbaiki jaringan drainase baru, pengerukan, perbaikan pompa, dan pemeliharaan. Sejak banjir Februari lalu, belum dilakukan perbaikan drainase yang berarti. Pekerjaan perbaikan itu baru dimulai minggu lalu.

“Untuk melakukan pengerukan di seluruh sungai, dibutuhkan dana sekitar Rp 300 miliar. Untuk memperbaiki seluruh jaringan drainase di DKI Jakarta, diperlukan dana sekitar Rp 1,2 triliun,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wishnu Subagyo Yusuf.

Saat ini, lanjutnya, dinas pekerjaan umum sedang memperbaiki drainase lingkungan dan kolektor di 230 lokasi se-Jakarta. Perbaikan di lokasi itu menjadi prioritas karena sering menyebabkan genangan air di jalanan dan memicu terjadinya macet.

Dari pengamatan Kompas, di Jalan Palmerah Utara, pekerja sibuk membersihkan saluran drainase dari sumbatan sampah. Tutup drainase dari beton terpaksa diangkat agar pekerja dapat masuk dan membersihkan saluran drainase yang selalu menyebabkan genangan saat hujan.

Sementara itu, kata Wishnu, pengerukan sungai sedang dilakukan di anak Sungai Ciliwung, mulai dari Jembatan Merah sampai Stasiun Kota. Muara dan bagian tengah Banjir Kanal Barat dan Cengkareng Drain juga akan dikeruk.

“DKI seharusnya memiliki kapal keruk sendiri karena ada 13 sungai yang perlu dikeruk. Jika memiliki kapal keruk, anggaran normalisasi sungai dapat ditekan,” kata Prijanto.

Keterbatasan anggaran diperparah dengan rusaknya beberapa pompa air utama. Di rumah pompa Setiabudi, empat dari enam mesin yang ada rusak. Akibatnya, daya sedot air untuk mengurangi genangan di kawasan itu juga berkurang. Pompa-pompa yang rusak itu milik pemerintah pusat sehingga Pemprov DKI Jakarta belum menganggarkan dana untuk perbaikan.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, Pemprov DKI segera memperbaiki semua pompa air yang menjadi tanggung jawabnya. Penyelesaian masalah banjir menjadi salah satu prioritas utama Pemprov DKI Jakarta karena dapat menyebabkan kelumpuhan kota.

Banjir pada awal Februari lalu menyebabkan 80 persen aktivitas di Jakarta lumpuh selama tiga hari. Banjir itu menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari Rp 6 triliun. (ECA)

Sumber Kompas Cyber Media, Sabtu, 03 November 2007

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.