BebasBanjir2015

Aspek Ekonomi

BANJIR DAN EKONOMI

Oleh M. Sadli

Banjir minggu yang lalu yang melanda dan sempat melumpuhkan Jakarta ada dampak ekonominya yang cukup luas. Dampaknya sampai terasa di Jawa Tengah. Industri tekstil di Pekalongan, misalnya, memasarkan hasil produksinya di, atau lewat, Jakarta. Sopir-sopir truck segan pergi ke Jakarta karena takut kendaraannya akan macet di Jakarta. Maka banjir ini pasti juga menaikkan harga sehingga mempengaruhi tingkat inflasi. Akan tetapi, dampak keseluruhannya kiranya tidak akan terlalu besar. Inflasi akan naik, mudah-mudahan kurang dari satu persen. Banjir juga tidak merusak, sampai menghancurkan, bangunan seperti gempa bumi (di Jogja). Banjir di Jakarta juga bukan musibah yang terus menerus. Tetapi, justru oleh karena ibu kota yang terkena, yakni tempat pemerintah dan lokasi pengambilan keputusan, maka pengaruh ekonominya juga akan luas.

Beberapa proyek untuk menghalau dampak buruk juga sempat dikemukakan di media massa, seperti pembuatan banjir kanal (timur dan barat), pembuatan ratusan situ di selatan Jakarta untuk menampung luapan air dari daerah Bogor dan Puncak. Jumlah biaya proyek-proyek demikian sampai trilyunan rupiah, sehingga pelaksanaannya belum bisa dipastikan sekarang, karena keperluan pembangunan ekonomi dan sosial yang juga mendesak (dan sifatnya terus menerus) cukup banyak, seperti di bidang kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa. Tetapi, “trauma” dari pengalaman banjir yang baru lalu ini pasti juga menambah desakan atau urgensi sehingga “cicilan” pengeluaran akan diperbesar di waktu yang dekat.

Tetapi, sikap “business as usual” bisa juga menjangkiti para pengambil keputusan. Maklumlah, banjir adalah gejala musiman yang setiap tahun kembali di bulan Januari atau Februari, sehingga penduduk dianggap sudah terbiasa. Banjir besar seperti yang baru lalu ini juga hanya terjadi sekali lima tahun. Maka bisa juga “diputuskan” untuk tidak mengeluarkan uang sampai trilyunan, dan uang itu lebih baik dipakai untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan pendidikan, serta memperbaiki infrastruktur kampung. Anggaran tambahan yang tidak terlalu besar bisa digunakan untuk memperbaiki selokan-selokan dan sistim drainage kota sehingga genangan air tidak terjadi terlalu lama.

Kalau keperluan tambahan anggaran demikian tokh masih besar maka bisa dipertimbangkan untuk menaikkan pajak. Karena tujuannya adalah memperbaiki keadaan di Jakarta, sehingga tidak bisa disebut proyek nasional, maka pajak demikian harus dikenakan kepada penduduk Jakarta saja. Pajak bisa berupa pajak pendapatan atau pajak atas kekayaan atau harta benda. Yang paling cocok adalah pajak PBB, atas tanah dan bangunan, karena penanggulangan banjir lebih terkait kepada (nilai) tanah dan bangunan.

Karena banjir besar yang lalu sempat mengganggu kehidupan normal penduduk dan penguasa di Jakarta maka bisa menimbulkan suasana “krisis”, yakni sesuatu yang mengancam kehidupan normal. Suasana krisis bisa mempunyai berkah, ia bisa membuka mata lebih lebar dan membuat orang lebih bersedia untuk mengurangi kenyamanan yang biasanya ia nikmati. Suasana atau alam fikiran demikian bisa dipergunakan untuk mendorong tercapainya suatu keputusan yang sampai sekarang terkatung-katung. Hal demikian mungkin penting bagi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sering dilihat ragu-ragu.

Di lain fihak, kita jangan lupa bahwa banjir besar yang lalu menimpa (hanya) Jakarta. Maka pemerintahan Jakarta yang lebih banyak dilanda “krisis” ini. Tetapi, akibat jelek banir di Jakarta tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah di DKI saja, akan tetapi memerlukan dukungan dari daerah-daerah sekelilingnya, seperti Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Maka Pemerintah Pusat juga harus turun tangan. Kesempatan demikian bisa dipergunakan untuk menyelesaikan salah suatu kesulitan yang dihadapi pelaksanaan otonomi daerah. Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Gubernur dan Bupati sering masih rancu. Kalau bisa diselesaikan untuk DKI maka mungkin bisa dibuat contoh untuk lain tempat.

Banjir di Jakarta ini pasti akan menaikkan tingkat inflasi, walaupun mudah-mudahan hanya sedikit. Dampaknya hanya seketika (once over), akan tetapi sesudah itu masih ada keperluan pengeluaran yang banyak untuk membiayai pemulihan ekonomi. Dalam hal ini sistim perbankan harus lebih banyak menyumbang daripada pemerintah pusat lewat anggaran belanjanya. Maka Bank Indonesia harus memperhitungkan ini.

Kalau inflasi meningkat maka bisa dibilang tidak adil, karena orang di Sulawesi dan Sumatra harus ikut menanggung beban untuk meringankan derita penduduk di Jawa. Akan tetapi begitulah konsekuensi punya NKRI.

Rabu, 14 Pebruari 2007 (Untuk Business News, Senin 12 Februari 2007)

Sumber: http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artikel_prof_m._sadli/banjir_dan_ekonomi.html

Ekonomika Banjir

Oleh: Krisna Wijaya

Secara ekonomika, fenomena banjir dapat dijelaskan dengan teori eksternalitas. Pengertian eksternalitas secara harfiah adalah suatu kerugian yang harus ditanggung oleh publik tanpa melalui mekanisme pasar. Dalam kasus banjir, eksternalitas itu berupa ketidaknyamanan yang tentunya berakibat juga kepada kerugian secara ekonomi.

Ketidaknyamanan atau kerugian tersebut jelas tanpa melalui mekanisme pasar karena masyarakat hanya bisa menerima apa adanya tanpa mempunyai posisi tawar-menawar.

Dengan menggunakan pendekatan teori eksternalitas, maka terjadinya banjir disebabkan oleh tidak memadainya pengelolaan barang-barang publik, seperti sungai dan saluran air. Sungai yang semakin dangkal dan menyempit jelas akan mengurangi kemampuan menampung air. Saluran air yang tidak baik menyebabkan pembuangan air tidak pada tempatnya.

Persoalan dangkalnya sungai dan tidak berfungsinya saluran air jelas merupakan fenomena ekonomi. Artinya, untuk dapat menyediakan daya tampung sungai dan tersedianya saluran air yang memadai, diperlukan biaya. Bukan sekadar untuk membangunnya, tetapi yang lebih penting adalah untuk pemeliharaannya. Dengan demikian, ketersediaan sumber dana merupakan hal yang menentukan dalam meminimalkan ketidaknyamanan dan kerugian masyarakat.

Dalam kaitan bagaimana agar barang-barang publik tersebut di atas dapat dikelola dengan optimal, maka diperlukan partisipasi dari pemerintah dan masyarakat. Peranan pemerintah jelas sebagai penyedia, pengelola, dan penanggung jawab barang publik. Untuk itulah pemerintah membebani masyarakat dengan pajak agar mempunyai sejumlah dana untuk pengelolaan barang-barang publik.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran pengguna barang publik, yaitu masyarakat dan pengusaha. Selain sebagai pembayar pajak, andil mereka adalah memberikan sumbangan dalam bentuk kepedulian untuk menjaga dan memelihara barang publik agar memberikan manfaat optimal.

Dengan demikian, apabila banjir dipandang sebagai fenomena ekonomi, berlakulah hukum permintaan dan penawaran. Artinya, kalau semakin banyak tuntutan akan kualitas sungai dan saluran air, maka risikonya ketersediaan dana untuk itu semakin besar. Ini berarti pemerintah memerlukan sumber dana yang lebih besar dengan cara menaikkan tarif pajak.

Namun, sebelum melakukan upaya menaikkan pajak, perlu dikaji apakah pengelolaan barang-barang publik sudah efisien dan efektif? Sebab, apa jadinya kalau pajak dinaikkan sementara pengelolaan barang publiknya tidak banyak berubah. Pertanyaannya adalah apakah terbatasnya pengelolaan barang publik karena terbatasnya anggaran?

Sekiranya terbukti karena memang anggarannya yang kurang, maka belum tentu karena sumbernya yang kurang. Bisa jadi justru karena kebijakannya. Misalnya, alokasi anggaran untuk perbaikan sungai dan saluran air sangat kecil karena memang sebesar itulah yang diusulkan. Atau bisa juga yang diusulkan besar, tetapi yang disetujui tidak sebesar yang diusulkan.

Dalam konteks alokasi anggaran, yang diperlukan tentunya adalah adanya kemauan politik (political will) dalam bentuk kesamaan pandangan bahwa mengelola dan memelihara barang publik merupakan kebijakan yang harus mendapatkan prioritas tinggi. Apalagi banyak terbukti bahwa akibat yang ditimbulkan banjir secara ekonomi sangat signifikan.

Banyak program untuk mengatasi banjir dan dampaknya sekiranya sumber dananya memadai. Ide untuk membuat semacam waduk penampungan air adalah sebuah alternatif yang rasional. Sebab, adanya perbaikan saluran air dan tersedianya waduk penampungan akan sangat membantu dalam menghadapi banjir.

Di samping hal tersebut di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah adanya penegakan hukum terhadap perusak barang publik. Pendangkalan sungai karena ketidaktertiban masyarakat atau karena pencemaran oleh pabrikan seyogianya ditindak tegas. Begitu pula kepada para pengembang yang mengabaikan jalur hijau dan daerah resapan sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang berat.

Untuk dapat mewujudkan kemauan politik tersebut, tentunya fenomena banjir tidak lagi dipandang sebagai persoalan yang bersifat reaktif, tetapi menjadi proaktif. Untuk bisa menjadi proaktif, dalam menghadapi masalah banjir harus dikembalikan kepada persoalan ekonomi. Sebagai fenomena ekonomi, maka adanya eksternalitas harus menjadi perhatian yang lebih serius.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/06/ekonomi/3298123.htm

Krisna Wijaya Pengamat Ekonomi

Sumber: Kompas

Tanggal: 06 Feb 07

Catatan:

Kerugian akibat banjir bisa capai Rp7,3 triliun

Oleh: Erwin Tambunan, Endot Brilliantono & Tri D. Pamena

Nilai kerugian akibat bencana banjir yang melanda DKI Jakarta dan sekitarnya diperkirakan bisa mencapai Rp7,3 triliun, ungkap laporan satu LSM.

“Jika banjir berlangsung selama tujuh hari terus-menerus pada areal dampak antara 60%-70%, kerugian ditaksir bisa mencapai Rp7,3 triliun,” ujar Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi dalam keterangan pers di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, setidaknya terdapat delapan sektor ekonomi yang terpengaruh secara langsung dan tak langsung akibat banjir.

Kerugian ekonomi dari delapan sektor itu, sambung Elfian, bisa mencapai angka Rp1,2 triliun per hari. Namun, karena besaran dampak (magnitude of impact) dari banjir diperkirakan 60%-70%, kerugian per hari diestimasi mencapai Rp835 miliar.

Banjir yang menghadang berbagai aktivitas perekonomian di Ibu Kota, paparnya, telah menimbulkan kerugian dalam bentuk biaya kehilangan kesempatan, yang diperkirakan mencapai 25% dari nilai estimasi kerugian delapan sektor ekonomi, yakni sekitar Rp209 miliar per hari.

Estimasi kerugian akibat banjir

Komponen Estimasi kerugian per minggu (Rp miliar)

Pertanian, peternakan, perikanan 6,1

Industri pengolahan 808,4

Listrik, gas dan air Bersih 74,7

Bangunan 531,7

Perdagangan, hotel, restoran 1.278,4

Transportasi dan komunikasi 551,9

Keuangan dan persewaan 1.846,0

Jasa-jasa 754,4

Biaya kehilangan kesempatan 1.462,9

Total 7.314,4

Sumber: Hasil estimasi Greenomics Indonesia, 6 Februari 2007

Perkiraan nilai kerugian Rp7,3 triliun, jelas Elfian, mencapai 1,7% dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta. “Ini peringatan keras secara ekonomi. [Ternyata] perekonomian Jakarta sangat sensitif terhadap gangguan banjir.”

Apalagi, lanjut dia, sektor-sektor yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi di Jakarta dan sekitarnya adalah transportasi dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor listrik, gas dan air bersih.

“Gangguan banjir jelas menghambat pertumbuhan ekonomi sektor-sektor tersebut,” tambahnya.

36 Tewas

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. I Ketut Untung Yoga Ana mengatakan sampai kemarin (hari keenam), jumlah korban tewas akibat banjir di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi sebanyak 36 orang tewas, dan satu orang masih dinyatakan hilang.

Jumlah tersebut, paparnya, bisa berubah mengingat proses pendataan masih terus berlangsung. Dia juga menyebutkan korban banjir saat ini lebih besar jika dibandingkan peristiwa sejenis pada 2002 yang menelan korban 17 tewas.

Yoga Ana menuturkan selain melaksanakan tugas SAR dan misi kemanusiaan, aparat kepolisian juga menjaga keamanan rumah-rumah warga yang ditinggal mengungsi.

Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Adang Firman mengatakan polisi melakukan patroli untuk mencegah terjadinya aksi kejahatan dan pencurian yang dilakukan orang tak bertanggung jawab.

“Untuk mencegah aksi kejahatan itu, Polri dan TNI akan menjaga permukiman dan supermarket milik warga yang kebanjiran,” katanya.

Dia menyebutkan sedikitnya 12.000 personel polisi bersama ribuan aparat TNI disebar di semua daerah bencana. Sampai saat ini belum ada laporan peristiwa penjarahan di tempat yang terkena banjir.

Pemprov DKI Jakarta sendiri menyiapkan enam kawasan pengungsian massal untuk menampung korban banjir yang tersebar di lima kota madya. Penyediaan posko evakuasi itu juga dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan banjir susulan.

Gubernur DKI Sutiyoso mengatakan penyediaan enam posko evakuasi skala besar itu dilakukan untuk melengkapi 540 posko yang sudah ada.

“Penanganan enam posko evakuasi skala besar tersebut dilakukan melalui koordinasi dengan melibatkan TNI dan Polri,” ujar dia seusai mengikuti Rapat Muspida, kemarin.

Antisipasi terjadinya banjir susulan perlu dilakukan karena menurut ramalan BMG, puncak curah hujan akan terjadi dalam dua hari ini, lanjut Sutiyoso.

Sementara itu, jumlah pengungsi korban banjir di Ibukota sampai kemarin yang tercatat di Crisis Center DKI terus bertambah hingga mencapai 397.988 jiwa yang tersebar di 578 lokasi pengungsian. (m02) (erwin.tambunan@bisnis.co.id/endot. brilliantono@bisnis.co.id/ tri.dp@bisnis.co.id)

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Erwin Tambunan, Endot Brilliantono & Tri D. Pamenan

Bisnis Indonesia

Keterangan Artikel

Sumber: Bisnis Indonesia

Tanggal: 06 Feb 07

Catatan:

Banjir dan Ekonomi

Oleh: Didik J. Rachbini

Banjir di Jakarta datang rutin hampir setiap tahun. Tetapi siklus banjir besar datang lima tahunan. Namun saat ini, banjir merupakan musibah terbesar dalam lima tahun terakhir. Dampaknya terhadap penduduk dan kehidupan ekonomi sosial di Jakarta sangat meluas karena banyak sudut wilayah Ibu Kota tersentuh oleh banjir ini.

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan banjir kali ini diperkirakan sangat besar karena Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan tetapi juga pusat ekonomi, yang bertransaksi dengan seluruh wilayah Indonesia. Dengan kemacetan ekonomi Jakarta, maka dampak ekonominya meluas ke wilayah-wilayah di luar Jakarta.

Kerugian dunia usaha yang ditimbulkan oleh banjir dalam waktu satu minggu ada yang memperkirakan mencapai Rp1 triliun. Memang belum ada statistik yang mengukur langsung secara tepat jumlah kerugian ekonomi, yang diderita oleh warga Jakarta. Tetapi dampak kerugian memang sangat meluas, seperti kegiatan distribusi barang, kegiatan penerbangan di bandara, dan lainnya.

Selain itu, banjir juga telah menyebabkan harga barang-barang kebutuhan pokok naik karena distribusi barang-barang terhambat. Kenaikan harga barang-barang tersebut berkisar 10% hingga 20%.

Kerakusan

Fakta ini kemudian memunculkan kritik bahwa biang keladinya adalah kebijakan ekonomi, kebijakan tata ruang, dan banyak kebijakan lainnya yang anti lingkungan hidup, baik di Jakarta atau di luar Jakarta. Strategi pembangunan ekonomi selama ini tidak sama sekali memiliki wajah lingkungan hidup. Kerakusan ekonomi telah menyebabkan kerusakan lingkungan karena pembangunan ekonomi pasar tidak mengindahkan kaidah-kaidah etika lingkungan dan kepentingan sosial, yang luas.

Persaingan pasar berorientasi pada kepentingan modal. Jika tidak ada etika dan moral yang memandunya, maka kepentingan lingkungan hidup dinafikan atau paling maksimal disubordinasikan di bawah otoritas pasar. Karena itu, wajar jika banyak kebijakan menabrak jalur hijau, mengubah serapan air menjadi bangunan, menghilangkan waduk kecil dan kebijakan yang lainnya yang anti lingkungan hidup.

Pasar memang dapat menggerakkan ekonomi, tetapi tidak dapat mengakomodasi moral dan etika. Pembangunan ekonomi Jakarta yang cepat menempatkan pemilik modal dan investor sebagai kesatria utama. Kepentingan sosial dan lingkungan pasti terabaikan jika etika, moral dan regulasi tidak ditegakkan untuk menahan dampak eksternalitas pasar.

Karena tidak ada benteng moral dan regulasi yang baik, maka kejadian banjir di Jakarta hanyalah dampak dari proses tindakan kolektif ekonomi, yang menafikan lingkungan. Banjir hanya akibat dari apa yang dilakukan secara kolektif di Ibu Kota sekarang dan sebelumnya.

Kebijakan

Pemerintah perlu mengambil tindakan kebijakan yang cepat untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi banjir di Jakarta.

Pertama, momentum banjir ini merupakan kesempatan emas untuk menyelesaikan kanal timur dan kanal-kanal lainnya. Pembangunan kanal penahan banjir mutlak perlu dilakukan dan perlu meniru pemerintah Belanda dalam mengelola drainase air di kota seperti Amsterdam.

Pada masa normal sangat sulit berhadapan protes yang menghalangi pembangunan kanal. Tetapi sekarang pada momentum ini sepuluh juta orang berkepentingan terhadap kanal dibandingkan segelintir orang, yang menghalangi tersebut.

Kedua, banjir di Jakarta mesti diatasi dari hulu juga. Pemerintah pusat sudah mesti memikirkan dan sekaligus mengambil keputusan untuk membangun waduk di Bogor untuk menahan air bah turun ke Jakarta. Tetapi keputusan ini tidak mudah dan perlu keberanian untuk menentukan wilayahnya, sekaligus keberanian untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat, terutama yang pasti menentang.

Jika tidak ada ketegasan, maka jangan berharap ada solusi terhadap banjir tahunan dan siklus lima tahunan di Jakarta. Perwujudan pembangunan waduk tersebut juga akan berfungsi ganda untuk irigasi dan listrik. Jika waduk tersebut dapat diwujudkan, maka sudah pasti fungsinya sebagai penahan air akan bekerja. Jika air bah datang setidaknya banyak yang bisa ditahan.

Ketiga, kebijakan jangka menengah panjang lainnya yang penting untuk solusi keruwetan Jakarta adalah memindahkan ibu kota negara Republik Indonesia ke luar Jakarta. Kebijakan ini bertujuan agar beban Ibu Kota menjadi lebih ringan sehingga sebagian beban ekonomi publik pindah ke wilayah lainnya.

Kebijakan ini memerlukan keputusan yang tinggi dengan menetapkan undang-undang. Ini bisa dilakukan oleh DPR dengan pemerintah.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Didik J. Rachbini

Ekonom dan Ketua Komisi VI DPR

Keterangan Artikel

Sumber: Bisnis Indonesia

Tanggal: 11 Feb 07

Catatan:

Versi Cetak

Beritahu Teman

Back To Top

Analisis Ekonomi Bencana Banjir

Oleh: Faisal Basri

Menko Kesra Aburizal Bakrie sesumbar, masalah banjir telah dibesar-besarkan oleh media massa. Pernyataan Menko Kesra mungkin benar seandainya banjir datang sesekali, lalu dalam satu-dua hari surut, serta hanya menggenangi sejumput wilayah tertentu saja.

Akan tetapi, bencana banjir kali ini tergolong luar biasa dan tak terpisahkan dari serangkaian peristiwa serupa dalam 10 tahun terakhir. Banjir awal tahun ini kiranya lebih dari cukup untuk memberikan pertanda yang semakin nyata bahwa akumulasi kerusakan yang terjadi sudah mencapai titik membahayakan.

Akibat banjir tidak lagi sebatas pada kerugian yang diderita oleh warga yang tempat tinggalnya terendam air, serta lokasi usaha yang terpaksa tak beroperasi karena terisolasi oleh genangan air. Banjir telah pula merusak instalisasi listrik, air bersih, dan telekomunikasi, serta semua moda transportasi. Praktis berdampak pada seluruh kegiatan ekonomi.

Jadwal produksi yang terganggu, walau mungkin hanya sekitar 10 hari, bisa berakibat fatal karena pembeli mengalihkan pesanan untuk seterusnya, ataupun pengusaha memindahkan fasilitas usaha ke luar negeri. Cara penanganan banjir yang buruk semakin membulatkan tekad mereka untuk hengkang dari Indonesia. Sementara itu, para pekerja terpukul dua kali, karena selain rumahnya tergenang air, mereka kehilangan pendapatan.

Karena Jakarta sudah terlanjur sebagai pusat “segala-galanya”, kerugian merembet ke berbagai penjuru. Distribusi barang yang terganggu ditambah dengan banjir parah di wilayah Jakarta Utara, membuat pelabuhan Tanjung Priok hanya bisa beroperasi sekitar separuh dari biasanya sehingga lalu lintas ekspor dan impor terpukul.

Keadaan ini berpotensi membuat laju ekspor yang sudah menembus 100 miliar dollar AS tahun 2006 bisa melemah kembali. Sebaliknya, karena kerusakan sejumlah fasilitas produksi akan mengakibatkan kebutuhan di dalam negeri lebih banyak diisi oleh produk-produk impor.

Dampak terhadap makro-ekonomi juga akan terasa dari kenaikan harga-harga yang terjadi sehingga mendorong laju inflasi yang lebih tinggi.

Secara keseluruhan, bencana banjir dalam jangka pendek boleh jadi tak akan mengakibatkan kerugian yang cukup berarti besar bagi perekonomian nasional. Namun, jika tak ditangani secara seksama maka dampak jangka menengah dan jangka panjangnya akan terasa dalam bentuk kemerosotan daya saing dan iklim investasi.

Jakarta “ditegur”

Banjir menegur Jakarta yang masih saja tamak dan pongah, enggan berbagi dengan daerah-daerah lain, bahkan cenderung menyalahkan mereka. Jakarta terus saja mempercantik wajah dengan kosmetik berlebihan sehingga menjelma seperti “topeng monyet” yang semakin beringas.

Itulah sosok Jakarta yang dibangun dengan terlalu eksesif mengedepankan modal fisik. Sementara modal manusia, modal sosial, dan modal spiritualnya terus menerus tergerus.

Jakarta masih berencana membangun enam ruas jalan tol baru. Pembangunan pusat-pusat belanja berskala kecil hingga mega terus marak di seluruh wilayah, termasuk pula yang berlokasi di jantung kota. Demikian pula dengan pembangunan puluhan apartemen pencakar langit yang kian marak. Kesemuanya dibangun dengan tidak lagi mengindahkan kaidah lingkungan dan penyediaan fasos-fasum.

Sebagai Ibu Kota negara yang menyandang predikat kota modern, seharusnya Jakarta telah mengalami transformasi menjadi kota jasa modern yang mampu menciptakan kegiatan produktif yang bernilai tambah tinggi. Pemerintah kota bisa secara aktif menawarkan mekanisme insentif agar pabrik-pabrik yang bernilai tambah rendah bersedia keluar Jakarta secara sukarela.

Pembangunan kota Jakarta ke depan tak bisa lagi dengan mempertahankan Jakarta sebagai pusat gravitasi segala kegiatan ekonomi. Melainkan harus mengetengahkan paradigma baru, yakni dengan secara aktif memperluas basis kegiatan ekonomi ke luar Jakarta, mulai dari daerah di sekitarnya hingga ke daerah yang semakin jauh.

Sebagai contoh, kita bisa memulai dari sistem transportasi. Sebelum terlambat dan menjadi sia-sia, pola pembangunan jaringan transportasi perlu ditinjau ulang. Bukannya dengan mengutamakan kelancaran arus manusia masuk ke pusat kota, melainkan dengan memperlancar terbentuknya kawasan bisnis yang tersebar di pinggiran Jakarta dan di daerah sekitarnya.

Dengan demikian justru warga Jakarta memperoleh insentif untuk berpindah dari kawasan padat dan kumuh ke kawasan pemukiman baru yang dibangun secara terpadu.

Untuk itu, sudah sepatutnya dilakukan revitalisasi infrastruktur jalur kereta api yang sudah ada di sekeliling Jakarta. Di sepanjang jalur kereta api itulah akan tercipta sentra-sentra bisnis yang lebih tersebar, sehingga lebih cepat mendorong efek penularan ke daerah yang semakin jauh dari Jakarta.

Tanpa mendorong agar pembangunan di daerah-daerah lain lebih cepat, maka niscaya Jakarta tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah-masalah klasiknya seperti banjir, permukiman kumuh, pengangguran, dan sektor informal.

Menyelesaikan masalah

Apakah Jakarta mampu menyelesaikan masalahnya sendiri? Banjir bandang yang melanda Jakarta hanyalah bukti pamungkas dari serangkaian bencana yang silih berganti melanda seantero negeri yang ditimbulkan oleh sejumlah penyebab yang serupa. Alam semakin murka karena tak kunjung diperlakukan secara patut.

Bukankah bencana alam lebih disebabkan oleh kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh manusia? Korupsi yang masih saja merajalela merupakan salah satu faktor penyebab terpenting

Revisi UU Tata Ruang Nasional tidak kunjung dituntaskan oleh elite politik. Sejumlah rencana pembenahan atas perusakan alam memang ada, tetapi tumpang tindih satu sama lain.

Dalam hal penanganan bencana pun belum menunjukkan perbaikan. Tak kurang Menteri Kesehatan sendiri mengakui, penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya tak lebih baik daripada penanganan bencana mulai dari tsunami di Aceh dan Nias hingga ke gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah (Kompas, 10 Februari 2007, halaman 25).

Ada yang beranggapan, otonomi daerahlah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan. Mungkin itu ada benarnya, tapi, teramat banyak yang masih bisa dilakukan, sekaligus bisa dikoreksi oleh pemerintah pusat dan politisi di Jakarta. Karena merekalah yang paling bertanggung jawab menetapkan UU, kerangka rencana makro dan jangka panjang, serta koordinasi lintas sektoral dan lintas daerah.

Lepas dari itu semua, apresiasi patut diberikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sigap mengambil inisiatif untuk menangani dan mengambil langkah nyata. Semoga langkah awal ini selanjutnya mampu menembus akar-akar masalah yang membawa perbaikan mendasar bagi kehidupan bangsa.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/12/utama/3308370.htm

Faisal Basri
Keterangan Artikel

Sumber: Kompas

Tanggal: 11 Feb 07

Biaya akibat banjir

Oleh: Rofikoh Rokhim

Sudah ada beberapa institusi pemerintah, swasta, dan individu yang mengumumkan kerugian akibat banjir di Jakarta dan sekitarnya sejak Jumat, 2 Februari 2007. Setidaknya telah diumumkan kerugian riil, terutama dari hilangnya pendapatan/omzet harian, selain kerugian yang ditaksir perusahaan asuransi.

Klaim asuransi diperkirakan lebih dari Rp400 miliar. Angka ini meroket 100% dibandingkan dengan klaim asuransi banjir pada 2002, yang sebesar Rp200 miliar.

Selain itu, potensi kerugian PLN sedikitnya Rp50 miliar, Telkom Rp18 miliar, PT Kereta Api Indonesia Rp1 miliar, BNI Rp2,6 miliar, industri sepatu US$25 juta, pengiriman angkutan peti kemas di Tanjung Priok turun 60%, industri di Cakung tidak beroperasi selama beberapa hari, dan masih banyak lagi. Pukul rata, kerugian dan potensi dapat mencapai triliunan rupiah.

Di Jakarta, tercatat 37 orang tewas akibat banjir dan 219.404 orang mengungsi. Demikian pula di Jabar, 16 orang meninggal dan 410.630 warga mengungsi. Korban tewas di Banten 13 orang, sedangkan 135.555 warga mengungsi. Jumlah korban dan klaim kerugian mungkin bertambah dari waktu ke waktu akibat banjir.

Kantor Menneg PPN/Bappenas melansir kerugian akibat banjir di Jakarta dan sekitarnya sedikitnya Rp4,1 triliun, sementara Dinas Koperasi dan UKM Jakarta mengklaim kerugian Rp3,1 triliun.

Namun, kerugian tersebut belum termasuk harta benda-seperti rumah, perabotan, mobil, motor, surat-menyurat dokumen/administratif-yang tidak diasuransikan.

Kalaupun diasuransikan, masih ada kerugian nonriil yang diderita para korban banjir, seperti kedinginan, capek, kesel, sedih, dan terjangkit berbagai penyakit.

Juga, tentu saja, kehilangan waktu untuk berbenah dan mengurus segala administrasi, karena kehilangan dokumen. Belum lagi jika ada korban jiwa yang tidak dapat diukur dengan nilai uang.

Masih ada kerugian lain, seperti diliburkannya sekolah dan kegiatan kampus, pabrik, perusahaan, perkantoran, bahkan ada perusahaan media massa yang tidak terbit. Dana corporate social responsibility perusahaan besar terkonsentrasi pada bantuan banjir, dan hal ini mengambil dana kegiatan lain, seperti beasiswa dan pembangunan sekolah di tempat lain. Intinya, tetap ada potensi kerugian oportunitas bagi pihak lain akibat banjir.

Ada seorang mahasiswa satu perguruan tinggi di Jakarta stres bukan kepalang. Ini karena ujian mahasiswa itu terancam ditunda akibat banjir, sementara dia sudah mendapat pekerjaan baru di negara lain. Untuk dapat memulai bekerja, dia harus membawa bukti kelulusannya.

Tetapi si mahasiswa tadi beruntung. Tiga pengujinya menganggap banjir tidak seharusnya mengganggu masa depan seseorang dan ujian tetap dilaksanakan, kendati penguji harus menembus banjir sana-sini.

Dampak ekonomi

Sulit tentu menghitung secara eksak jika semua lini dirinci satu persatu. Dengan demikian, kerugian menjadi dobel, bahkan berlipat ganda dan membuka kemungkinan terjadinya koreksi terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini karena harga barang kebutuhan pokok meningkat, sehingga kemungkinan inflasi sangat terbuka, produktivitas menurun, investasi tersendat, apetite investor lokal dan asing di pasar uang dan pasar saham tidak bergairah.

Bagaimanapun, Jakarta adalah pusat perekonomian dan pusat pemerintahan, sehingga seluruh mata dunia akan menyoroti bencana banjir sebagaimana yang terjadi pada 2 Februari 2002.

Kalangan pelaku bisnis berusaha melakukan modeling secara ekonomis dan matematis dari banjir yang lebih dilihat sebagai faktor eksternalitas melalui pengukuran manajemen risiko dan efisiensi. Tetapi masih jarang dirinci faktor eksternalitas tersebut, apakah merupakan faktor yang dapat diminimalisasi, atau malah dihindarkan, ataukah merupakan faktor yang sulit dihadapi dan semua harus menerimanya jika terjadi.

Kalangan pesimistis dapat menilai banjir adalah bencana dan merupakan takdir, sehingga harus menerimanya dengan tabah. Tetapi kalangan optimistis dapat dikatakan tidak akan bersedia dengan sikap nrimo dan menganggap banjir adalah takdir dari Tuhan. Mereka akan menganggap banjir adalah karya manusia seperti termaktub dalam firman Tuhan bahwa “apa yang menimpa kamu dari musibah, disebabkan usaha tanganmu sendiri”. Representasinya adalah alam sungguh tergantung dengan manusia dan setiap kerusakan disebabkan oleh ulah manusia.

Dari berbagai upaya yang dilakukan, banjir disebabkan oleh: Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam.

Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, dan badai. Ketiga, degradasi lingkungan, seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, dan penyempitan alur sungai.

Dengan demikian, banyak pihak yang menyatakan banjir di Jakarta dan sekitarnya saat ini karena kurangnya daerah resapan air, baik di hulu maupun di hilir.

Kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur kini meranggas, karena kepentingan pembangunan vila, daerah resapan air di pusat kota berubah menjadi kawasan komersial, pembangunan drainase tidak terkoordinasi, dan sungai jadi bak sampah.

Proyek kongkalikong

Itu semua karena pemerintah kurang tegas terhadap oknum yang memberikan izin pembangunan. Fakta menunjukkan bahwa kawasan komersial yang dibangun di daerah hutan lindung dan kawasan resapan air serta melanggar tata ruang adalah proyek kongkalikong antara pengembang dan pejabat instansi yang berhak mengeluarkan izin.

Selain itu, masyarakat juga tidak disiplin dalam membuang sampah dan memanfaatkan fasilitas umum yang disediakan pemerintah.

Tampak bahwa terjadinya kerugian riil dan nonriil akibat banjir dipandang sudah menjadi suatu keniscayaan, bahkan rutinitas beserta penyesalan akibat alasan teknis, seperti tidak berfungsinya kawasan serapan air serta rencana penanggulan yang masih seperti sebelumnya: kurangnya koordinasi antarawilayah dan instansi, kurang disiplinnya pemerintah dan masyarakat, dan alasan lainnya.

Terkesan belum ada tindakan pembaruan yang dapat diupayakan guna meminimalisasi dampak banjir yang ternyata selalu melibatkan alam dan manusia.

Bila dilihat dari besaran kerugian, tampak ada peningkatan dari tahun ke tahun akibat bencana banjir. Apalagi banjir sudah menjadi kejadian menyeluruh di negeri ini.

Berdasarkan data Direktorat Pengairan dan Irigasi, Departemen PU, di seluruh Indonesia tercatat 5.590 sungai induk. Dari jumlah ini, 600 sungai induk berpotensi menimbulkan banjir di daerah rawan banjir seluas 1,4 juta hektare.

Jadi, potensi banjir memang sudah ada. Karena itu, sudah saatnya kita memiliki sikap menganggap banjir sekadar sebagai pengaruh alam, sehingga harus responsif dan antisipatif.

Ataukah kita menganggap banjir sebagai akibat pengaruh manusia terhadap alam, sehingga hal ini amat tergantung dari ketegasan pemerintah dalam menindak oknum yang melanggar dan mengeksploitasi hutan dan daerah resapan air.

Bagaimanapun, praktik korupsi dalam proses pembangunan yang sangat merusak lingkungan juga menjadi variabel penting terjadinya bencana alam.

Sebagai contoh, sangat mudah menghitung hasil produksi sektor kehutanan maupun properti komersial yang ditujukan untuk kegiatan ekspor, membuka lapangan kerja, dan tujuan pembangunan lain. Tetapi saat ini masih jarang terdengar kemampuan memperkirakan besarnya biaya riil dan nonriil akibat eksploitasi hutan dan daerah resapan air untuk properti komersial bilamana terjadi banjir.

Saat Ibu Kota dilanda banjir, sudah saatnya semua pihak merenungkan kerugian riil dan nonriil yang terjadi. Pemerintah harus ambil tindakan tegas untuk menghukum segala bentuk eksploitasi alam dengan mempertimbangkan siklus hidup alam dan masyarakat, selain terus-menerus membudayakan hidup ramah terhadap lingkungan.

Dengan demikian, antisipasi dan penanggulangan banjir harus dilakukan melalui pembangunan secara riil dan nonriil dengan menyediakan ruang yang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga tercipta hasil optimal. Kita semua tentu tidak ingin kerugian terus melonjak akibat banjir. (rofikoh.rokhim@bisnis.co.id)

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Rofikoh Rokhim
Ekonom Bisnis Indonesia
Keterangan Artikel

Sumber: Bisnis Indonesia

Tanggal: 11 Feb 07

Catatan:

Kerugian banjir tahun ini lebih rendah dari 2002

Oleh: Diena Lestari

Jumlah kerusakan dan kerugian pascabanjir di Jabodetabek berdasarkan dampak langsung maupun tidak langsung secara total mencapai Rp8,8 triliun, lebih rendah dibandingkan banjir pada 2002 sebesar Rp9,9 triliun.

Nilai total kerusakan sebesar Rp8,8 triliun tersebut terdiri dari kerugian langsung sebesar Rp5,2 triliun, di mana Rp4,5 triliun merupakan aset swasta/masyarakat dan sisanya adalah kerusakan dan kerugian dari aset pemerintah, termasuk BUMN dan BUMD.

Khusus pada dampak ekonomi/dampak tidak langsung sebesar Rp3,6 triliun yang di dalamnya tercakup klaim asuransi. Klaim ini dilakukan dalam kurun waktu 7-10 hari terjadinya banjir Jabodetabek.

Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menyatakan penilaian cepat terhadap kerusakan dan kerugian tersebut dilakukan Bappenas dengan bantuan teknis dari UNDP.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Tim Bappenas yang berasal dari berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah wilayah Jabodetabek kerusakan dan kerugian tersebut mencakup sektor perumahan, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan sektor lainnya.
Kerusakan dan kerugian banjir Jabodetabek

Deskripsi                                 2002                               2007
Curah hujan                         361,7mm                          327mm
Waktu                     rata-rata DKI 10 hari          rata-rata Jabodetabek 6 hari
Korban                                     80 orang                 79 orang [12/2/2007]
Pengungsi                           381.000 orang              590.407 [6/2/2007]
Dampak                     Langsung  Rp5,4 triliun    Langsung Rp5,2 triliun
Ekonomi Rp4,5 triliun     Ekonomi Rp3,6 triliun
Total                               Rp9,9 triliun                      Rp8,8 triliun
Sumber: Bappenas

“Untuk sektor perumahan, kerusakan dan kerugian mencapai Rp1,13 triliun,” katanya kemarin.

Nilai ini berdasarkan asumsi kerusakan yang terjadi di DKI Jakarta mencapai Rp695,7 miliar, Jawa Barat Rp410,5 miliar, dan Banten mencapai Rp23,2 miliar.

Kerusakan dan kerugian di sektor infrastruktur mencapai Rp854 miliar. Nilai ini berasal dari kerusakan dari sektor transportasi darat sebesar Rp601,3 miliar, energi Rp198,3 miliar, pos dan teleko-munikasi Rp18 miliar, air dan sanitasi Rp17,4 miliar, dan infrastruktur pertanian sebesar Rp18,6 miliar.

Pada sektor ekonomi produktif seperti industri, pasar, dan pedagang kaki lima yang terganggu karena terendamnya pabrik mencapai Rp2,9 triliun.

Kerugian ini sebagian besar dialami oleh industri besar seperti otomotif dan elektronik, tekstil, dan mebel. Untuk kerusakan dan kerugian pada sarana sosial dan sektor lainnya tidak tercatat secara rinci.

Turunkan PDRB

Paskah menginformasikan khusus untuk wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang, dampak banjir secara signifikan berpotensi menurunkan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) di wilayah Bodebek sebesar 1,33%, dan Tangerang sebesar 2,62%. Hal ini karena wilayah tersebut sangat bergantung pa-da sektor industri pengolahan.

“Untuk perekonomian DKI Jakarta diperkirakan tidak be-gitu menurun karena kontribusi terbesar terhadap PDRB di wilayah ini berasal dari sektor keuangan dan jasa,” katanya.

Diena Lestari, Bisnis Indonesia.

Sumber: Bisnis Indonesia
Dampak banjir terhadap kredit perbankan

Oleh: Dedy Ihsan & Tri Prasetyo HN

Banjir yang terjadi di Jakarta awal bulan ini telah memberi dampak negatif paling parah dan lama dibandingkan dengan banjir yang pernah ada dan melanda Jakarta selama ini.

Banyak yang percaya bahwa banjir besar ini merupakan siklus lima tahunan, setelah sebelumnya terjadi pada awal Februari 2002. Efek yang diakibatkannya juga hebat.

Namun, nampaknya tidak banyak pelajaran yang diambil dari akibat banjir-banjir terdahulu, bahkan ruang kosong yang tersisa di Jakarta semakin sedikit, sehingga tidak cukup lahan lagi yang tersedia untuk menyerap air hujan.

Di Bogor juga sama saja, di puncak bukit telah banyak berdiri bangunan. Kondisi ini memudahkan terjadinya longsor dan banjir pada musim hujan. Karena Bogor berada di ketinggian, jelas kawasan ini akan mengalirkan air hujan yang tidak terserap tanah ke Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya, hujan yang tidak terlalu lama pada 2 Februari lalu telah membuat 60% wilayah Jabodetabek tenggelam.

Patut diketahui bahwa 90% dari kerugian yang berhubungan dengan bencana alam diakibatkan oleh banjir. Dengan demikian, sudah selayaknya manajemen banjir di Jakarta dibuat secara khusus, agar banjir tidak terjadi berulang-ulang. Harapannya, efeknya tidak lagi memberikan kerugian ekonomi secara signifikan.

Bagi perbankan, manajemen banjir yang baik juga akan mengurangi potensi kerugian yang ditimbulkan dari pemburukan kualitas kredit (non performing loan/NPL), sebagai akibat dari tidak optimalnya operasional bisnis debitor.

Jika dihitung potensi kerugian yang ditimbulkan oleh banjir pada awal Februari yang lalu, dapat dilakukan simulasi perhitungan sebagai berikut. Dari kredit yang sudah disalurkan perbankan sampai November 2006 secara nasional adalah Rp761.563 miliar, di mana 40% di antaranya berada di Jabodetabek.

Sebagai akibat banjir tersebut, 60% Jakarta tenggelam, berarti equivalen sebanyak itu juga bisnis debitor yang menghadapi persoalan operasional. Dengan kata lain, sebanyak 24% (60% dikalikan 40%) debitor akan mengalami kesulitan cash flow untuk memenuhi kewajiban perbankannya.

Kemudian, karena 90% kerugian ekonomi disebabkan oleh bencana alam adalah kerugian yang diakibatkan oleh banjir, berarti sebesar 21,6% (90% dikalikan 24%) kredit yang ada di Jakarta berpotensi untuk menjadi bermasalah. Artinya, bank akan membukukan kerugian (biaya), karena pembentukan cadangan atas kreditnya.

Dalam rupiahnya adalah sekitar Rp164.498 miliar. Jika perbankan membukukan pencadangannya sebesar rata-rata 50% saja (kalau kredit dengan kolektibilitas macet, pencadangan biaya menjadi 100%), potensi kerugian adalah sekitar Rp80 triliun, suatu jumlah yang sangat fantastis. Selanjutnya, berapa kesempatan kerja yang hilang, baik yang permanen maupun untuk sementara.

Pada akhirnya, ini akan menciptakan multiplier effect, di mana sektor riil akan kembali terpuruk, terutama untuk yang di Jakarta. Padahal, sektor riil saat ini memang belum bangkit, terbukti absorbsi kredit oleh mereka rata-rata secara nasional baru sekitar 67%.

Restrukturisasi

Untuk mengantisipasi kerugian tersebut bagi pihak perbankan, restrukturisasi kredit harus dilakukan. Dan, restrukturisasi kredit ini harus dilakukan per masing-masing debitor, sesuai dengan kondisi usahanya dan proyeksi cash flow yang akan dihasilkan.

Memberlakukan skema restrukturisasi dengan sama rata merupakan suatu hal yang kurang mendidik. Misalnya, setelah kredit direstrukturisasi, tidak boleh dikategorikan lancar selama tiga tahun. Acuan baku yang diberlakukan Bank Indonesia (BI) secara umum harus menjadi pedoman.

Perlakuan seperti ini jauh lebih adil, karena ia tidak akan menimbulkan kecemburuan kepada debitor-debitor yang tetap tertib dan aktif membayar kewajibannya kepada bank, sekalipun usahanya dalam kondisi yang memprihatinkan.

Dalam kondisi seperti ini, bank harus aktif untuk menemukan alternatif restrukturisasi dan mencarikan jalan keluar. Di antara restrukturisasi yang ditawarkan adalah jangka waktu kredit yang lebih fleksibel, sesuai dengan kemampuan cash flow yang dimiliki.

Bila perlu pejabat bank memberikan advis manajemen kepada debitor, termasuk memberikan solusi atas sumber pendanaan baru dalam jangka pendek, seperti divestasi harta tetap yang kurang produktif. Atau mencarikan calon investor yang berminat untuk menanamkan modalnya pada usaha debitor dengan imbalan dan jaminan yang jelas.

Selanjutnya, bank juga dapat menawarkan pemberian suku bunga kredit yang lebih rendah kepada debitor yang sedang mengalami musibah banjir. Ini harus dilakukan dengan penuh perhitungan.

Strategi seperti ini hanya dapat dilaksanakan jika ada penghematan yang diperoleh dari selisih antara biaya pengurangan suku bunga dengan pembentukan biaya pencadangan kreditnya. Dalam kondisi ini, posisi pihak bank masih lebih baik.

Namun, harus disadari bahwa pemberian suku bunga ringan tidak diberlakukan untuk selama jangka waktu restrukturisasi, tetapi hendaknya disesuaikan dengan peningkatan cash flow usaha debitor.

Selanjutnya, untuk kewajiban bunga yang tertunggak dapat ditunda pembayarannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan debitor. Kewajiban seperti ini tidak boleh dinihilkan, karena ia merupakan sumber pendapatan bagi bank.

Dengan adanya restrukturisasi kredit, diharapkan debitor dapat menerima beberapa insentif kemudahan dalam pembayaran kreditnya, salah satunya seperti yang telah diterangkan di atas.

Artinya, pembayaran kewajiban debitor kepada bank akan lebih ringan untuk sementara waktu, di mana dalam jangka waktu tersebut akan terjadi peningkatan modal intern (internal capital growth) usaha debitor.

Diharapkan, pelan-pelan pada akhirnya, debitor kembali mampu untuk melakukan aktivitas skala bisnisnya seperti semula. Pada saat itulah, kemampuan untuk membayar kewajiban perbankannya akan meningkat seperti pada saat sebelum adanya musibah banjir.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Dedy Ihsan Manajer Senior Bank BRI &
Tri Prasetyo HN, Staf Senior Bank BRI
Sumber: Bisnis Indonesia,  13 Februari 07

Kerugian UKM akibat banjir Rp100,55 miliar

Oleh: Yeni H. Simanjuntak

Industri kecil & menengah di kawasan Jakarta, Tangerang, dan Bekasi menderita kerugian senilai Rp100,55 miliar akibat banjir yang merusak mesin peralatan, bahan baku, serta barang jadi.

Catatan Departemen Perindustrian (Depperin) menunjukkan kerugian terbesar dialami usaha konveksi yaitu Rp83,36 miliar atau 83,36% dari total kerugian, usaha tahu tempe merugi senilai Rp8,8 miliar, mebel Rp4,58 miliar, dan usaha kecil lainnya Rp3,81 miliar.

Depperin berencana memberikan bantuan rehabilitasi sarana produksi atau mesin peralatan kepada para pengusaha kecil dan menengah itu, sesuai dengan ketersediaan anggaran departemen tersebut.

Bantuan tersebut akan diberikan melalui kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda), Kementerian Koperasi & UKM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta perbankan.

“Pada tahap awal, Depperin melakukan pendataan detail terhadap jenis-jenis kerusakan yang dialami industri kecil menengah, bersama dengan Dinas Perindag di wilayah yang bersangkutan,” ujar Menperin Fahmi Idris di sela-sela kunjungannya ke sentra industri kecil menengah di kawasan Cipulir, Jakarta Selatan baru-baru ini.
Industri kecil menengah yang terkena banjir
Jenis usaha Jumlah
Tahu tempe 984
Konveksi 1.461
Mebel & kusen 118
Batu bata 5
Topi laken 30
Topi bambu 30
Makanan & minuman 2
Kulit kerang 2
Kotak karton & rotan 3
Boneka 45
Tas & dompet 10

Sumber : Departemen Perindustrian

Hasil survei Depperin menunjukkan 40 sentra industri kecil menengah menderita kerugian akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana banjir awal bulan ini.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Yeni H. Simanjuntak
Bisnis Indonesia
Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Pebruari

2 Komentar »

  1. […] sempat melumpuhkan Jakarta ada dampak ekonominya yang cukup luas. Dampaknya sampai terasa … Download BANJIR DAN EKONOMI – Aspek Ekonomi | BebasBanjir2015 | […]

    Ping balik oleh laporan hasil observasi bencana banjir | PDF Finder — Januari 8, 2015 @ 2:15 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.