BebasBanjir2015

Zunan Farid dan Moch. Satori

ADAKAH HUTAN GUNDUL MENJADI PENYEBAB BANJIR JAKARTA

Oleh: Zunan Farid,SP dan Moch. Satori, S.Hut

Sumber: http://www.dephut.go.id/informasi/mki/

Selama ini setiap ada bencana banjir, selalu saja hutan gundul dijadikan kambing hitam. Sebut saja seperti banjir di Kabupaten Langkat, hutan gundul di Taman Nasional Leuser dituding sebagai penyebabnya. Banjir di sepanjang aliran Sungai Siak, Rokan, Indragiri dan Batanghari, hutan gundul di Taman Nasional Kerinci Seblat menjadi kambing hitamnya. Hubungan antara hutan gundul di bagian hulu dengan banjir dibagian hilir seolah telah menjadi icon permanent. Adakah hal yang sama menjadi penyebab terjadinya banjir Jakarta yang telah menggenangi 60% dari 640 km2 luas ibukota Negara?

Banjir memang menyengsarakan rakyat. Selain sebagai akibat, banjir juga menjadi penyebab rusaknya infrastruktur. Pasca banjir, pemerintah baik pusat maupun daerah pasti disibukan dengan upaya pembersihan sampah yang berserakan di sepanjang jalan dan perbaikan insfrakstruktur. Sudah barang tentu ada sejumlah dana yang dikeluarkan untuk kegiatan itu. Andaikan dana tersebut sebagian dialokasikan untuk pemulihan wilayah yang dituding sebagai penyebab banjir, tentu rangkaian siklus sebab – akibat sebab akan terputus. Artinya, bencana banjir yang tidak diharapkan oleh semua orang, akan hapus. Jargon ”lebih baik mencegah sakit daripada mengobatinya” terbukti benar.

Tulisan ini menguraikan penyebab banjir Jakarta, untuk kemudian diidentifikasi penyebab mana saja yang paling dekat dengan gundulnya hutan. Langkah selanjutnya adalah menganalisis kemungkinan pengalihan infrastructure recovery cost ke perbaikan faktor-faktor penyebab terjadinya banjir yang menjadi domain Departemen Kehutanan.

Inventarisasi Penyebab

Dari berita, komentar dan artikel di media massa cetak selama banjir Jakarta terjadi yaitu sejak 2 sampai dengan 14 Februari 2007, paling tidak ada sembilan penyebab terjadinya banjir, yaitu :

1. Konversi lahan

Perubahan peruntukan lahan (konversi lahan) yang semula sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), saat ini tertutup oleh bangunan-bangunan. Pesatnya pembangunan perumahan baru di kawasan hulu khususnya di wilayah Puncak seperti pembangunan villa, dan hotel tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Pada saat hujan datang air yang jatuh akan cepat mengalir ke daerah hilir menjadi aliran permukaan (surface run off) sedangkan yang mampu meresap ke tanah (sub surface run off) kecil.Begitu juga kondisi di bagian tengah (Depok dan sekitarnya) dan bagian hilir (Jakarta). Pembangunan yang sulit terkendali karena adanya tekanan jumlah penduduk yang bertambah terus, baik karena alasan alamiah maupun urbanisasi dari seluruh pelosok tanah air. Hal ini memerlukan ruang baru untuk tempat tinggal. Ditambah lagi dengan adanya pembangunan gedung-gedung perkantoran, apartemen, pabrik, sehingga yang semula sebagai RTH berubah menjadi lahan yang tertutup aspal/beton.

Sementara itu, di hulu, meskipun konsep keterpaduan sudah lama ada, menurut peneliti Puslit Biologi LIPI Dr. Ibnu Maryanto, DAS Ciliwung telah mengalami banyak perubahan. Pada tahun 1990, penggunaan lahan DAS Ciliwung terbesar untuk tegalan (ladang), yaitu 103,47 km2, disusul kebun 69,56 km2, hutan 53,93 km2, sawah 51,37 km2, dan pemukiman 41,10 km2.Pada tahun 1996, luas masing-masing jenis penggunaan lahan tersebut berubah. Luas pemukiman mengalami peningkatan yang besar dari 41,10 km2 menjadi 115,91 km2, sementara jenis lahan yang lain menurun.Sedangkan pada 2004, luas pemukiman meningkat lagi menjadi 128,34 km2, sedangkan luas sawah, tegalan, dan kebun masing-masing menyempit menjadi 10,5 km2, 73 km2, dan 66,9 km2.Khusus di hulu DAS Ciliwung, daerah permukiman dalam kurun waktu enam tahun (1990-1996) meningkat dari 6,25 km2 menjadi 19,26 km2 dan pada 10 tahun kemudian (2004) menjadi 26,61 km2.

Dalam waktu 10 tahun terakhir, area penyerapan air di Jabotabek memang telah menyusut 50 persen sehingga sebagian besar air hujan tidak terserap ke tanah, melainkan mengalir di permukaan.

2. Kemampuan tanah menyerap air berkurang

Daerah Terbuka Hijau merosot dari tahun ke tahun. RTH yang berfungsi sebagai daerah resapan air, dengan cepat terdesak oleh arus pembangunan fisik. Data Walhi menunjukan tahun 1985 Jakarta masih memiliki RTH seluas 29 %, angka itu turun menjadi 25 % pada tahun 1995. Bahkan, mulai tahun 2000 angka RTH ini turun hinga tersisa 9,4 %. Jauh dari kondisi ideal minimum 27,5 %.

Pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan dan lain sebagainya, tanpa mempertimbangkan geo-hidrologis, akan mengakibatkan penurunan rata muka air tanah. Dengan menurunnya rata permukaan air, maka tanah akan menambah mudah air menggenang secara lokal. Kondisi ini diperparah dengan banyak dibangun sumur air dalam tanpa izin.

Pengaruh limbah industri terhadap kemasifan agregat tanah mengakibatkan ruang kosong antar butir-butir tanah semakin berkurang. Yang tersisa adalah ruang kosong antar agregat tanah. Limbah industri seperti zat-zat kimia yang dibuang sembarangan membuat pori-pori tanah mampat sehingga air hujan sulit untuk meresap ke dalam tanah.

3. Tiga Belas alur kanal yang semakin menyempit

Berdirinya bangunan-bangunan di sepanjang sempadan sungai mengakibatkan peyempitan alur kanal yang ada di Jakarta, sehingga mempercepat terjadinya banjir saat hujan. Pada tahun 2005 total luas lahan sempadan Sungai Ciliwung sebesar 51.913 ha. Jumlah itu menyusut 60 % karena banyak dibangun pemukiman liar. Akibatnya, badan sungai menyempit dan volume air bertambah tapi tak terserap.

4. Jumlah dan luas situ yang semakin kurang

Banyak perubahan fungsi situ, yang selama ini menjadi daerah tangkapan air telah ditimbun. Seperti di daerah Depok, dari 600 situ tinggal 60 situ. Menurut Pusat Penelitian Limnologi LIPI, jumlah situ di Jabodetabek yang semula ada sebanyak 218 buah kini jumlahnya tinggal 50 sampai dengan 100-an. Hal ini berdampak pada hilangnya tempat penampungan air hujan. Situ-situ yang masih ada, diperparah dengan ulah masyarakat membuang sampah sehingga berakibat pada pendangkalan. Selain itu diuruk untuk pembangunan gedung-gedung. Dampak lebih jauh adalah daya tampung air yang semakin kecil.

5. Perbedaan elevasi muka tanah dan muka air laut

Banjir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kota Jakarta, karena kondisi lahan di wilayah Jakarta relatif rendah, yaitu hanya berada pada ketinggian maksimum 10 M dari muka air laut. Selain itu Jakarta berada di depan kaki morfologi pegunungan, maka secara alamiah akan selalu menerima air limpasan dari daerah yang lebih tinggi yang alirannya semakin mendekati laut akan semakin lambat.

6. Sampah rumah tangga

Tak dipungkiri lagi, kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai-sungai menghambat aliran. Setiap hari dari 7000-an ton sampah, sebanyak 30 % dibuang ke sungai sehingga akan meluapkan air sungai ke atas bantarannya.

7. Kawasan lahan basah

Kehilangan lahan basah untuk real estate, perindustrian, lapangan golf dan sebagainya di areal hutan bakau yang telah direklamasi akan mengurangi fungsi serapan sebagai penyimpan air. Tentunya akan mempercepat terjadinya genangan banjir.

8. Curah hujan tinggi

Curah hujan tinggi pada awal Februari 2007, menurut catatan Badan Meteorologi dan Geofisika ( BMG ), di kawasan Bogor mencapai 245 mm. Angka ini jauh melampaui hujan yang turun pada awal Februari 2002 yaitu 200 mm. Pada saat yang sama curah hujan di kota Jakarta mencapai 230 mm. Hal ini juga terjadi di daerah Cileduk, perbatasan antara DKI dengan Tangerang yang curah hujan hari itu mencapai 339 mm per hari.

9. Kenaikan Pasang Laut

Kondisi ini terjadi karena kenaikan suhu global sebesar rata-rata 0,6 derajat celcius selama dekade terakhir. Es di kutub utara dan selatan mencair sehingga rata muka air laut bertambah tinggi 3 cm selama periode tersebut. Perbedaan tinggi pasang laut ini, untuk elevasi dataran sebesar 1-2 derajat, akan menggenangi daratan sejauh 5-10 km dari titik pasang semula. Rob yang bersamaan dengan bencana banjir Jakarta, terjadi pada puncak purnama, yaitu 14 Muharam 1428 H bertepatan dengan tanggal 02 Februari 2007.

Bukan Disebabkan Hutan Gundul

Dari sembilan butir hasil inventarisasi penyebab banjir Jakarta sebagaimana diuraikan di atas, tidak satupun yang menyebutkan bahwa hutan gundul di daerah hulu sebagai penyebabnya. Ada dua sungai di Jabodetabek yang berhulu di gunung, yaitu Sungai Ciliwung berhulu di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Sungai Cisadane yang berhulu di Taman Nasional Halimun Salak. Kalau ingin ditambah Sungai Cibe’el dan Sungai Cikarang yang membanjiri Bekasi-Kerawang, adalah anak sungai Citarum yang berhulu di Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu. Sungguhpun demikian, di sepanjang aliran Sungai Citarum telah ada tiga waduk yang difungsikan untuk irigasi dan pembangkit listrik di bagian hilirnya. Berturut-turut dari arah hulu, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jati Luhur. Dari waduk terakhir inilah, besar kecil debit air S. Citarum diatur.

Sebanyak 13 kanal kecil lainnya yang membelah Jakarta bukan berhulu di gunung, sungai ini lebih tepat disebut kanal, yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dari hamparan di sekelilingnya. Baik TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun Salak, maupun CA Gunung Tangkuban Perahu, tutupan vegetasinya masih terbilang baik. Di luar kawasan konservasi itu adalah ruang terbuka hijau yang diperuntukan bagi usaha pertanian tanaman semusim. Jauh ke arah hilir, di tengah kota Jakarta, ruang terbuka hijau berupa taman-taman kota dan hutan kota. Di bagian muara, terhampar hutan bakau yang berfungsi sebagai wetland.

Kalau masih ingin dikaitkan dengan hutan gundul, maka kondisi ruang terbuka hijau di luar kawasan konservasi inilah yang menurun kualitas dan kuantitasnya. Ruang terbuka hijau itu merupakan kawasan tangkapan dan resapan air. Kondisi buruk tersebut masih diperparah dengan semakin banyaknya situ, danau, dan rawa yang berfungsi sebagai tempat parkir air, semakin berkurang luasnya. Bersama dengan curah hujan yang tinggi, lengkaplah bila banjir Jakarta disebabkan oleh kondisi hidroorologis yang buruk. Terkait dengan hal ini adalah tidak ada lagi sisa ruang terbuka diantara butir-butir tanah untuk menyimpan molekul air. Yang tersisa hanya ruang terbuka diantara agregat tanah, sehingga sub surface run off berkurang.

Masyarakat boleh saja menyatakan banjir Jakarta disebabkan oleh rata muka air tanah yang semakin turun, aliran 13 kanal yang semakin sempit, beda elevasi muka tanah dan muka air laut yang rendah, dan disiplin masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir sampah rumah tangga. Semua sah dan benar, sehingga unsur penyebab banjir Jakarta akan menjadi tambah komplek.

Berkurangnya ruang terbuka hijau dan tempat parkir air terkait dengan alih fungsi yang tidak terkendali menjadi villa, perumahan mewah, mal dan apartemen. Sedangkan ruang di antara butir tanah penyimpan molekul air yang semakin berkurang bisa jadi disebabkan oleh limbah industri seperti senyawa sulfida, detergen, pestisida dan pupuk an-organik. Ikatan-ikatan kimia itu mengakibatkan agregat tanah bertambah masif.

Identifikasi hasil inventarisasi penyebab banjir Jakarta yang paling dekat dengan hutan gundul ini dapat memberi arah, kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dilakukan institusi kehutanan untuk berperan aktif guna mencegah bencana yang sama di masa yang akan datang. Arahan ini akan menghindari tumpang tindih kegiatan antar instansi, sehingga akan lebih menghemat biaya.

Langkah Kegiatan Penanggulangan

Memulai kegiatan perbaikan pasca banjir ditengah kondisi yang sudah carut marut, sangatlah tidak mudah. Demikian carut marutnya, sehingga Bappenas memprediksi kerugian negara sebesar Rp. 4,1 trilyun yang kemudian direvisi menjadi Rp. 7,98 trilyun.Kemudian Greenomics, sebuah LSM lingkungan memprediksi kerugian pada minggu pertama sejak banjir menerjang sebesar Rp. 7,314 trilyun, dengan rincian bidang pertanian secara luas sebesar Rp. 6,1 trilyun; industri pengolahan sebesar Rp. 808,4 milyar; listrik/gas/air bersih sebesar Rp. 74,7 milyar; bangunan/hotel/perdagangan sebesar Rp. 531,7 milyar; restoran sebesar Rp. 1.278,4 milyar; transportasi dan komunikasi sebesar Rp. 551,9 milyar; jasa keuangan sebesar Rp. 1.846,0 milyar; jasa-jasa lainya sebesar Rp. 754,4 milyar; kehilangan material lainnya sebesar Rp. 1.462,9 milyar.

Versi dengar pendapat tiga Gubernur (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten) dengan Komisi V DPR menelurkan angka recovery cost sebesar Rp. 19,96 trilyun, terinci DKI Jakarta sebesar Rp. 17,85 trilyun (untuk Banjir Kanal Timur/BKT Rp. 4,30 trilyun; Banjir Kanal Barat Rp. 1,00 trilyun; dan normalisasi 9 sungai sebesar Rp. 8,20 trilyun; pembangunan 13 polder Rp. 2,10 trilyun; dan revitalisasi situ dan waduk sebesar Rp. 2,25 trilyun), disusul Banten sebesar Rp. 1,23 trilyun (untuk tata ruang Rp. 0,02 trilyun; pelayanan umum Rp. 0,60 trilyun; lingkungan hidup dan SDA Rp. 0,08 trilyun; pengelolaan SDA Rp. 0,29 trilyun; dan Cipta Karya Rp. 0,24 trilyun), dan terakhir Jawa Barat sebesar Rp. 0,88 trilyun (untuk tata ruang Rp. 0,03 trilyun; prasarana wilayah Rp. 0,57 trilyun; dan pemukiman Rp. 0,29 trilyun).

Selanjutnya diperoleh angka sebesar Rp. 2,016 trilyun ditambah angka-angka perkiraan presantase dari klaim berbagai bidang kegiatan. Rinciannya yaitu industri tekstil Rp. 8 milyar; Pertamina Rp. 100 milyar; Telkom Rp. 18 milyar; PT. KAI Rp. 1,5 milyar; Toyota Motor Rp. 50 milyar; BNI Rp. 2,16 milyar, Mandiri Rp. 10 milyar; angkutan umum Rp. 1,2 trilyun; elektronik 15-30 % dari pendapatan; bisnis jasa travel 20-50 % dari pendapatan; PLN Rp. 17 milyar; Perhotelan 50 % dari pendapatan; dan pasar tradisional 40 % dari pendapatan.

Begitu besarnya kerugian yang diderita negara dan masyarakat, maka agar kejadian tersebut tidak terulang lagi diperlukan kebijakan dan upaya nyata dari pemerintah. Kegiatan yang dapat dilakukan bukan merupakan peninjauan kembali hasil pembangunan yang salah. Sebagai contoh membongkar villa di Puncak guna memperluas ruang terbuka hijau, tentu bukan merupakan kebijakan yang bijaksana. Demikian halnya dengan mengembalikan areal wetland yang telah direklamasi ke kondisi semula.

Berdasarkan waktu yang dibutuhkan, langkah kegiatan penanggulangan di bidang kehutanan dapat dibagi kedalam :

a. Jangka pendek, dengan cara membuat membuat sumur-sumur resapan.

b. Jangka menengah, meliputi :

  • Pendekatan DAS terpadu dengan melakukan rehabilitasi lahan, khususnya wilayah hulu sungai kawasan Puncak Provinsi Jawa Barat.
  • Memelihara dan menjaga lingkungan, baik di hulu maupun di hilir.
  • Pengaturan tata ruang di daerah pengembangan kota, terutama di sekitar hinterland Jakarta.
  • Merehabilitasi hutan kota yang ada dan menambah jumlahnya di areal yang masih kosong pada daerah hinterland.

Untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan penanganan banjir tersebut, tentu saja Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, diperlukan sinergi dan komitmen yang kuat untuk menanggulangi bencana banjir tersebut, dan dengan dukungan dari segenap elemen masyarakat lainnya, maka tidak mustahil kegiatan-kegiatan tersebut dapat berhasil.

c. Jangka panjang, dengan cara menerapkan ”produksi hijau” seperti pertanian organik. Untuk industri manufaktur yang belum mengarah ke ”produksi hijau”, dapat melakukan kerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Hitung-hitungan recovery cost di atas dapat di split ke langkah kegiatan penanggulangan. Alternatif lainnya adalah subsidi silang untuk pembiayaan neraca air dari darah hilir ke hulu. DKI Jakarta wajib menyediakan biaya untuk perbaikan kualitas tutupan lahan di daerah hulu. Hal tersebut seiring dengan kebijakan Departemen Kehutanan terhadap konservasi air dengan konsep willingness to pay. µ*) Pemerhati Kehutanan (Calon Auditor pada Inspektorat IV).

1 Komentar »

  1. Hey! great work!

    Komentar oleh Maitri Fischer — April 10, 2011 @ 11:47 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.