BebasBanjir2015

Aspek Kesehatan

BANJIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT


Tegar R Ramadhan

Banjir dan Kondisi Kesehatan

Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir diperkirakan memiliki proporsi sebesar 40% dari semua bencana alami yang terjadi di seluruh dunia dan menyebabkan setengah kematian akibat bencana alam (Ohl: 2000). Di tahun 2008 ini, kejadian banjir telah membuat banyak wilayah di Indonesia tenggelam. Wilayah di Indonesia yang dilanda banjir bandang di antaranya adalah Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro, Magetan, Trenggalek, Madiun, Ngawi, Jombang, Lamongan, Ponorogo, Pacitan, Gresik, dan yang terbaru di Kabupaten Situbondo), Jawa Tengah, DKI Jakarta, Aceh, dan sebagainya.

Banjir bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Kejadian banjir akan membuat populasi terganggu. Saat populasi terganggu maka akan ada keseimbangan alamiah populasi yang terganggu. Bahkan kematian juga dapat terjadi. Sebenarnya, kejadian banjir dapat diperkirakan kedatangannya karena hampir setiap tahun terulang. Dengan monitoring dan sistem pencatatan yang baik rencana mitigasi bencana dapat dikembangkan.

Dampak bencana yang diakibatkan oleh banjir pada kehidupan masyarakat di antaranya adalah:

  • Gangguan keselamatan (Mis: cedera, kematian)
  • Kesehatan (mis: mortalitas, morbiditas, gangguan sistem pelayanan kesehatan)
  • Kesejahteraan masyarakat (mis: malnutrisi)
  • Ekologi (hilangnya habitat, berkurangnya keragaman spesies)
  • Isu keuangan (kehilangan properti, jeratan hutang), dsb.

Kondisi ini akan semakin diperparah dengan munculnya wabah berbasiskan banjir seperti leptospirosis, diare (termasuk cholera dan disentri), infeksi saluran nafas, hepatitis A dan E, demam tiphoid, dan penyakit lainnya yang berbasiskan vektor. Banjir juga biasanya menghancurkan sarana dan prasarana transportasi sehingga menyebabkan suplai makanan terhambat. Akibatnya, pengungsi korban banjir terancam kelaparan.

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Kesehatan Akibat Banjir

Model Gordon menggambarkan terjadinya penyakit pada masyarakat. Model ini dinamakan sesuai dengan nama pencetusnya yang juga seorang dokter, John Gordon. Ia memodelkan/menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit, yang mempunyai titik tumpu ditengah-tengahnya. Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni A, H dan tumpuannya adalah L. Dalam model ini, A, H dan L dianggap sebagai tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi ini, sehingga terjadi keadaan sehat atau sakit
A = Agen/penyebab penyakit,
H = Host/pejamu/populasi berisiko tinggi, dan
L = Lingkungan

Interaksi di antara tiga elemen tadi terlaksana karena adanya faktor penentu pada setiap elemen tadi. Faktor penentu yang terpenting antara lain adalah:

  • Agent : Jumlahnya bila hidup, konsentrasinya bila tidak hidup, infektivitas / patogenitas / virulensi bila hidup, reaktivitas bila tidak hidup.
  • Host : Derajat kepekaan, imunitas terhadap A hidup, toleransi terhadap A mati, status gizi, pengetahuan, pendidikan, perilaku dan lain-lain.
  • Lingkungan : Kualitas dan kuantitas berbagai kompatemen lingkungan, yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak tidak terjadinya transmisi agent (A) ke host (H). Kompartemen lingkungan dapat berupa udara, tanah, air, makanan, perilaku, dan higiene perorangan, kuantitas dan kualitas serangga vekor / penyebar penyakit.(Soemirat: 2000)

Faktor perubahan lingkungan (yaitu banjir) memungkinkan munculnya dan berkembangnya agen penyakit. Misalnya saja leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Leptospira interrogans. Bakteri ini bisa ditularkan melalui kontak pada kulit, khususnya jika kulit terluka, atau kontak selaput lendir dengan air, tanah basah atau tanaman yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi, berenang, luka yang terjadi karena kecelakaan kerja; kontak langsung dengan urin atau jaringan tubuh hewan yang terinfeksi; kadang kadang melalui makanan yang terkontaminasi dengan urin dari tikus yang terinfeksi; dan kadang kadang melalui terhirupnya droplet dari cairan yang terkontaminasi (Kandun, ed: 2000, hlm. 309). Saat banjir, maka daratan akan tertutupi oleh air. Keadaan seperti ini sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi air banjir dengan urin hewan yang terinfeksi. Akibatnya, karena saat banjir lingkungan di sekitar manusia adalah air maka hal tersebut membuat manusia berada dalam titik rentan untuk terkontaminasi.

Faktor perubahan lingkungan (yaitu banjir) juga memungkinkan menurunnya pertahanan host. Kekurangan makanan, berada dalam suhu yang tidak nyaman, kelembaban tinggi, sanitasi yang tidak memadai, banyaknya populasi pengungsi di tempat pengungsian, dapat menaikkan kerentanan host untuk menjadi sakit. Pada kondisi ini manusia terancam penyakit seperti tuberculosis, campak, skabies, hipo dan hipertermia, dan sebagainya (Perrin: 2001, hlm.112-113). Selain itu, efek banjir jangka panjang juga dimungkinkan dapat mempengaruhi kesehatan psikologis korban yang risikonya lebih besar dari kesakitan atau cedera fisik biasa. Untuk sebagian besar orang, trauma dapat terus berlanjut bahkan hingga air surut. Perbaikan pasca banjir seperti melakukan perbaikan properti yang rusak, bersih-bersih rumah, dan mengajukan klaim asuransi dapat menghadirkan stress tersendiri (Ohl:2000, 1167). Keadaan seseorang yang dipenuhi stress, membuat seseorang senantiasa merasa khawatir, cemas, gelisah, dan tidak mampu menguasai dirinya. Hal tersebut bisa mengantar seseorang pada gangguan kesehatan atau bahkan kematian prematur (Wilkinson, ed: 2003, hlm. 12).

Penyakit yang Mungkin Meningkat Saat Banjir

Seperti yang telah diterangkan pada penjelasan sebelumnya, ada beberapa penyakit yang dimungkinkan meningkat saat banjir. Beberapa penyakit tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

Leptospirosis (sudah cukup dijelaskan di pembahasan sebelumnya)

Tetanus

Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani. Dalam keadaan banjir, spora tetanus masuk kedalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan tanah, debu jalanan atau tinja hewan dan manusia yang sudah tercemari spora C. tetani. (Kandun, ed: 2000, hlm. 515). Akan tetapi, tetanus bisa saja tidak menjadi wabah saat banjir jika program imunisasi sukses dilaksanakan dengan cakupan yang baik.

Diare

Saat banjir dapat dikatakan semua sumber air tanah akan tercemar dengan total choliform dari septic tank atau dari sumber lainnya. Dalam keadaan darurat air dengan kualitas yang baik sulit didapatkan. Dengan terbatasnya jumlah air bersih, maka kemungkinan untuk masuknya organisme penyebab diare juga semakin tinggi. Selain kebutuhan untuk minum, air juga dibutuhkan untuk melarutkan sabun guna mendisinfeksi tangan sebelum makan.

Poliomyelitis

Sama seperti diare, poliomyelitis juga dapat mengancam kesehatan korban banjir, terutama mereka yang berada di tempat pengungsian. Risikonya terutama terdapat pada faeces. Diketahui bahwa dalam 1 gram faeces terdapat 106 virus poliomyelitis. Selain poliomyelitis, hepatitis A, rotavirus, Vibrio cholerae, Salmonella, dan shigella juga ditemukan dalam jumlah yang sama dalam konsentrasi faeces yang juga sama (Perrin: 2001, hlm. 103).

Penyakit berbasis vektor nyamuk dan lalat.

Malaria, dengue, dan demam typhoid juga menjadi ancaman saat terjadi bencana banjir. Banjir tentu identik dengan genangan air. Jika airnya kontak dengan tanah, maka anopheles dapat berkembang biak di sana. Jika genangan air ada di wadah, maka itu adalah tempat yang baik untuk Aedes, Sp berkembang biak. Sementara kondisi tempat pengungsian yang kumuh dan kurangnya kontrol terhadap penyimpanan makanan memungkinkan lalat untuk menyebarkan organisme patogen yang melekat dalam tubuhnya. (Perrin: 2001, hlm. 123)

Referensi:

-, Laporan Respon WALHI soal Bencana Banjir di Jateng dan Jatim : WALHI Telah Dirikan Posko Bojonegoro Krisis Centre, http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/ , diakses tanggal 25 Februari 2008, 15.00

Kandun, I Nyoman, ed.2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Depkes RI

Ohl, Cristopher A. dan Sue Tapsell. “Flooding and Human Health: The Dangers posed are not always obvious”British Medical Journal, vol 321, page 1167-1168, 11 November 2000.

Perrin, P. 2001. War and Public Health, ICRC WHO 1977. Health and the Environment, Public Health in Europe, WHO Copenhagen

Soemirat, Juli. 2000. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Wilkinson, Richard dan Michael Marmot, ed. 2003. Social Determinants of Health: The Solid Facts. 2nd edition. Copenhagen: WHO.

Sumber: http://bem.fkm.ui.edu/index.php?option=com_content&task=view&id=66&Itemid=35

1 Komentar »

  1. Terima Kasih buat Blog’nya… Sangat bermanfaat bagi saya

    Komentar oleh FeLie — April 23, 2012 @ 7:16 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.