BebasBanjir2015

Sahroel Polontalo

Bebas Banjir, Mungkinkah?

Sahroel Polontalo

Kalau Anda sedang membutuhkan sebuah rumah dan  mencari informasinya di internet, Anda akan menemukan istilah bebas banjir. Atribut ini merupakan jaminan bahwa rumah yang ditawarkan tidak akan kedatangan tamu rutin yang menjengkelkan ini.

Banjir di Jakarta Tahun 2007

Banjir di Jakarta Tahun 2007

Memang, untuk sebuah rumah atau sebuah kompleks perumahan sangat mungkin kondisi bebas banjir itu ditemukan. Tapi, mungkinkah kondisi itu untuk skala kota yang selama ini sudah menjadi langganan banjir? Seperti Jakarta, Semarang, Gorontalo, Manado, Padang dan banyak lagi kota lainnya di Indonesia? Jawabannya hanya tiga: “Sangat tidak mungkin. Mustahil!” atau “Mungkin saja terjadi, asal…..” Dan jawaban ketiga: “Tidak tahu.”

Blog ini dimaksudkan untuk membangun wacana bahwa sesungguhnya sangat mungkin kondisi bebas banjir itu dicapai.

Istilah Banjir

Berkaitan dengan banjir, terdapat banyak istilah yang kerapkali digunakan baik dalam komunikasi verbal sehari-hari maupun di media masa. Istilah-istilah itu antara lain penanganan banjir, pengendalian banjir, pencegahan banjir, penanggulangan banjir, dan sebagainya.

Dengan mengacu pada Isnugroho (2002), dikenal dua istilah yaitu penanggulangan banjir dan pengendalian banjir. Penanggulangan banjir adalah kegiatan yang dilaksanakan selama banjir sedang berlangsung dan sesudah banjir berlalu. Sedangkan pengendalian banjir adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengupayakan agar tidak terjadi banjir.

Berkaitan dengan pengendalian banjir terdapat dua kegiatan pokok. Pertama, kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai. Kedua, kegiatan yang ditujukan untuk memperbesar daya tampung (kapasitas alur sungai).

Secara umum, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pengendalian banjir selama ini gagal. Pertama, tidak terintegrasinya pendekatan biofisik dan pendekatan institusi dalam berbagai program penanganan banjir. Kedua, meski peran masyarakat dianggap penting, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat, secara tidak disadari, kerap masih dianggap sebagai non-faktor.

Karena itu, solusi penanganan banjir ke depan harus mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek institusi, dan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama dalam proses pengendalian banjir.

Pengertian institusi di sini mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh North (1990) dan Rodgers (1994) dalam Nugroho (2006), dimana institusi diartikan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-larangan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku dalam masyarakat atau organisasi

Tulisan ini lebih banyak difokuskan pada ikhtiar untuk pengendalian banjir yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai melalui aktifitas yang mengintegrasikan pendekatan biofisik dan institusi.

Tiga perspektif.

Melalui pendekatan pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan banjir setidaknya dapat diterangkan dengan tiga perspektif.

Pertama, banjir sebagai fenomena debit puncak (peak discharge). Banjir terjadi karena debit puncak tidak dapat ditampung oleh dimensi sungai / saluran. Jika DAS dipahami sebagai sebuah hamparan wilayah, dimana hujan yang jatuh di hamparan wilayah itu akan menuju ke sungai yang sama, maka debit puncak merupakan akumulasi dari debit run off (limpasan permukaan) yang berasal dari tiap persil lahan di DAS yang bersangkutan.

Keberadaan persil lahan, yang melekat hak kepemilikan (property right) di dalamnya, memperoleh penekanan di sini. Persil lahan dapat berupa persil hutan, persil perkebunan, tanaman pangan, permukiman, industri, lahan basah, semak, dan sebagainya. Kepemilikan dapat berupa pemilikan oleh negara (state property), individu atau badan hukum swasta (private property), dan pemilikan bersama (common property), serta persil-persil yang secara de facto dapat dikategorikan open access.

Banjir Jakarta 2005

Banjir Jakarta 2005

Dari perspektif ini, maka jika kita ingin mengendalikan banjir, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS itu, harus ikut serta menurunkan debit limpasan yang keluar dari persil lahannya masing-masing.

Kedua, banjir sebagai akibat meningkatnya koefisien limpasan DAS, yaitu nisbah antara banyaknya air hujan yang menjadi limpasan permukaan dengan banyaknya air hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan. Setiap jenis penggunaan tanah memiliki koefisien limpasan yang berbeda. Koefisien limpasan suatu DAS merupakan rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan masing-masing persil lahan. Jadi, jika kita ingin mengendalikan banjir (mengurangi koefisien limpasan DAS), maka setiap warga DAS harus berpartisipasi untuk menurunkan koefisien limpasan pada persil lahannya masing-masing.

Ketiga, banjir sebagai produk dari eksternalitas hidrologi yang negatif. Debit limpasan yang keluar dari setiap persil lahan, yang kemudian menyebabkan banjir, merupakan eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil lahan itu. Setiap warga DAS berpotensi menjadi produsen eksternalitas hidrologi yang negatif, dimana biaya eksternalitasnya ditanggung oleh warga di hilir dalam bentuk banjir. Dari perspektif ini, maka banjir dapat dikendalikan jika setiap warga DAS melakukan upaya internalisasi.

Ketiga perspektif tersebut pada dasarnya menerangkan hal yang sama, bahwa untuk mengendalikan banjir di suatu wilayah DAS, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di wilayah DAS yang bersangkutan, harus melakukan ”sesuatu” yaitu mengadakan atau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan di persil lahannya masing-masing.

Setidaknya terdapat dua rumpun teknologi untuk membangun sistem genangan atau sistem resapan di setiap persil. Pertama, rumpun teknologi konservasi tanah dan air. Dan kedua, rumpun teknologi pemanenan air hujan (rain water harvesting). Rumpun teknologi yang terakhir ini terutama dikembangkan di wilayah dengan curah hujan (CH) rendah (dibawah 1000 mm per tahun). Namun dengan berbagai kejadian kekeringan yang cenderung makin panjang akibat perubahan iklim global, teknologi pemanenan air hujan ini tampaknya harus mulai diperkenalkan di DAS yang memiliki CH tahunan yang relatif tinggi sekalipun.

Dua pendekatan terhadap perilaku

Dari pembahasan di atas, maka pengendalian banjir terutama berkaitan dengan perilaku warga DAS. Yaitu, bagaimana agar setiap warga DAS mau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan (dengan teknologi konservasi tanah dan air atau teknologi pemanenan air hujan) di persil lahannya masing-masing.

Setidaknya terdapat dua pendekatan untuk memahami aspek perilaku ini, yaitu pendekatan normatif (normative approach) dan pendekatan pilihan rasional (rational choice approach). Menurut pendekatan normatif, seorang individu atau sebuah kelompok akan berperilaku tertentu karena didorong oleh apa yang disebut sebagai logika kepatutan (logic of approriateness). Logika ini sendiri merupakan hasil dari pemahaman kognitif dan proses internalisasi yang memakan waktu yang relatif lama.

Sedangkan menurut pendekatan pilihan rasional, perilaku individu atau kelompok merupakan respon terhadap aturan main (rules) atau insentif (incentives) yang ada. Aturan main ini dapat berupa aturan formal (formal rules) seperti peraturan perundang-undangan maupun aturan non formal (non-formal rules), misalnya kesepakatan-kesepakatan warga.

Di masyarakat sendiri, ada aturan yang tertulis (written rules) dan ada yang tidak tertulis (unwritten rules). Disamping itu ada aturan-aturan yang ditaati / diikuti (working rules) dan terdapat pula aturan-aturan yang tidak ditaati (non-working rules).

Dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan sumber daya alam, sering kali terdapat aturan yang bersifat formal dan tertulis tapi tidak ditaati atau tidak dapat ditegakan. Tidak tegaknya aturan itu antara lain berkaitan dengan kekurangan biaya untuk menegakannya (enforcement cost) atau berkaitan dengan kapasitas si penegak aturan.

Berbagai pelanggaran tata ruang, yang kerap ditengarai sebagai penyebab banjir, atau okupasi lahan sempadan sungai, dapat diterangkan dengan pendekatan ini. Sedangkan pada masyarakat adat yang memiliki berbagai bentuk kearifan lokal, aturan (rules) yang ada bersifat tidak formal (bukan produk negara), dan bahkan tidak tertulis, tapi justru ditaati.

Sedangkan insentif yang mempengaruhi perilaku dapat beragam mulai dari yang kasat mata, bersifat langsung  dan bernilai ekonomi maupun yang tidak kasat mata, tidak langsung,  dan bersifat non ekonomi.

Dari perspektif kedua pendekatan ini, maka membangun perilaku warga DAS dapat dilakukan dengan berupaya membangun perilaku yang berbasis logika kepatutan, serta membangun aturan dan insentif yang sesuai.

Upaya untuk membangun tindakan berbasis logika kepatutan dapat dilakukan melalui berbagai jenjang pendidikan, serta pendidikan non formal dan informal di masyarakat, serta berbagai bentuk kampanye publik.

Sedangkan yang berkaitan dengan aturan, maka yang justru perlu dibangun adalah bagaimana masyarakat lokal membuat aturan-aturan yang merupakan kesepakatan mereka sendiri di tingkat lokal (non-formal rules), dimana mereka sendiri yang menegakkan aturan-aturan itu. Peran pihak luar adalah sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk membangun kesepakatan-kesepakatan itu serta menfasilitasi perealisasiannya.

Lalu, yang berkaitan dengan insentif, mekanisme imbal jasa hulu hilir serta insentif dalam bentuk tidak kasat mata, seperti aktivitas kerelawanan dan pahala yang dijanjikan setiap agama, dapat digunakan untuk membangun perilaku yang diinginkan dari setiap warga DAS.

Aksi Kolektif Lokal

Aspek penting lain yang kerap kali dilupakan berkaitan dengan pengendalian banjir adalah keharusan untuk adanya aksi kolektif (collective action). Meski tiap individu perlu melakukan ”sesuatu” di persilnya masing-masing, namun aksi individu, bagaimana pun optimalnya, tidak akan pernah efektif untuk menangani sumber daya alam yang memiliki karakteristik public good, seperti air hujan dan air limpasan permukaan.

Aksi Kolektif

Aksi Kolektif

Selain itu, meski terdapat beragam aturan (formal rules) yang mengharuskan individu untuk melakukan ”sesuatu” di persilnya masing-masing, seperti aturan tentang sumur resapan, aturan tentang KDB (koefisien dasar bangunan), dan aturan sempadan sungai, serta aturan tentang keharusan untuk melestarikan lahan pertaniannya, namun aturan-aturan itu dalam kenyataannya tidak bisa ditegakan.

Beberapa riset aksi menemukan bahwa ketika aturan formal sulit ditegakkan karena berbagai sebab, maka yang perlu diintrodusir adalah pengembangan kesepakatan-kesepakatan di tingkat lokal dalam bentuk aksi kolektif. Hal ini identik dengan membangun modal sosial warga.

Pertanyaannya adalah, pada level mana aksi kolektif dilakukan? Dalam berbagai referensi, aksi kolektif sebaiknya dilakukan pada level dimana komunitas itu memiliki tingkat kohesivitas sosial yang tinggi, atau memiliki pengalaman bekerjasama di masa lalu. Itu artinya,  pengendalian banjir dapat terjadi jika terdapat aksi kolektif di tingkat lokal di seluruh wilayah DAS. Think globally, act locally.

Disain kelembagaan

Dari paparan di atas, maka dapat diajukan sebuah kerangka disain kelembagaan untuk pengendalian banjir di suatu DAS.

Pertama, sosialisasi penambahan atribut kewargaan DAS. Karena setiap warga pasti tinggal di satu DAS, maka setiap warga harus mengetahui ia merupakan bagian dari DAS apa. Hal ini penting, karena apa yang dilakukan di persil lahannya secara kolektif akan mempengaruhi perilaku hidrologi DAS yang bersangkutan.

Kedua, fasilitasi aksi kolektif warga DAS. Pelaksanaan aktivitas ini disarankan pada level desa / kelurahan. Itu artinya, di tiap desa / kelurahan perlu difasilitasi terbentuknya semacam organisasi stakeholders lokal, misalnya Komite DAS Ciliwung Kelurahan X, yang akan mengkoordinir aksi kolektif warga di tingkat lokal.

Ketiga, fasilitasi pelatihan dan penyusunan rencana bagi Komite DAS di tiap desa / kelurahan agar mereka mampu membuat rencana untuk menurunkan koefisien limpasan di desa / kelurahan masing-masing. Aktivitas fasilitasi ini juga untuk memastikan agar rencana dari masing-masing Komite DAS di tiap kelurahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Prinsip dalam penyusunan dokumen rencana ini adalah memulai dari apa yang dipahami (teknologi yang dikuasai) oleh masyarakat.

Keempat, fasilitasi implementasi rencana Komite DAS. Prinsip untuk implementasi ini adalah membangun keberhasilan-keberhasilan kecil, mulai dari penerapan teknologi yang sederhana dan murah, seperti penerapan teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB) atau pembibitan tanaman penghijauan, menuju ke teknologi yang lebih rumit dan membutuhkan biaya lebih besar. Untuk aktivitas ini, maka kerja sama berbagai pihak: pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan swasta, menjadi penting.

Kelima, memperkenalkan konsep relawan DAS. Peran lain Komite DAS di tiap desa / kelurahan adalah mengajak setiap warga DAS di desa / kelurahan yang bersangkutan yang peduli, mulai dari anak sekolah sampai orang dewasa, untuk menjadi relawan DAS. Tugas mereka adalah mengimplementasikan rencana yang telah dibuat. Penggunaan atribut-atribut relawan bekerjasama dengan pihak sponsor swasta dapat dipertimbangkan.

Keenam, memfasilitasi terbangunnya jaringan antar sesama Komite DAS Desa / Kelurahan, serta jaringan antara Komite-Komite DAS dengan institusi-institusi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan dunia usaha.

Tugas pemerintah dalam disain kelembagaan seperti ini adalah menfasilitasi terbentuknya Forum DAS di tiap-tiap DAS, dimana Forum DAS ini nantinya akan bertugas menfasilitasi terbentuknya Komite DAS di tiap desa / kelurahan di DAS yang bersangkutan.

Disain kelembagaan yang polisentris seperti ini diharapkan dapat menjadi alternatif terhadap rendahnya kinerja pemerintah (di berbagai level) dalam pengendalian banjir di Indonesia selama ini.

Dan, jika disain kelembagaan seperti ini diterapkan secara konsisten, maka bebas banjir bukanlah sesuatu yang mustahil.

depok, sahroel polontalo (085885317653)

Perlu Contoh dari Istana

Sahroel Polontalo

Banjir pada Jumat, 1 Pebruari 2008, membuat berbagai fasilitas vital di Jakarta lumpuh. Presiden Bambang Susilo Yudhoyono harus berganti kendaraan, karena sedan yang ditumpangi tak dapat menembus genangan banjir di depan Sarinah. Bandara Soekarno – Hatta lumpuh total. Kerugian mencapai miliaran rupiah.

http://sanyasyari.com

SBY ganti kendaraan. Sumber: http://sanyasyari.com

Menurut BMG, curah hujan yang berlangsung sejak pukul 07.00 – 13.00 pada hari itu adalah 171 mm. (Kompas, 2 Pebruari 2008). Apa artinya? Itu berarti curah hujan yang jatuh di lahan seluas 1 m2 adalah setebal 171 mm atau 17,1 cm. Jadi pada lahan 100 m2, misalnya, volume curah hujan yang jatuh di atasnya adalah sebanyak 100 x 0,171 m3 = 17,1 m3.

Ketika itu, Istana Negara ikut kebanjiran. Dengan curah hujan seperti di atas, maka pada persil lahan istana seluas 6,8 ha (68.000 m2), jumlah air yang jatuh di persil lahan Istana Presiden adalah sebanyak 68.000 x 0,171 m3 = 11.628 m3. Pertanyaannya adalah berapa banyak bagian air hujan yang jatuh di persil lahan istana itu yang tertahan (terinfiltrasi atau tergenang pada cekungan-cekungan) di persil tersebut? Dan berapa banyak bagian air hujan yang menjadi aliran permukaan (run off) yang keluar dari persil lahan istana?

Dalam kajian ilmu lingkungan, bagian air hujan yang keluar dari persil lahan istana itu adalah eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil lahan itu. Yang menanggung biaya eksternalitas itu adalah para pengguna jalan yang tergenang di sekitar istana, yang airnya antara lain berasal dari persil lahan istana. Ironi, memang, jika persil lahan istana justru menghasilkan eksternalitas yang memudharatkan seperti itu.

wikimapia

Istana Negara. Sumber: wikimapia

Untuk mengatasinya, pihak yang menguasai persil lahan istana itu harus melakukan internalisasi. Itu artinya, perlu dibangun sistem genangan (untuk memperbesar kapasitas genangan) dan atau sistem resapan (memperbesar kapasitas resapan) di persil itu untuk meminimalisir eksternalitas negatif tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah mungkin tidak ada bagian air hujan yang jatuh di persil lahan istana yang keluar dari persil tersebut? Dengan asumsi bahwa terdapat ketersediaan dana yang cukup di lingkungan istana, maka sangat mungkin untuk pembangunan sistem genangan dan atau sistem resapan di istana, sehingga tidak menghasilkan eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil itu.

Beberapa teknologi sederhana yang dapat diterapkan sebagai bagian dari sistem genangan dan atau sistem resapan di persil istana untuk volume sebanyak 11.628 m3 tersebut, antara lain: kolam-kolam infiltrasi, fasilitas-fasilitas penampungan air hujan (rain water harvesing), yang airnya dapat digunakan untuk menyiramtaman-tamandi istana, parit resapan / parit buntu yang dikombinasi dengan mulsa vertikal, penghijauan, penggunaan pupuk organik untuk menggemburkan lahan, lubang resapan biopori, sumur resapan biasa, serta sumur resapan yang menembus lapisan akuifer.

Penerapan berbagai teknologi itu, disamping meminimalisir eksternalitas hidrologi yang negatif, juga akan berkontribusi positif terhadap cadangan air tanah Jakarta yang makin kritis. Itu artinya, mengatasi banjir dan kekeringan tidak cukup dengan memperluas kawasan ruang terbuka hijau (RTH) belaka. Perluasan kawasan RTH harus dikombinasikan dengan upaya memperbesar kapasitas genangan dan kapasitas resapan dari tiap persil lahan, baik persil lahan RTH maupun non-RTH.

Setelah ada contoh dari istana, berbagai teknologi itu harus juga diterapkan di persil lahan di seberang istana, yaitu kawasan Monas, sehingga masyarakat dapat melihat dan mencontohnya.

Jika ada contoh dari Istana Presiden, maka akan sangat mungkin untuk dapat diterapkan juga pada persil-persil di kantor Istana Wakil Presiden, lahan-lahan kantor pemerintah di pusat, propinsi, dan kota/kabupaten, kemudian di persil-persil lahan kantor swasta.

Jika ada contoh di Monas, maka penerapannya sangat mungkin dilakukan di taman-taman lain, baik yang dikelola oleh pemerintah daerah atau taman-taman swasta / pribadi.

Presiden juga dapat berinisiatif membuat sistem genangan dan atau sistem resapan di rumah pribadinya Puri Cikeas, bahkan kalau mungkin, untuk curah hujan sebesar yang turun pada hari Jumat itu, tidak ada bagian dari air hujan yang jatuh di persil lahan itu yang mengalir keluar dari persil lahan Puri Cikeas. Asumsinya, Presiden memiliki dana dan kemauan untuk itu.

Jika ada contoh dari persil lahan Puri Cikeas, maka hal itu mungkin dapat dicontoh oleh wakil presiden, para menteri dan para pejabat di negeri ini untuk menerapkan di rumahnya masing-masing. Lalu dapat dicontoh di rumah-rumah para pegawai negeri sipil (PNS), di rumah-rumah karyawan BUMN, dan di rumah-rumah karyawan swasta.

Tanpa contoh dari istana, dan tanpa contoh dari Presiden serta dari para pejabat di negeri ini, mungkin tidak terlalu arif untuk mengajak masyarakat menerapkannya.

depok, sahroel polontalo

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.