BebasBanjir2015

Aspek Sejarah

Strategi Prof Dr H van Breen Menyelamatkan Jakarta dari Banjir

Kompas, Selasa, 5 Februari 2002

Oleh Paulus Londo

JAKARTA kembali berselimut banjir, fenomena tahunan sejak zaman purba. Banyak peninggalan sejarah membuktikan hal ini. Sejak itu pula, warga Jakarta selalu bergulat melawan ancaman banjir, dan hingga kini pergulatan itu belum berakhir.

Dari sudut geomorfologis, Kota Jakarta amat rentan terhadap ancaman banjir. Selain berada di dataran rendah, bahkan lebih rendah dari permukaan laut, Jakarta merupakan daerah aliran 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Daerah aliran 13 sungai juga menyebar merata di semua wilayah Jakarta. Di Jakarta bagian timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang. Di bagian tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Di barat ada Sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke.

Faktor tingginya curah hujan juga memberi sumbangan yang signifikan terjadinya banjir di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Demikian pula, ketidakdisiplinan pemerintah dan masyarakat memelihara lingkungan, melanggar tata ruang langsung maupun tak langsung ikut andil bagi terjadinya banjir.

Dalam sejarah, beberapa kali banjir melanda Jakarta dan merenggut korban jiwa dan harta benda penduduk. Di antaranya, tahun 1621, 1654, 1918 semasa pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan dalam beberapa dekade terakhir, banjir cukup besar terjadi tahun 1976 dan 1996, menelan puluhan korban jiwa.

Ironisnya, meski banjir bagi Jakarta sudah menjadi ancaman tahunan, namun belum ada langkah strategis untuk mengatasinya secara terpadu dan menyeluruh. Yang tampak hanya pendekatan kuratif situasional dan sesaat. Bahkan kalau muncul gagasan-gagasan preventif, sifatnya cenderung parsial.

Kenyataan ini jelas amat berbeda dengan sikap penguasa kolonial Belanda yang menaruh perhatian serius terhadap upaya pencegahan banjir, sebagaimana tampak pada konsep yang disusun Prof H van Breen dan kawan-kawannya. Bahkan lebih dari itu, buah pikiran van Breen dan kawan-kawan, hingga kini masih relevan untuk dijadikan acuan bagi upaya pencegahan banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Strategi Herman van Breen

Salah satu tokoh yang amat lekat dengan sejarah perjuangan Jakarta mengatasi banjir adalah Prof Dr H van Breen. Kiprah perannya saat ditugaskan oleh “Departement Waterstaat” memimpin “Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir” secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 Ha. Penugasan itu diterimanya setelah Kota Batavia di tahun 1918 (sebutan untuk Jakarta saat itu) terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa.

Setelah mempelajari dengan saksama berbagai aspek penyebab banjir, H van Breen dan Tim menyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup spektakuler saat itu. Tak dapat disangkal, prinsip-prinsip pencegahan banjir itu lalu dijadikan acuan pemerintah dalam mengatasi banjir di Jakarta.

Konsep van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, namun perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai “Banjir-Kanal” yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke.

Penetapan Manggarai sebagai titik awal karena saat itu, wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan.

Banjir Kanal itu mulai dibangun tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal dilengkapi beberapa “Pintu Air”, antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru).

Dengan adanya Banjir Kanal, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur-alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota.

Kopro banjir

Konsep H van Breen lalu menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta yang ada di luar area banjir kanal, Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius.

Celakanya, akibat keterbatasan dana, Pemerintah Daerah hampir tak berdaya mengatasinya. Pemerintah pusat pun turun tangan. Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk “Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta”, disingkat “Kopro Banjir”, sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta.

Dalam mengatasi banjir, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun H van Breen dan kawan-kawan. Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu. Karenanya, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain: (a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya; (b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur; (c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.

Modifikasi Master Plan 1981

Ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta menyusun Rencana Induk Jakarta tahun 1966-1988. Salah satu bagian penting dari rencana induk itu adalah Rencana Tata Ruang Kota Jakarta. Rencana Tata Ruang Kota ini lalu dijadikan acuan dalam penyusunan Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan tahun 1973 (karenanya disebut Master Plan 1973). Dalam master plan ini, sistem yang dianut lebih bersifat pengembangan konsep Herman van Breen yang disesuaikan dengan kondisi fisik Jakarta yang telah banyak berubah dan rencana pengembangannya ke depan.

Oleh karena itu, rencana pembangunan saluran kolektor jadi prioritas dalam Master Plan 1973, sebagaimana tercermin pada langkah-langkah: (a) Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai “Cengkareng Drain”; (b) Membangun Saluran Kolektor di bagian Timur yang kemudian dikenal sebagai “Cakung Drain”, untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta memiliki tiga “banjir kanal”, masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota.

Sayang langkah-langkah itu belum juga mampu mengatasi ancaman banjir rutin setiap tahun. Bahkan intensitas ancamannya cenderung meningkat, setidaknya terlihat pada perkembangan luas area genangan di musim hujan. Karena itu, setelah melewati proses evaluasi, Master Plan 1973 akhirnya dimodifikasi. Sebab harus menyesuaikan dengan perkembangan kota, pelaksanaannya pun sering menghadapi kendala tingginya biaya pembebasan tanah.

Konsep hasil modifikasi itu lalu dikenal sebagai “Modifikasi Master Plan 1981”. Hal-hal pokok dalam konsep modifikasi ini antara lain adalah: (a) Banjir kanal yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke; (b) Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah; (c) Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol; (d) Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart; (e) Pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa); (f) Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali.

Pencegahan di wilayah hulu

Dalam menyusun konsep H van Breen dan kawan-kawan, tampak sadar bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola terpadu.

Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah hulu, dibangun dua bendungan yakni: Bendungan Katulampa di Ciawi, dan Bendungan Empang di hulu Sungai Cisadane.

Untuk mengalirkan air dari Bendungan Katulampa dibangun saluran yang kini dikenal sebagai saluran Kalibaru Timur yang letaknya sejajar dengan ruas Jalan Raya Bogor. Saluran ini bermuara di Kali Sentiong dan berakhir di Muara Ancol. Sedangkan untuk aliran air dari Bendungan Empang dibangun saluran Kalibaru Barat yang letaknya sejajar dengan Jalan Citayem-Depok-Lenteng Agung hingga Jalan Saharjo, dan bermuara di Banjir Kanal dekat Pintu Air Manggarai.

Tantangan ke depan

Tulisan ini sengaja mengungkap kembali karya H van Breen dan kawan-kawan untuk menjelaskan betapa keseriusan Pemerintah Kolonial Belanda menyelamatkan Jakarta dari ancaman banjir. Dan hal ini mereka tunjukkan melalui langkah-langkah fundamental hingga masih terasa relevan hingga saat ini.

Sungguh suatu ironi, pemikiran dan karya-karya besar seperti itu, justru tak tampak lagi setelah Indonesia merdeka. Bahkan cenderung mengalami kemunduran berpikir, sebab yang tampak menonjol adalah kegemaran berpolemik tanpa mengenal ujung pangkal masalah.

Kalaupun masih sedikit tersisa perhatian terhadap pencegahan banjir, sifatnya pun tak lebih merupakan langkah tambal sulam, sektoral, dan minimalis. Akibatnya Jakarta makin tak aman dari gangguan banjir. Kenyataan ini tentu amat memalukan bagi DKI Jakarta, yang dihuni ribuan ilmuan dan ahli-ahli teknik.

Guratan kepiluan kian terasa bila melihat kurangnya perhatian pemerintah dan DPRD DKI Jakarta terhadap pencegahan banjir. Hal ini dengan jelas tergambarkan pada: (1) Pada kurangnya alokasi anggaran untuk pencegahan banjir; (2) Inkonsistensi pelaksanaan rencana tata ruang, diskontinuitas program pengendalian lingkungan; (3) Rendahnya kualitas disiplin masyarakat dalam memelihara kebersihan sungai dan saluran-saluran air.

Semua kenyataan ini tentu kian menegaskan, Jakarta di hari ini dan di masa datang adalah Jakarta yang tetap dalam ancaman banjir, dengan berbagai dampaknya yang kian serius.

* Paulus Londo, Sekretaris LS2LP.
Sumber: Kompas, Selasa, 5 Februari 2002

Warisan Batavia untuk Jakarta

“Lantaran Pedjambon ada tempat jang paling renda, maka ampir semoea roema soeda kamasoekan aer. Ada jang sewates dada dan ada jang sewates pinggang. Pendoedoeknja semoea telah mondok di gredja, sedang tempat itoe didjaga oleh politie, soepaja tida ada orang djahat jang dateng babena waktoe roema itoe ditinggal kosong…”.

(Sin Po, 19 Februari 1918)

Kees Grijns dan Peter JM Nas melukiskan Jakarta ibarat kota yang sedang bergegas. Sejak dibangun oleh JP Coen sebagai sebuah kota bernama Batavia pada 1619, begitu banyak perubahan luar biasa yang terjadi. Lebih-lebih menjelang akhir abad ke-20. Ditandai pembangunan berbagai infrastruktur perkotaan dan gedung-gedung menjulang, Jakarta pun tumbuh bagai gurita.

Struktur fisik Batavia yang dirancang berdasarkan peta Simon Stevin sebagai jiplakan kampung halaman mereka di Belanda kala itu kini atmosfernya sudah berubah total. Jakarta sudah kian melebar dan serakah. Jika dulu atmosfer pedesaan dalam struktur penggunaan lahan masih menjadi ciri khas Batavia, Jakarta masa kini adalah hutan beton yang hanya sedikit menyisakan ruang-ruang hijau terbuka.

Akan tetapi, menyangkut infrastruktur yang terkait penanganan tata air perkotaan, Jakarta sesungguhnya seperti jalan di tempat. Infrastruktur pengendalian banjir yang ada saat ini, misalnya, sebagian besar adalah warisan dari masa lampau. Saluran air yang digagas oleh ahli tata air Herman van Breen untuk melindungi kawasan kota dari banjir, yang kini dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat (1919-1920), adalah salah satunya. Karya Van Breen itu hingga kini pun masih tetap dijadikan tumpuan harapan dalam penanganan banjir di Ibu Kota meski sasarannya ketika itu jelas bukan untuk Jakarta yang sudah begitu sarat beban seperti sekarang.

Bagaimanapun, meminjam ungkapan Grijns (1924-1999) dan JM Nas dari Universitas Leiden, Belanda, seluruh tahap perkembangan yang dilalui oleh sebuah kota tetap meninggalkan jejak pada struktur morfologisnya. Tak terkecuali Jakarta.

Ketika pertama dibangun, Jakarta yang kala itu masih bernama Batavia memiliki sebuah sistem kanal segi empat, menyerupai tata letak Amsterdam di Belanda saat itu. Namun, sistem ini ternyata tidak sepenuhnya membawa manfaat. Dalam beberapa hal, ia justru menimbulkan persoalan baru. Selain kapasitasnya yang terbatas menyebabkan keberadaan sistem kanal ini gagal menjadi sarana pengendali banjir, kondisi kanal yang tak higienis juga berakibat munculnya berbagai sumber penyakit.

Sejarah yang berulang

Sungguh ironis! Berbagai infrastruktur yang diwariskan oleh pemerintah kolonial tersebut bukan saja terbukti tidak mampu menangkal banjir Jakarta masa kini, pada saat itu pun sebetulnya keberadaan berbagai infrastruktur berupa kanal-kanal tersebut tidak mampu menghalangi ancaman banjir di Batavia.

“Sistem kanal dalam fungsinya sebagai infrastruktur pengendali banjir di Jakarta, dari dulu hingga sekarang, adalah salah satu contoh sistem penataan kota yang gagal,” kata Restu Gunawan, kandidat doktor sejarah pada program Pascasarjana Universitas Indonesia, yang kini tengah mempersiapkan disertasi tentang seputar sejarah banjir di Jakarta.

Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun, lengkap dengan sistem kanalnya, tahun 1621 adalah catatan pertama dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar. Di luar banjir-banjir kecil yang hampir tiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918 (ketika wilayah Jakarta sudah semakin melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sari, dan Kampung Tambora) banjir besar kembali datang menerjang Jakarta.

Banjir yang melanda Jakarta pada Februari 1918 tercatat paling besar dalam sejarah banjir di pusat pemerintahan Hindia Belanda ini. Koran Sin Po edisi 19 Februari 1918 mencatat, hampir seluruh Jakarta digenangi air.

Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkian, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa. Begitu pun di Angke, Pekojan, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulir di samping Kali Gunung Sari, serta Pejambon, air juga merendam rumah- rumah penduduk “boemipoetera”. Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian.

Tahun-tahun setelah itu, bahkan setelah pemerintah Hindia Belanda selesai membangun saluran air yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat, dari kliping-kliping koran atau majalah pada masa itu terlihat bahwa hampir tiap tahun Jakarta kebanjiran. Satu situasi yang sebelumnya diakui Van Breen bahwa kehadiran fasilitas pengendali banjir tersebut memang tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir.

Apabila hanya mengandalkan Banjir Kanal Barat dan pintu air Manggarai, yang terjadi adalah pengalihan wilayah banjir. Jika sebelumnya banjir melanda kawasan Weltevreden dan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sehingga banjir pun berpindah ke daerah Manggarai dan Jatinegara.

Kekhawatiran itu memang akhirnya jadi kenyataan. Tahun 1923, misalnya, Bintang Hindia (De Maleisce Revue) edisi 17 Februari, Th II, No 7, melukiskan suasana banjir di Betawi pada musim hujan kala itu. Adapun banjir pada tahun 1932 direkam oleh Pandji Poestaka edisi Januari, lewat dua laporan mereka bertajuk “Moesim Bandjir” serta “Moesim Hudjan dan Bandjir”.

Van Breen tidak bohong. Sebab, keberadaan Banjir Kanal Barat yang ada sekarang dan pintu air utama di Maggarai hanya “bagian kecil” dari keseluruhan sistem yang ia rancang. Kanal yang ada itu idealnya diteruskan lagi ke arah barat kemudian membujur ke utara sehingga benar-benar bisa melindungi Batavia dari ancaman banjir dari selatan

“Selain itu, Van Breen juga merancang adanya terusan di ’lingkar luar’ Banjir Kanal Barat, yang sekarang mungkin melingkari hingga kawasan Pasar Minggu. Tetapi, gagasan ini tidak jalan. Adapun pemikiran Van Breen terkait pembuatan terusan di timur baru digaungkan kembali tahun 1970-an dan sekarang baru akan direalisasikan,” ujar Restu Gunawan.

Banyak orang lupa bahwa sistem kanal hanya sebagian dari gagasan Van Breen. Ia juga menyodorkan pemikiran perlunya sistem polder. Kawasan rawa di sepanjang pantai utara Jakarta mesti dikelilingi tanggul, kemudian airnya dipompa ke luar melalui parit-parit sampai kering. Ini pun tidak terwujud.

Terlepas dari itu semua, dilihat dari perspektif sejarah, tampaknya banjir sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Jakarta. Ketika ia masih bernama Batavia, ketika jumlah penduduknya masih dalam hitungan ratusan ribu jiwa, dan ketika ruang-ruang terbuka masih terhampar luas—sementara di kawasan puncak kondisi lahan relatif belum separah sekarang—toh, banjir juga menjadi peristiwa rutin. Ketika kita gagal menjaga warisan budaya masa lampau berupa bangunan-bangunan bersejarah, di belahan lain ternyata kota ini justru dipaksa mewarisi sisi kelam Batavia yang hitam: banjir!

Boleh jadi, sudah saatnya warga Jakarta mengubah paradigma berpikirnya bahwa mereka kini sudah tinggal di “bawah air”. Dengan begitu, tentunya juga menuntut perubahan perilaku dalam memperlakukan alam dan lingkungan sekitarnya. (aik/ken)

Sumber: Kompas, 10 November 2007, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0711/10/Fokus/3981749.htm

Banjir Batavia, Banjir Kanal dan Van Breen,,,

Restu Gunawan

Banjir datang lagi! Jakarta bagaikan pulau yang terkurung air. Ketika banjir datang, seperti biasa para pejabat sibuk mencari alasan dari mulai belum selesainya banjir kanal timur, curah hujan yang tinggi, pembangunan villa di Puncak yang tidak terkontrol sampai kebiasaan masyarakat yang buruk. Sementara masyarakat sibuk menyalahkan pembangunan perumahan baru yang tidak terkontrol, seolah bagaikan lingkaran yang tidak ada ujungnya.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan Batavia (baca Jakarta) 89 tahun yang lalu. Pada waktu banjir tanggal 19 Pebruari 1918, kala itu hampir seluruh Jakarta kebanjiran. Diantaranya Straat Belandongan, Kali Besar Oost, Pinangsia, Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grogol, Kebon Jeruk, Kampung Tambora, Suteng, kampung Klenteng Kapuran, kampung Tangki, Petaksinkian, Mol belakang penjara Glodok sampai terus ke kampung Pinangsia, air rata-rata setinggi dada. Selain itu juga Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit disamping kali Gunung Sari, Angke, Pekojan dan lain-lain. Jakarta bagaikan lautan air. Selain itu di Jakarta pada waktu juga sedang dilanda wabah kholera, setiap hari ada sekitar 6 – 8 orang masuk rumah sakit.

Melihat kondisi seperti itu gemeenteraad Batavia (baca DPRD) langsung mengadakan sidang paripurna pada tanggal 19 Pebruari 1918, jam 19.15. Dalam rapat tersebut hadir walikota Bischop dan 14 anggota DPRD. Selain itu hadir pula Herman Van Breen, ahli tata air Jakarta. Dalam rapat tersebut anggota Schotman mencecar beberapa pertanyaan kepada walikota apakah sudah disalurkan bahan makanan dan obat-obatan di tempat pengungsian yang terletak di Pasar Baru, gereja Katedral dan sebelah barat Molenvliet. Selain itu dalam kesempatan tersebut Van Breen juga ditanyakan apakah jika banjir kanal sudah selesai dapat mengatasi banjir? Breen mengatakan tidak menjamin bahwa ketika banjir kanal selesai Jakarta akan terbebas dari banjir, dan ternyata itu benar karena pada tahun-tahun berikutnya Jakarta masih kebanjiran. Karena sebenarnya banjir kanal dan keberadaan pintu air Manggarai hanya merupakan pengalihan wilayah banjir. Banjir yang tadinya biasa melanda daerah Weltevreden dan Menteng beralih ke daerah Manggarai dan daerah Jatinegara. Karena memang proyek banjir kanal dan pintu air Manggarai yang sudah terletak di luar kota, diprioritaskan untuk menanggulangi banjir wilayah Jakarta yang luasnya hanya 162 km2.

Jika hal ini dikaitkan dengan kondisi sekarang, maka yang dikatakan oleh Van Breen sama dengan yang dikatakan oleh para pejabat yang ada sekarang. Pembangunan banjir kanal timur yang sudah diwacanakan sejak tahun 1970-an dan baru selesai sekitar tahun 2008 artinya hampir 40 tahun baru dapat direalisasikan, juga tidak menjamin Jakarta bebas banjir. Karena wacana Banjir kanal timur pada waktu itu, kondisi Jakarta sudah banyak perubahan. Terutama dalam penggunaan tata guna lahan, sekarang Jakarta sudah dikepung oleh kota-kota penyangga di sekitarnya, tentu hal ini telah menutup wilayah kedap air dan akhirnya ketika hujan turun maka air akan langsung menjadi aliran sungai dan tidak meresap kedalam tanah. Sehingga wilayah banjir sudah semakin luas dan semakin ke selatan, di luar Bekasi dan Tangerang. Dalam banjir 2 Pebruari 2006, wilayah paling banyak dilanda banjir adalah wilayah Jakarta Selatan yang meliputi 9 wilayah, Jakarta Timur 8 wilayah, Jakarta barat 7 wilayah,

Jakarta Utara 6 wilayah dan jakarta Pusat 3 wilayah, selain itu juga wilayah Bekasi dan Tangerang (Kompas, 3 Pebruari 2007). Di lihat dari itu banjir kanal yang dibangun oleh Van Breen memang berhasil melindungi wilayah Jakarta Pusat. Dalam “Masterplan Jakarta 1965 – 1985” itupun orientasinya sebagian besar masih untuk melindungi daerah Jakarta Pusat. Sedangkan banjir kanal timur sebagian besar untuk melindungi wilayah bagian timur. Banjir kanal timur hanya mampu menanggulangi banjir untuk sementara waktu saja, jika tidak diikuti penataan air dengan cakupan lebih luas. Untuk itu sudah waktunya dipikirkan untuk membangun kanal atau waduk penampungan yang berada di luar di wilayah Jakarta atau selatan Jakarta. Hal ini berguna untuk mengendalikan air yang masuk Jakarta diwaktu musim hujan maupun musim kemarau. Sudah tidak waktunya lagi jika hanya menyalahkan pembangunan villa di Puncak, karena terbukti bahwa pada waktu banjir tanggal 2 Pebruari 2007, pintu air di Katulampa masih dalam kondisi normal, itu artinya penyebabnya adalah daerah di bawah kawasan Puncak.

Banjir memang sudah terjadi dan rupanya itu sudah menjadi langganan bagi penduduk Jakarta yang katanya dulu disebut Queen from the east. Masyarakat seolah tidak berdaya menghadapi banjir. Pemerintah seolah-olah juga begitu, air surut dan penduduk kembali ke rumah masing-masing maka bahaya air juga sudah dilupakan sampai musim banjir tahun berikutnya. Untuk itu apa yang mesti dilakukan sebagai masyarakat di tengah-tengah suasana banjir, maka masyarakat harus menyiapkan dirinya sendiri menghadapi banjir. Seperti yang dilakukan oleh penduduk di daerah Bukit Duri ketika banjir datang. “Bantuan Tak datang, Warga bentuk satgas” (Kompas, 3 Pebruari 2008) dalam kondisi seperti ini diperlukan sikap kedermawanan dari masyarakat lainnya. Sudah waktu social capital yang ada di masyarakat dipupuk terus untuk membantu masyarakat lain. Ada beberapa yang dapat diberdayakan untuk membantu warga masyarakat dari mulai lembaga swadaya masyarakat, pribadi-pribadi dan juga partai politik.

Partai Politik sudah waktunya memberi pembelajaran kepada masyarakat untuk segera bergerak memberi bantuan kepada masyarakat. Partai politik jangan hanya sibuk diwaktu setahun sebelum dan sesudah pemilu. Sekarang inilah dibuktikan peranan partai ketika jauh dari waktu pelaksanaan pemilu.

Kalau penduduk Jakarta pada waktu banjir tahun 1918 saja sibuk dengan memberikan bantuannya berupa bahan makanan, obat-obatan dan tempat pengungsian, dan juga mendirikan Smerofonds sebuah yayasan yang bergerak untuk membantu masyarakat yang terkena banjir dibentuk tahun 1916 diketuai oleh De Nijs Bik. Maka sikap filantrophi harus ditumbuhkembangkan oleh segenap masyarakat.

Karena tanpa penanganan tata air di Jakarta yang lebih baik, maka banjir Jakarta hanya akan menjadi bahan tertawaan untuk menyindir diri sendiri yang tidak mampu berbuat banyak dalam menghadapi fenomena alam, seperti yang dilakukan oleh Benyamin S dengan lagunya “Kebanjiran”.

Restu Gunawan, Mahasiswa S3 Jurusan Sejarah UI dan Pegawai Dep Budpar
Sumber: Kompas; 5 Pebruari 2007

Dulu banjir, sekarang juga banjir

oleh : Algooth Putranto

Sampai hari ini Jakarta masih berdenyut lemah, karena banjir mengepung kota. Banjir tahun ini melengkapi catatan bencana banjir di kota ini yang terentang mulai tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, dan 2002.

Data geomorfologi menunjukkan Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai yang berusia 5.000 tahun. Bentang alamnya didominasi dataran, sungai, rawa pantai dan sungai, hingga genangan laguna.

Tak aneh jika kota dengan luas 65.000 hektare ini secara alami rawan terhadap genangan dari pasang air laut di utara dan limpasan banjir dari pegunungan di selatan.

Terdapat 13 sistem daerah aliran sungai (DAS) melewati kota ini dan bermuara di Teluk Jakarta, yang berpotensi menggenangi 40% atau sekitar 24.000 hektare daratan rendah yang memiliki ketinggian 1 hingga 1,5 meter di bawah muka laut pasang.

Gejala genangan didukung jenis tanah hasil bentukan endapan sungai dan pantai yang didominasi tekstur liat berdebu hingga lempung berdebu yang memiliki kemampuan serap air yang rendah dan mudah jenuh.

Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) bukan tak sadar dengan kondisi ini. Gubernur Jenderal VOC pertama, Peter Both, justru sengaja memilih kota yang dulu bernama Sunda Kelapa atau Jayakarta ini menjadi pusat administrasi dan perdagangan mereka.

Alasan Both, kota yang kemudian diubah menjadi Batavia itu strategis sebagai kota pelabuhan sedangkan sungai-sungai yang melintas selain menjadi akses transportasi air juga merupakan benteng alami.

Visi itu diteruskan Jan Pieters Zoon Coen yang sukses membentuk Batavia pada 1621. Hanya berselang bulan, banjir besar mengepung kota kecil yang mulai dipotong oleh banyak parit itu.

Meski VOC berhasil menundukkan Mataram, air tak kunjung mengalah. Banjir besar lagi-lagi mengurung Batavia empat tahun setelah kota itu genap dibangun pada 1650.

Namun arsitek Belanda tak menyerah, drainase tambahan dibangun. Hasilnya banjir baru mampir pada 1918. Bencana itu membuat DPRD Batavia memanggil Wali Kota Bischop dan ahli tata air Herman van Breen.

Dari pertemuan itu didapatkan kata sepakat membangun sistem Banjir Kanal Barat (BKB) untuk membuang limpahan air Sungai Ciliwung, Kali Krukut dan Kali Baru Barat ke wilayah Manggarai dan Jatinegara yang belum dihuni orang dan menghindarkan Jakarta Pusat dari kepungan banjir.

Hasilnya sukses. Batavia bebas banjir hingga 50 tahun ke depan sampai Belanda kalah perang. Republik Indonesia berdiri Batavai berubah nama menjadi Jakarta hingga terjadi peristiwa G30S PKI yang gagal.

Bang Ali

Gubernur Ali Sadikin menjadi orang pertama di zaman Orde Baru yang sukses membebaskan Jakarta dari banjir berkat program pembersihan, pemeliharaan dan pembangunan saluran air yang dananya diambil dari hasil judi legal di kota itu sampai meletakkan jabatan pada 1977.

Penggantinya, Tjokropranolo gagal meneruskan prestasi itu. Ibu Kota dikepung banjir tiga tahun kemudian. Untung, Bang Nolly (panggilan Tjokropranolo) cepat sadar.

Dia meneruskan program Bang Ali. Selanjutnya, langkah Bang Nolly diteruskan Soeprapto dan Wiyogo Atmodarminto.

Duitnya? Lagi-lagi dari judi!

Tepat dua tahun setelah izin judi Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) dicabut pada 1994, Jakarta yang dipimpin Soerjadi Sudirja tak kuasa menahan gempuran banjir besar karena kurang duit.

Bencana pada 1979 dan 1996 sebetulnya sudah diprediksi orang-orang Ali Sadikin, sehingga dibuat Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta 1972-1973 yang merencanakan untuk membangun sistem Banjir Kanal Timur (BKT).

BKT dimaksudkan untuk menampung limpasan air Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Sayang rencana ini terkatung-katung hingga saat ini alasannya klasik mulai dari kesulitan pendanaan hingga pembebasan tanah.

Seperti pendahulunya, tak punya cukup dana taktis membuat Sutiyoso kerepotan. Bisa diduga banjir pun mengepung pada 2002 dan diteruskan tahun ini.

Secara garis besar, jelas terlihat strategi penanganan banjir di Jakarta sebetulnya masih berkiblat pada Belanda sebagai arsitek kota ini.

Namun, benarkah Negeri Kincir Angin itu sukses menundukkan banjir dari laut dan sungai dengan sistem polder terpadunya?

Belanda seperti halnya Jakarta selain memiliki topografi serupa juga sulit untuk mengharapkan air hujan bisa diserap seluruhnya oleh hutan di wilayah hulu. Satu-satunya cara adalah mengakali alam dengan teknologi dan konsisten dengan keputusan itu.

Delta Plan Belanda

Sadar Belanda rentan banjir, sejak pada 1937 Rijkswaterstaat (Dinas PU urusan pengairan) merencanakan proyek polder raksasa Delta-Plan sepanjang 700 km, terpanjang di seluruh Eropa.

Proyek ini akan menyekat mulut-mulut sungai besar a.l Western Schelde, Eastern Schelde, Haringvliet, dan Brouwershavense Gat.

Proyek ambisius karena tak hanya membuang limpahan run-off dan menahan hempasan ombak atau air pasang, tetapi mengeringkan 150.000 hektare dasar laut.

Lalu proyek itu juga menjadi penyedia air bagi jaringan transportasi air, sumber air bersih untuk kemudian dikembangkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Ombak dan arus Pasang-Surut.

Namun, kebutuhan finansial yang sangat besar membuat rencana ini hanya sebatas angan. Hingga kemudian banjir besar pada 1953 melanda negara itu. Ratusan jiwa melayang, ribuan orang mengungsi, ladang dan peternakan hanyut dilibas kekuatan air.

Warga negeri yang besarnya hanya seperempat Pulau Jawa dan separuhnya di bawah permukaan laut itu bertekad melawan ganasnya alam, akhirnya diputuskan Delta-Plan dimulai 1958.

Seperempat abad

Butuh seperempat abad untuk menyelesaikan proyek itu termasuk proyek pendamping seperti memperkuat dan membangun tanggul-tanggul, pintu-pintu air dan jembatan beton di wilayah daratan.

Seluruh proyek akhirnya selesai pada 1986, menghabiskan dana tak kurang dari 2,5 miliar euro. Hasilnya bisa dinikmati anak cucu mereka, tak hanya dalam bentuk fisik tapi juga ilmu pengetahuan tentang tata bangunan air yang diekspor ke mana-mana.

Salah satu pengguna teknologi polder terpadu Belanda adalah kawasan Pantai Indah Kapuk yang terletak di bibir pantai utara Jakarta bersebelahan dengan muara sungai Cengkareng.

Teknologi polder PIK didesain Witteven and Bos Indonesia. Seperti di tempat asalnya sistem bendungan itu selain sebagai penahan hempasan gelombang laut atau air dari Sungai Cengkareng juga menjadi akses jalan.

Pada 2002 dan 2007, saat banjir besar melanda Jakarta saluran air sekunder dan tersier PIK tetap kering. Tiga pompa besar sistem di kawasan itu sukses mengendalikan debit air di saluran primer.

Belajar dari pengalaman panjang ini jelas terlihat Jakarta dituntut butuh visi besar, radikal, konsisten dan holistik agar terhindar dari bencana banjir di masa datang.

Pertanyaannya sanggupkah?

sumber: http://www.bisnis.com/ Kamis, 08/02/2007

Sejarah Penanggulangan Banjir Jakarta

Untuk menangani banjir, Provinsi DKI Jakarta telah membangun serangkaian Sistem Pengendali Banjir di Jakarta. Sistem Kawasan Pengendali Banjir dan Drainase di Jakarta yang diperkirakan akan bertahan sampai tahun 2010.

Tahun 1619
Jan Pieterrz Coen membangun Batavia dengan konsep kota air (waterfront city) dengan membuat sejumlah kanal seperti di Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda. Pembangunan kanal adalah untuk mencegah banjir.

1654
Banjir menggenangi Jakarta akibat Sungai Ciliwung meluas menyusul pembukaan hutan di kawasan Puncak yang dijadikan perkebunan teh.

1854
Berdiri badan khusus yang bertugas mengurusi banjir, yakni Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal bakal Departemen PU, yang sekarang bernama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

1873
Hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter.

1918
Banjir kembali melanda sebagian wilayah Batavia. Air menggenangi Straat Belandongan, Kali Besar Oost, Pinangsia, Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grogol, Kebon Jeruk, Kampung Tambora, Kampung Klenteng Kapuran, Kampung Tangki, Petaksinkian, belakang penjara Glodok, Pinangsia, Kali Gunung Sahari, Angke, Pekojan. Saat itu, Jakarta sedang dilanda wabah kholera, setiap hari ada sekitar 6–8 orang masuk rumah sakit.

Gemeenteraad Batavia (baca DPRD) mengadakan sidang paripurna pada pukul 19.15. Sidang dihadiri walikota Bischop dan 14 anggota DPRD. Hadir pula Herman van Breen, ahli tata air Jakarta yang memunculkan ide membangun Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur untuk mengatasi banjir. Tetapi Herman van Breen tidak menjamin pembangunan kanal dapat mengatasi banjir di Jakarta. Banjir kanal dan pintu air Manggarai hanya mengalihkan wilayah banjir.

1919-1920
Mulai dilakukan pembuatan Banjir Kanal dari Manggarai di kawasan Batavia Selatan sampai ke Muara Angke di pantai utara. Untuk mengatur aliran air dibangun Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet. Inti konsep ini adalah pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Termasuk juga disarankan adalah penimbunan daerah-daerah rendah. Gagasan ini muncul dari Prof H van Breen dari Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal bakal Departemen PU.

1965
Pemerintah pusat ikut membantu menangani banjir di Jakarta. Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk “Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta”, disingkat “Kopro Banjir”, sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta. Strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun H van Breen dan kawan-kawan. Hasil kerja Kopro Banjir itu antara lain: (a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Merehabilitasi sejumlah sungai di sekitarnya; (b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur; (c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.

1973
Disusun Master Plan Pengendalian Banjir yang kemudian dikenal sebagai Master Plan 1973. Prioritas dalam Master Plan 1973 adalah: (a) Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai “Cengkareng Drain”; (b) Membangun Saluran Kolektor di bagian Timur yang kemudian dikenal sebagai “Cakung Drain”, untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta memiliki tiga “banjir kanal”, masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota.

1975
Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, disusun “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta”. Berdasarkan rencana induk ini, (Soehoed: Dalam Membenahi Tata Air Jabotabek), pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang melingkari sebagian besar wilayah kota. Terusan itu akan menampung semua arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian-bagian hilir kota. Terusan itu sekarang dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Ini adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
Di dalam rencana induk itu dirancang sistem pengendalian dengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat. Kanal ini adalah perluasan terusan banjir peninggalan Van Breen, yang kemudian disebut sebagai Banjir Kanal Barat (BKB).

1979
Banjir melanda wilayah Jakarta Barat. Pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta berupaya mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang akan datang. Rencana perluasan Banjir Kanal Barat diganti dengan pembuatan jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada tahun 1983.

1983
Masterplan penanganan banjir tahun 1973 dimodifikasi dengan pokok konsep: (a) Banjir kanal yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke; (b) Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah; (c) Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol; (d) Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart; (e) Pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa); (f) Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali.

1991
Untuk mengatasi banjir di Jakarta secara menyeluruh, pemerintah kota Jakarta bersama Japan International Cooperation Agency melakukan penelitian “The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta”.

1996
Banjir besar melanda sebagian wilayah Jakarta.

1997
Pemerintah bersama Japan International Cooperation Agency kembali melakukan study menyeluruh untuk mengatasi banjir di Jakarta yang hasilnya kemudian dinamakan “The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek”.

2002
Banjir melanda sebagian wilayah Jakarta. Ini menjadi banjir besar pertama yang melanda Jakarta sejak kota ini didirikan pada awal abad 17. Banjir tidak hanya melumpuhkan kegiatan ekonomi, tetapi juga menggenangi Istana Negara.

2003
Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) dicanangkan dan ditargetkan bias rampung tahun 2010. Proyek yang saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 4,124 trilun akan membentang sepanjang 23,5 kilometer. Rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter, dengan kedalaman tiga meter. BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektar. Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.

2007
Banjir melanda sebagian wilayah Jakarta. Jakarta Selatan yang meliputi 9 wilayah, Jakarta Timur 8 wilayah, Jakarta barat 7 wilayah, Jakarta Utara 6 wilayah dan jakarta Pusat 3 wilayah. Sekitar 66 orang tewas dan kerugian ekonomi mencapi Rp8 triliun.

Sumber: siaga-bencana.com

Riwayat Banjir Jakarta

Oleh Alwi Shahab

Jakarta kini kembali dilanda banjir. Padahal curah hujan belum mencapai puncaknya. Baru sekitar Januari atau Februari mendatang. Di kedua bulan itulah biasanya curah hujan sangat tinggi. Apalagi bertepatan dengan tahun baru Cina alias Imlek. Bagi masyarakat Cina hujan di saat-saat Imlek diyakini akan membawa hokki alias rezeki. Laksana air yang ngocor dari langit, begitu sebagian pendapat mereka. Tapi tentu saja mereka tidak mengharapkan banjir saat Imlek yang juga tidak pernah luput menimpa kawasan China Town. Sayangnya banjir tahun ini diperkirakan bakalan lebih luas karena daya serap air tanah semakin rendah dan penyempitan sungai semakin parah. Di samping pemanasan global.

Tidak hanya itu, para pengembang juga dituding sebagai salah satu penyebab. Bila diingat 80 persen daratan Jakarta sudah dipadati bangunan. Padahal dalam Rencana Induk Jakarta 1965 – 1985 ruang terbuka hijau sebagai taman kota seharusnya 60 persen. Dulu, daerah Kebayoran Baru dan Menteng semasa gubernur Ali Sadikin hanya diperuntukkan bagi perumahan. Dari kedua kawasan di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, para pemukimnya pergi bekerja keluar. Kini kedua daerah itu berdiri perkantoran dan berbagai pusat bisnisyang membludak. Dulu kawasan Kuningan, Setiabudi dan Kemang merupakan pusat bisnis susu. Ratusan warga Betawi dengan mengayuh sepeda pagi dan sore mengantarkan susu yang dikemas dalam botol ke pelanggan-anggannya di Menteng, Cikini dan Kebon Sirih. Sementara warga Betawi berduit memelihara puluhan sapi untuk diperah susunya.

Jakarta yang terletak di dataran rendah, sejak zaman Kerajaan Taruma Negara sering dilanda banjir. Peristiwa yang terjadi 15 abad lalu itu sempat terekam dalam Prasasti Tugu, di Jakarta Utara yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta. Raja Purnawarman yang memimpin kerajaan ini, pernah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati di Tangerang) sepanjang 12 km untuk mengatasi banjir. Untuk menyukseskan proyek tersebut sang raja memotong seribu ekor sapi. Para sejarawan kemudian membuat perkiraan, bila satu ekor sapi dimakan 100 orang, maka penduduk yang ada di sekitar kawasan ini 15 abad lalu sudah ratusan ribu jiwa. Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan permukiman disusun berdasarkan prinsip keseimbangan ekologi. Karena itu rawa-rawa di pedalaman boleh diuruk untuk permukiman. Tapi Sang Raja melarang rakyatnya untuk menguruk rawa-rawa di pantai, karena merupakan kawasan resepan air.

Sayangnya, ratusan hektar kawasan hutan lindung dan resepan air di Kapuk Muara dan Pantai Indah Kapuk, yang dulu dilindungi kini disulap jadi hutan beton. Ekologi Jakarta juga semakin rusak sejak dibukanya Pluit dan Muara Karang menjadi wilayah permukiman. Padahal, semula kedua daerah itu merupakan daerah resepan air. Tidak heran, kalau dalam banjir 2002 lalu jalan tol Cengkareng menjadi lumpuh karena banjir. Anehnya, para konglomerat yang tidak betah melihat lahan konservasi itu terpelihara, tidak merasa bersalah atas kecerobahan ini. Padahal, perumahan-perumahan mewah yang mereka bangun juga diterjang banjir. Kalau sekarang 80 persen daratan Jakarta sudah dipadati bangunan, jangan heran kalau jumlahnya akan terus bertambah jika masalah lingkungan dan penghijauan tidak diperhatikan.

Ketika terjadi banjir besar bulan Februari 2007, sejumlah warga yang berdiam di bantaran sungai menolak ketika mereka hendak dipindahkan ke rumah susun yang akan dibangun Pemda DKI. Mereka menganggap banjir yang sudah menjadi langganan hampir tiap tahun akhir menjadi hal biasa. Mungkin situasinya agak berbeda, ketika Bang Ali di masa lalu melakukan penertiban terhadap penduduk bantaran sungai di Banjir Kanal. Dia telah memindahkan sekitar tiga ribu rumah pada daerah sepanjang 2,4 km di kedua sisi kanal.

Di zaman Belanda, bukan tidak pernah terjadi banjir. Banjir paling besar terjadi di Batavia tahun 1872, yang menyebabkan sluisbrug (pintu air) di depan Istiqlal sekarang, jebol. Akibatnya Harmoni, Rijswijk (Jl Veteran) dan Noordwijk (Jl Juanda) tidak dapat dilalui kendaraan. Demikian juga Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Banjir besar juga pernah terjadi di Jakarta pada 1932. Banjir yang terjadi pada 9 dan 10 Januari 1932 disebabkan oleh hujan yang turun selama dua hari dua malam dengan curah mencapai 150 mm. Akibat banjir ini mereka yang tinggal di Jl Sabang dan sekitarnya tidak bisa keluar rumah yang tergenang air. Banyak penduduk tinggal di atap-atap rumah menunggu air surut.

Dalam menangani banjir, pemerintah kolonial Belanda jauh lebih baik dari kita sekarang ini. Para lurah yang ketika itu disebut wijkmeester atau bek menurut dialek Betawi ditugaskan agar betul-betul mengawasi kebersihan. Mereka yang kepergok membuang sampah di sungai akan langsung dihukum. Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan perintah agar semua kali buatan dan kanal di dalam kota Batavia dibersihkan dari penduduk yang tinggal di bantarannya.

Beberapa waktu kemudian pembersihan kali dan penggalian kanal makin diperluas hingga ke luar kota (ke arah selatan). Kontrak pelaksanaan kerja pembersihan bantaran kali dan penggalian kanal-kanal biasanya dikaitkan dengan pembuangan sampah.

Orang Belanda sangat gemar menggali kanal-kanal. Selain untuk mengingatkan mereka ke negara asalnya, kali-kali buatan ini juga dibangun karena pertimbangan ekonomis-komersial. Kali-kali itu kemudian dijadikan sarana utama bagi angkutan dagangan untuk memasok barang ke Batavia dari arah selatan. Seperti lalu lintas di daratan, sampan dan perahu yang melewatinya harus berhati-hati agar tidak menabrak orang-orang yang tengah mandi, mencuci, dan buang air besar. Waktu itu ada kali-kali buatan yang jadikan seperti jalan tol. Mereka yang melewati harus membayar ongkos.

Kalau Belanda bertindak tegas terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai, dan menghukum mereka yang membuang sampah di sungai, kenapa tindakan semacam ini tidak dilakukan. Kalau kita mau meredakan banjir, baik banjir kiriman maupun banjir setempat, upaya pemeliharaan sungai sangat diperlukan.

Nopember 16, 2007 oleh alwishahab

Sudah Ada Sejak Zaman VOC ( Banjir Bagian II )

Oleh Alwi shahab

Selain kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, banjir di Jakarta juga banyak disebabkan oleh rusaknya kanal-kanal air di dalam kota. Kanal-kanal yang berubah fungsi membuat banjir sulit diatasi. Berikut adalah bagian pertama dari dua tulisan wartawan senior Republika, , yang mengenal betul sejarah kanal-kanal di Jakarta.

Pemerintah bertekad agar banjir seganas 2002 dan 2007 tidak akan terjadi lagi di masa-masa mendatang. Tiga provinsi yang paling berat terkena dampak banjir 2007, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, sepakat membangun parit-parit dan bendungan resapan air. Sementara para pengembang diwajibkan membangun ruang terbuka hijau sebagai tempat resapan air. Yang melalaikan kewajiban ini akan dikenai sanksi.

Pembangunan parit atau kanal dengan menyodet Sungai Ciliwung dan 12 sungai lainnya yang mengalir di Jakarta sebenarnya telah dilakukan VOC. Seperti dalam peta 1622, hanya tiga tahun setelah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen membangun Batavia, dia menggali tiga kanal tegak lurus di atas Sungai Ciliwung. Pendiri Kota Batavia ini menyadari kota yang dibangunnya di atas reruntuhan Kerajaan Jayakarta itu berada di rawa-rawa.

Penggalian kanal atau parit dimaksudkan untuk membantu pengeringan lahan, terutama pada musim penghujan dan meninggikan permukaan tanah, di mana kota akan dibangun. Rencana kota disesuaikan dengan posisi lahan. Kanal-kanal digali arah timur-barat sejajar satu sama lain dan bermuara di Ciliwung.

Karena Belanda ingin membangun kota seperti di negerinya, terutama Kota Amsterdam, kanal-kanal dinamakan dengan nama Belanda. Ketiga kanal yang dibangun sejak awal kekuasaan Belanda yang kini terletak antara Jakarta Kota-Pasar Ikan, diberi nama Tijgersgrach (Kanal Macan), Amsterdamgracht (Parit Amsterdam), dan Oude Kerkgrach (Kanal Gereja Lama). Tiga tahun kemudian, persisnya pada 1622, di selatan kastil yang kini daerahnya berada di sekitar Gedung Museum Bahari, Jakut, sudah ada kanal melintang selain tiga kanal tersebut. Parit atau kanal ini dihubungkan dengan parit Singa Betina oleh sebuah parit yang membujur arah utara-selatan, yaitu parit Harimau (kini merupakan Jl Raya Pos Kota di depan Museum Fatahillah), Jakbar.

Sebuah peta tahun tersebut memperlihatkan pada setiap kanal sudah ada jembatan, demikian pula dengan bangunan perumahan lainnya seperti dekat belokan Ciliwung. Di atas Ciliwung juga sudah ada jembatan yang menghubungkan kota bagian timur (Kalibesar Timur) dengan bagian barat (Kalibesar Barat).

Di samping terus mengembangkan kota ke arah selatan –sekarang di sekitar Jl Pangeran Jayakarta– penggalian-penggalian kanal terus dilakukan dalam jumlah besar dan lebih lebar. Menurut peta 1628 sampai 1632, selain untuk menangkal banjir, penggalian kanal dilakukan untuk mengamankan kastil yang kala itu menghadapi serangan-serangan para pejuang Islam dari Kerajaan Mataram, Banten, dan pengikut-pengikut Pangeran Jayakarta. Untuk itu, kompeni telah mencoba mengamankan kastil dengan barisan tiang-tiang atau pagar yang amat rapat.

Warga Cina yang kala itu mulai banyak berdatangan ke Batavia, terutama sebagai pedagang dan buruh perkebunan, diperintahkan bermukim di sebelah barat Ciliwung, sekitar Kalibesar Barat. Permukiman mereka dipagari dengan kayu setinggi 2,5 meter. Pada tahun 1634 Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer membangun gerbang Rotterdam (Rotterdampoort) dan tembok laut pemecah gelombang di muara Ciliwung (Pasar Ikan-Teluk Jakarta) untuk mencegah terjadinya pengendapan yang sekaligus berfungsi sebagai dermaga.

Menurut sejarawan Belanda, de Haan, pembangunan dermaga yang panjangnya 810 meter ada kaitannya dengan pelurusan sungai yang dilakukan sebelumnya. Dengan adanya dermaga seperti itu diharapan gerakan atau aliran sungai menjadi lebih deras yang lambat laun akan mengikis dan menghilangkan endapan lumpur di depan muara Ciliwung.

Ternyata harapan ini terbukti, endapan lumpur menjadi terdesak ke laut. Perubahan morfologi Kota Batavia (Jakarta) lebih disempurnakan lagi oleh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1535-1645). Tembok keliling kota di tepi barat dibangun dan sejumlah kanal digali seperti Kanal Jonker dan Kanal Melayu. Bangunan-bangunan yang tadinya terbuat dari kayu atau bambu diganti dengan batu. Di tepi timur digali Parit Banda dan Parit Malabar, sedangkan di sebelah timur kastil digali kanal mulai dari Kalibesar (Ciliwung) sampai gerbang air (Waterpoort), karena melebarnya garis pantai oleh endapan lumpur sungai.

Dalam rangka mempercantik kota, Gubernur Jenderal van Diemen malarang penduduk membangun atau memperbaiki rumah-rumah bambu, terkecuali jika rumah tersebut berjarak 24 kaki dari rumah batu. Untuk mendorong supaya penduduk membangun rumah dari batu, kompeni memberikan pinjaman uang dengan imbalan bunga setengah real kepada mereka yang memiliki tanah dan tidak dibebani pajak. Real adalah mata uang ketika itu. Karena itu, di Jakarta ada istilah ‘Tanah Sereal’ (di Jakbar), yang berarti untuk melewati jalan tol (berupa kanal) harus membayar sereal. Jadi, 400 tahun sebelum dibangun jalan tol, terlebih dulu Jakarta memiliki tol-tol berupa kanal-kanal.

Pada pertengahan abad ke-17, kompeni juga merencanakan pembuatan jalan dan kanal di luar kota. Kanal-kanal itu umumnya digali oleh orang-orang partikelir sebagai sarana yang menghubungkan kota dengan daerah perkebunan tebu dan molen-molen penggilingan gula yang sengaja dibangun di tepi sungai atau kanal-kanal yang digali. Pada 1647 Direktur Jenderal Francisco Caron dan Fariek Silvenagel menggali kanal di sebelah timur kota yang kemudian disebut Kanal Ancol yang masih kita dapati saat ini. Di sebelah selatannya digali kanal lain yang disebut Kanal Sunter, sebutan yang masih berlaku hingga saat ini.

Kepada para penggali kanal (pihak partikelir), VOC memberikan hak memungut tol selama 20 tahun. Kemudian dibangun Kanal Angke, yang dihubungkan oleh sebuah saluran air di sebelah barat kota Batavia. Di sebelah selatan mulai dari Kali Cisadane –yang dalam banjir 2007 mengakibatkan Tangerang tergenang– sampai ke Benteng Angke digali sebuah kanal lain untuk keperluan lalu lintas perahu oleh Lansdrost Vincent van Mook. Kanal ini kemudian diberi nama kanal Mooxer (Mooxervaart).

Sumber: http://alwishahab.wordpress.com/2007/02/15/sudah-ada-sejak-zaman-voc-banjir-bagian-ii/

Fungsinya Banyak yang Berubah ( Banjir Bagian Terakhir )

Februari 15, 2007 oleh alwishahab

Sekarang mari kita susuri daerah selatan. Pada 1648 seorang kapten Cina, Tio Bing Ham, mendapatkan izin menggali kanal di selatan kota mulai dari gerbang baru (Nieuwpoort), Jakarta Kota, lurus ke selatan sampai Kali Krukut (Tanah Abang). Setelah diambil alih pada 1661, kanal ini diberi nama Molenvliet (di tengah-tengah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk).

Molenvliet berarti selokan molen (kincir). Selain untuk lalu lintas perahu dan menghanyutkan kayu dari hutan-hutan sekitarnya, kanal ini dipakai mengalirkan air yang menggerakkan molen-molen yang dibangun di sekitar kanal.

Untuk keperluan tersebut di sebelah selatan Noordwijk (kini Jl Juanda), Ciliwung dibendung dan airnya dialirkan ke dalam kanal yang digali pada 1654, lalu disalurkan ke Molenvliet. Agar air Ciliwung tetap mengalir, dibangun pula sebuah pintu air di ujung utara Molenvliet (Jl Gajah Mada-Hayam Wuruk), sehingga kincir penggergajian kayu, kincir pembuatan mesiu, penggilingan gandum, dan kincir lainnya dapat terus bergerak.

Penggalian kanal-kanal di luar kota (sebutan kala itu untuk kawasan Harmoni dan Molenvliet), penting artinya bagi perkembangan Batavia (Jakarta) pada periode-periode selanjutnya. Kecuali keadaan di dalam benteng, kebutuhan akan ruang-ruang yang lebih luas dan udara yang lebih segar mulai dirasakan penduduk kota. Sejak pertengahan abad ke-17 lingkungan di sekitar kota sudah lebih aman, baik dari ancaman binatang buas maupun gangguan dari perusuh yang biasa berkeliaran di sekitar kota. Di kanan kiri kanal-kanal yang digali itu muncul kebun-kebun dengan gubuk-gubuk kecil yang lama kelamaan berkembang menjadi tempat permukiman penduduk. Banyak juga jembatan yang dibangun di atas kanal-kanal yang beberapa di antaranya masih berdiri sampai sekarang ini.

Pada 1735 Julius Vinck membangun Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Untuk memudahkan arus jual beli ia membuka jalan dan membangun jembatan yang menghubungkan kedua pasar itu melewati Kampung Lima (kini Jl Sabang), Simpang Senen sampai Kramat. Ketika Jacob Mossel menjadi gubernur jenderal (1751-1761), dia menggali terusan (kanal) mulai dari Ciliwung menuju terusan sepanjang Gunung Sahari, sehingga jalan masuk ke pasar menjadi lebih mudah. Demikian pula untuk menghubungkan vila mewahnya yang dibangun di tepi tikungan Ciliwung (kini RSPAD Gatot Subroto-Senen). Sedangkan terusan atau parit yang digali Gubernur Jenderal Mossel, sekarang bernama Kali Lio bersebelahan dengan Atrium Senen yang dibangun 1980-an. Kali Lio, yang dulu dilalui perahu-perahu pedagang, kini menjadi got besar.

Sebuah garis pertahanan yang dikenal dengan Defensie lijn Van den Bosch, yang dulunya merupakan parit (kanal) bertanggul rendah, menjulur dari titik di mana sekarang terdapat Stasiun Senen. Dari situ menuju Bungur Besar, kemudian membelok ke barat melalui Krekot-Sawah Besar-Gang Ketapang (Hasyim Asy’ari). Lalu parit ini menuju selatan melalui Petojo sampai sebelah barat Medan Merdeka. Kemudian ke Tanah Abang melalui Kebon Sirih-Jembatan Prapatan terus ke Jembatan Kramat (Kramat Bundar sekarang). Garis pertahanan van den Bosch kini menjadi jalan biasa seperti juga sejumlah kanal di Jakarta.

Kita kembali lagi ke kanal-kanal di kawasan Jakarta Kota. Masyarakat sekarang hanya mengetahui Pancoran di Glodok hanyalah pusat perdagangan dan perniagaan bergengsi di Jakarta. Pancoran dulunya merupakan kanal. Demikian pula kawasan perdagangan lain, yakni Pinangsia. Pemda DKI Jakarta beberapa waktu lalu melakukan penertiban para pedagang kaki lima di Pancoran, yang ternyata berjualan di area kanal. Sekarang, kanal ini coba difungsikan kembali.

Kalau kita menuju Jakarta Kota naik kereta api, di depan Stasiun Beos ada sebuah tempat bernama Jembatan Batu. Di batas tembok benteng Batavia ini, dulunya juga merupakan kanal. Masuk sedikit ke arah Jakarta Kota, kita akan mendapati kawasan Petak Baru dan Tongkangan yang kini merupakan jalan tol ke Bandara Cengkareng. Dulunya, kawasan ini juga kanal. Masih banyak lagi kanal yang dulu merupakan jalur sungai di kawasan kota. Belanda juga melakukan penyodetan terhadap kanal Molenvliet. Di sebelah barat menjadi kanal Pancoran dan di sebelah timur Pinangsia.

Tentu timbul pertanyaan, mengapa puluhan kanal ini sirna begitu saja di Jakarta? Gubernur Jenderal Herman Daendels (1809-1811) ketika itu telah mendapat perintah memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan dan Kota ke Weltevreden (Monas, Lapangan Banteng, dan Gunung Sahari). Dengan alasan Batavia Lama sudah sangat tidak sehat hingga dapat julukan ‘kuburan orang Belanda’. Ketika memindahkan kota ke arah selatan ini, Daendels menghancurkan kastil dan hampir seluruh bangunan di Batavia Lama, hingga kanal-kanal menjadi rusak, berlumpur, dan air tergenang.

Pada 1920-an, Belanda ketika membangun kawasan Menteng mulai melakukan upaya-upaya untuk mengendalikan banjir –yang ada sejak zaman Tarumanegara (abad ke-6 M). Maka, mulailah dikerjakan saluran banjir yang kini lebih dikenal dengan istilah banjir kanal. Dengan demikian, Ciliwung dan Sungai Krukut dapat dikendalikan. Pengendalian banjir itu direncanakan Prof Ir van Breen.

Sumber: http://alwishahab.wordpress.com/2007/02/15/fungsinya-banyak-yang-berubah-banjir-bagian-terakhir/

STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD X-XI

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

Sumber: http://diabicara.blogspot.com/

A. Latar Belakang

Keadaan geografi pulau Jawa yang memiliki gunung-gunung api dan sungai membuat tanah menjadi subur. Potensi ini didukung oleh curah hujan yang rata-rata cukup banyak (±2000 mm per tahun), khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya, menyebabkan rata-rata kelembaban udara yang cukup tinggi pula. (Sutikno:1993) Pada masa Jawa Kuna terdapat beberapa kerajaan seperti Kerajaan Mataram Kuna, Singasari dan Kadiri dan Majapahit. Mayoritas masyarakat kerajaan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini didasari oleh tanah-tanah di pulau Jawa yang relatif subur. Hal ini karena banyaknya gunung-gunung api serta curah hujan yang tinggi. Kerajaan pada masa lalu sepertinya memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Pendapatannya kerajaan-kerajaan agraris diperoleh dari pengumpulan hasil bumi, upeti dari raja bawahan dan denda dari putusan peradilan dan pajak (Dwiyanto: 1993).

Akan tetapi karena curah hujannya relatif tinggi menyebabkan lahan pertanian penduduk dari masa jawa kuna bahkan sampai saat ini sering terjadi banjir. Kerugian yang diderita oleh petani sangat besar karena untuk mengolah sawah sangat menyita waktu dan tenaga. Karena para petani harus melewati tahapan dalam mengolah lahannya (Abu: 1990). Banjir yang terjadi tidak hanya berpengaruh terhadap pertanian saja, melainkan juga menyangkut bidang lain seperti perdagangan dan religi. Adanya banjir juga mengurangi pendapatan kerajaan dari sektor pajak (Djoko Dwiyanto: 1992). Dampak banjir dibidang perdagangan adalah macetnya jalur lalu lintas air, sehingga pedagang tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Pada bidang religi adalah banyaknya tempat atau bangunan suci yang rusak dan hancur akibat terkena banjir.

B. Rumusan Masalah

Banjir merupakan fenomena yang terjadi dimana suatu wilayah atau sistem pengairan tidak mampu menampung limpahan air. Sawah atau lahan pertanian biasanya terletak di tepi sungai atau memiliki sungai sebagai pengairan. Sehingga jika sistem pengairan tidak mampu menampung air maka akan terjadi banjir dan sawah akan terkena dampaknya. Jika sebuah lahan pertanian terkena banjir maka segala tanaman akan basah dan layu sehingga akan mati. Dengan kondisi ini, maka petani akan dirugikan oleh adanya banjir. Sehingga akan menghambat pertanian. Selain itu dampak banjir juga berpengaruh pada bidang perdagangan, bidang religi bahkan pendapatan kerajaan dari sektor pajak juga ikut terpengaruh. Oleh karena itu para korban banjir pasti akan mencari solusi atau strategi untuk penanggulangan bahaya banjir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi penanggulangan banjir pada masyarakat jawa kuna. Adapun pertanyaan yang muncul untuk memecahkan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir yang terjadi pada masa Jawa Kuna abad V-XI?

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran Induktif. Metode penalaran induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan adalah prasasti dan data sekunder lainnya yang diperoleh dari skrisi, buku dan artikel. Tahap yang kedua adalah pengolahan dan analisis data-data yang telah diperoleh. Tahap yang ketiga atau tahap yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.

STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD V-XI (Kajian Terhadap Prasasti Tugu Abad 5 M, Bakalan 934 M, dan Kamalagyan 1037 M)

Meskipun air dari sungai mempunyai manfaat yang besar, baik untuk pertanian, lalu lintas dan kebutuhan manusia yang lain, akan tetapi keberadaan sungai itu sendiri perlu mendapatkan perhatian khusus didalam pengelolaannya. Pengelolan sungai disamping untuk memenuhi kebutuhan manusia juga dimaksudkan untuk menghindari adanya bahaya yang dapat ditimbulkan dari sungai tersebut, yaitu bahaya banjir. Banjir merupakan peristiwa alam yang terjadi akibat melimpahnya air yang ada dipermukaan. Sebab-sebab banjir dikarenakan tidak mempunyai sungai untuk menampung air, kurangnya tingkat peresapan tanah, dan lebih rendahnya permukaan daratan dari pada permukaan air. Selain pada masa kini ternyata banjir juga pernah terjadi pada masa Jawa Kuna. Berikut ini adalah prasasti-prasasti yang memuat informasi tentang penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna, diantaranya prasasti Tugu abad ke-5 M, prasasti Bakalan 934 M dan Prasati Kamalagyan 1037 M. Adapun kutipan dari masing-masing prasasti adalah sebagai berikut:

A. Prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh raja Punawarman:

1. Pura rajadhirajena guruna pinabuna
2. Khata khyatam purim prapya candra bhagarnnavam yayau…
7. dvavincena nadi ramya gomati nirmaludaka
8. pitamahasya rajarser widaraya cibiravanim
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
1. Dulu raja yang mulia yang mempunyai lengan yang kuat
2. Menggali sungai bernama Candrabhaga buat mengalirkannya kelaut, setelah (kali ini) sampai di istana yang termasyur…7. Menggali sungai Gomati permai dan berair jernih
8. Setelah sungai itu mengalir ditengah-tengah kediaman sang pendeta nenekda (Sang Purnawarman)
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Pembuatan saluran di Gomati dan Candrabhaga dapat diinterpretasikan sebagai usaha raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara didalam upaya mengendalikan aliran sungai dan mengatasi banjir yang disebabkan oleh meluapnya air di daerah tersebut sehingga perlu dibuat saluran untuk mencegah terjadinya banjir. Interpretasi ini didasarkan pada analogi dari isi prasasti yang menyebutkan penggalian saluran air yang dilaksanakan pada bulan Caitra yang merupakan bulan pertengahan Maret hingga pertengahan April. Bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan dan permulaan musim kemarau. (Ph. Subroto: 1985). penggalian ini kemungkinan untuk menanggulangi banjir sebagai akibat berdasarkan pengalaman banjir pada musim hujan, yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.

B. Prasati Bakalan 934 M atau Prasasti Wulig

8. “…Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. Pagehaken ikang dawuhan katrini I halunan
10. I wuatan wulas I wuatan tamya
11. irikana dawuhan muang umajara kamu tepangu
12. pullakna dawuhan telyenu Ikana weluran
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
8. “…Rarakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. memerintahkan membuat bendungan di tiga tempat, yaitu di kahulunan
10. di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya
11. di sana bendungan itu dan memberitahu (mereka) memegang teguh itu dari keinginan untuk
12. mengalirkan air dan menyatukan 3 bendungan disana
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)

Prasasti ini berisi perintah Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil untuk membuat tiga bendungan di daerah Kapulungan , Wuatan wulas , dan Wuatan Tamya. Dalam prasati ini memang tidak disebutkan bahwa bendungan dibuat untuk penanggulangan banjir. Namun berdasarkan kondisi geografis di pulau Jawa memiliki curah hujan tinggi dimungkinkan salah satu fungsi dari pembangunan bendungan ini adalah untuk penanggulangan banjir

C. Prasasti Kamalagyan 1037 M yang dikeluarkan pada masa Raja Airlangga:

7. “… Sambandha, cri maharaja madamel dawuhan ring waringin sapta imahnikanganak ri kamala
8. gyan punyahatu tan swartha, kahaywaknaning thani sapasuk hilir lasun palinjwan. Sijanatyesan panjiganting talan. Dacapangkah. Pangkaja. Tka ring simarasirna. Kala, kalagyan, thani jumput. Wihara ca
9. Ia, kumulan, parahyanganm parapatan, makamukyabhuktyan. Sang hyang dharma ringicanabhawana mangaran I surapura, samangkana kwehnikang thani kawahan kededetan cariknya denikang kanten tmahan bangsawan amgat ri wa
10. ringinsapta, dumadyakan unanikang drabyhaji mwanghilang nikang carik kabeh, aphan dulabha kawnanganikatambakaning bangsawan amgat de parasamya makabeh, tan pisan nambak parasamya…”
13. “ring parapuhawang prabanyaga sangkaring dwipantara, samanunten ri hujung galuh ikang anak thani sakawahan kadedetan sawahnya, atnyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah sawahnya kabeh an pinunya
14. ri tambak hilinikang bangawan amgat rig waringin sapta de cri maharaja…”
(Brandes: 1913 dalam Wulandari: 2001)
Artinya:
7. “…(demikianlah) sebabnya Sri Maharaja membangun bendungan Waringin Sapta di desa Kamala
8. gyan untuk kesejahteraan desa Lasun, Palinjwan, Sijatatyesan, Panjiganting Talan, Dacapangkah, Pangkaja, hingga semua tempat (sima) itu musnah, kala, kalagyan, thani jumput, wihara, ca
9. Ia, kamulan, Parhyangan, Parapatan, tempat suci yang bernama Icanabhawana di Surapura, begitulah pemberian (pembuatan bendungan) yang berkali-kali terkoyak oleh bengawan yang bercabang di Wa
10 ringin sapta, tiba-tiba semua milik raja menjadi hancur, tidak hanya sekali pembuatan tnggul oleh pejabat setempat…”
13. yang menghubungkan antara pulau, berkumpul semua di Hujung Galuh, penduduk desa yang sawah tanahnya terkena banjir menjadi senag hatinya karena berakhirnya banjir itu sehingga hasil sawahnya dapat dimiliki dengan
14. ditanggulnya aliran sungai Waringin Sapta oleh Sri Maharaja…”
(Wulandari: 2001)

Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya mungkin banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah sima yang mengalami banjir yaitu Kala, Kalagyan, Thani Jhumput, Wihara Cala, kamulan, dan parapatan (Soekmono 1973). Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan), yang menurut Soebroto ialah sungai Brantas. Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan (Soebroto: 1985).

Melihat dari isi prasasti tersebut, prasasti kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang.

Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai tehadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gcunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.

Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat setempat. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan ini, Maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tanggul yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.KESIMPULAN

Dari hasil analisis terhadap tiga prasasti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masa jawa kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air, seperti pada prasasti yang menjadi kajian pada makalah ini. Dari isi ketiga prasasti tersebut dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:

  1. Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga dapat terhindar dari bahaya banjir.
  2. Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abu. Rifai, Dkk. 1990. Teknologi Pertanian Sebagai Tanggapan Terhadapa Lingkungan di Cianjur. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Subroto, Ph. 1985. Sistem Pertanian Masyarakat Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis. Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. Dalam Prof. Sartono Kartodirjo “700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai”. Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Wimbo Widayati. W. 1998. Upaya Pelestarian Pada Masyarakat Jawa Kuna Berdasarkan Prasasti Abad V-XV M. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Wulandari Naning. 2001. Upaya Peningkatan Hasil Pertanian Pada Masa Jawa Kuna Abad IX-XV. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.