MEMAHAMI FENOMENA BANJIR
Oleh Sahid Susanto
Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta
Sumber : Republika, 9 Januari 1996; http://www.hamline.edu/
Media massa akhir-akhir ini melaporkan terjadinya banjir di beberapa daerah, khususnya di Sumatra dan Jawa. Dari Bengkulu dilaporkan saluran induk yang melayani sawah semiteknis seluas 100 ha jebol sepanjang 70 meter, terutama yang melewati Desa Karangpinang, Kecamatan Padang Ulak Tanding (Rejanglebong). Menurut Kepala Dinas PU Tk I Bengkulu, ada sekitar 49 daerah irigasi yang rusak karena banjir musim hujan tahun lalu (Kompas, 16/11).
Kemudian banjir di wilayah DKI Jakarta beberapa hari ini telah melumpuhkan lalu lintas, stasiun KA Tanahabang, dan merusak berbagais sarana lainnya. Padahal, banjir yang terjadi ini hanya merupakan luapan dua dari 13 sungai yang membelah kota Jakarta, yaitu sungai Pesanggrahan dan Ciliwung. Sejauh ini, sudah tiga orang tewas akibat luapan Sungai Ciliwung.
Banjir yang terjadi sekarang ini masih berada di awal bulan musim hujan. Puncak musim hujan biasanya terjadi di bulan Februari sampai Maret. Pada bulan itulah biasanya terjadi banjir di mana-mana. Yang mencemaskan adalah pada bulan itu pula tanaman padi sudah menjelang masa panen. Adakah fenomena alam itu sudah merupakan hal yang biasa? Ataukah terjadi sesuatu perubahan hingga hukum alam mengharuskan memberikan respon seperti itu?
Dari seminar nasional sehari tentang fenomena watak banjir yang diselenggarakan Fakultas Teknik UGM, Senin (13/11/95), terungkap bahwa pada periode ulang yang sama telah terjadi kenaikan debit puncak yang cukup signifikan di beberapa sungai di Indonesia. Padahal, dari sisi hujan belum ada petunjuk yang dapat cukup dipercaya terhadap perubahan wataknya.
Tak perlu diperdebatkan bahwa faktor utama yang menyebabkan perubahan watak banjir tersebut adalah akibat tuntutan peralihan penggunaan lahan yang kurang mengakomodasi terjadinya proses pengisian air kembali (recharge) ke dalam simpanan air tanah (groundwater storage). Masalahnya sekarang bagaimana usaha yang perlu dilakukan agar tuntutan kebutuhan peralihan lahan berlangsung tanpa menjadikan siklus air yang sudah menjadi hukum alam itu tidak bergeser ke arah yang tidak menguntungkan, seperti banjir.
Dengan semakin majunya alat menghitung, termasuk komputer, manusia akhir-akhir ini telah mampu mempercepat dan membuat jauh lebih teliti usaha membuka tabir rahasia proses terjadinya siklus air di alam yang sangat kompleks itu. Banyak variabel kunci yang telah ditemukan para ahli, hingga faktor yang menentukan dalam usaha untuk menemukan kesetimbangan yang serasi dan berkesinambungan antara kebutuhan dan penyediaan air, termasuk dalam pengendalian banjir, sebetulnya sudah diketahui. Substansi persoalannya akhirnya kembali pada berbagai bentuk hambatan yang datangnya dari manusianya sendri.
Hal ini bisa dimulai dari sisi institusional. Banyak sekali pengambilan keputusan/izin pembangunan oleh pemerintah, yang dikeluarkan dari berbagai departemen, ternyata erat hubungannya dengan proses terjadinya banjir. Dari sisi ini tampak bahwa konflik berbagai kepentingan yang tidak diselesaikan secara koordinatif dan terbuka untuk mendapatkan hasil keputusan yang optimal tampaknya masih selalu dominan. Yang sering terjadi adalah pertimbangan untuk mempertahankan wilayah resapan (recharge area) atau retensi permukaan (penampungan air sementara) selalu terkalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.
Dapat diberikan contoh kasus pembangunan pemukiman mewah di Bandung Utara, belum tuntasnya penyelesaian penataan tata ruang di kawasan Puncak, rencana pembangunan Pantura Jakarta, dan berbagai kasus serupa lainnya, memberikan gambaran kenyataan itu.
Dari sisi instrumen hukum, seperti peraturan dan perundang-undanganan, memberikan nuansa tersendiri. Berbagai produk hukum, walaupun beberapa agak ketinggalan, sebetulnya sudah terdapat klausul yang berusaha mengatur pemanfaatan sumber daya alam, termasuk mengatur berbagai kepentingan manusia agar bisa menekan terjadinya banjir, baik secara langsung maupun tidak. UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pengairan, UU Tata Ruang, UU Pertambangan, UU Pokok-Pokok Kehutanan, berikut peraturan di bawahnya, merupakan beberapa contoh dari peraturan perundang-undangan yang telah mempertimbangkan hal itu. Tapi dalam pelaksanaannya (law enforcement) tampaknya masih belum mencapai sasaran seperti yang diharapkan banyak orang. Adanya contoh beberapa kasus di atas memberikan indikasi ke arah itu.
Sisi ekonomi dan finansial juga memberikan andil tersendiri. Berbagai pembangunan fisik dan nonfisik yang strategis dan skala besar dan berkaitan langsung dengan pengendalian banjir masih banyak yang dibiayai oleh dana bantuan luar negeri. Situasi ini tampaknya masih akan terus berlangsung. Menerima bantuan dana dari luar negeri untuk mengatasi masalah banjir membawa konsekuensi tersendiri. Seperti dimaklumi, pembangunan sektor ini bukan merupakan investasi yang akan memberikan pengembalian modal dalam bentuk keuntungan langsung (nonprofit oriented); bahkan bersifat sosial.
Dengan demikian, dari pertimbangan ekonomi nasional, ada rambu-rambu yang harus ditaati. Dapat dicontohkan seperti nilai DSR (Debt Service Ratio), laju inflasi, total kumulatif utang, transaksi neraca berjalan, merupakan tolok ukur pertimbangan agar supaya kita tidak terjebak dalam utang yang sulit diatasi (debt trap).
Status pemilikan lahan juga merupakan salah satu penghalang dalam program pengendalian banjir. Kita melihat banyak pemukiman, khususnya di kota besar, yang dibangun secara tidak legal di daerah bantaran sungai. Hal ini tentu saja akan menimbulkan berbagai persoalan lanjutan yang berkaitan langsung maupun tidak dengan banjir. Tersumbatnya saluran akibat pembuangan sampah penduduk di pemukiman ini merupakan contoh nyata yang masih saja terjadi.
Kemudian, adanya peralihan kepemilikan lahan sawah beririgasi menjadi pemukiman, industri, atau kepentingan nonpertanian lainnya akan menghilangkan fungsi lahan itu sebagai retensi permukaan maupun penambah simpanan air dalam tanah. Dari data yang ada, perubahan ini sudah mencapai angka yang merisaukan. Pada kurun 1991-1993 saja, perubahan lahan sawah beririgasi ini telah mencapai lebih dari 100.000 ha. Jabar dan Jatim mencapai lebih dari 50%-nya. Sisanya tersebar di berbagai daerah kantong-kantong produksi beras di luar Jawa seperti di Sumbar, Sumsel, Sulsel. Diperkirakan, biaya pembangunan sawah beririgasi mencapai Rp 10 juta/ha.
Dari sisi terkonsentrasinya penduduk di suatu wilayah tertentu, seperti di beberapa kota besar, timbul berbagai persoalan yang berkaitan langsung maupun tidak dengan banjir. Kasus banjir yang setiap tahun melanda wilayah Jakarta, misalnya, tak terlepas dari persoalan penduduknya yang telah mencapai 8 juta itu. Situasi penduduk yang demikian dari sudut pengendalian banjir bisa dikatakan menjadikan pusat segala persoalan. Berbagai program, baik yang bersifat pembangunan fisik (mis: pembangunan banjir kanal) maupun nonstruktural (mis: rencana induk penataan ruang) telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi banjir di DKI ini.
Program yang terakhir, seperti disinyalir oleh Ir Siswoko Dipl HE, Pimpinan Proyek Induk PWS Ciliwung-Cisadane — dua sungai besar yang membelah kota Jakarta itu — sudah ada rencana untuk membuat Rencana Induk Pengendalian Banjir DKI sampai tahun 2025, sebagai modifikasi rencana induk yang sudah sulit diberlakukan lagi.
Partisipasi masyarakat tampaknya juga merupakan hambatan dari sisi lain. Program pengendalian banjir bukan hanya tugas pemerintah, tapi harus diikuti dengan partisipasi yang tinggi dari masyarakat banyak. Dapat dicontohkan seperti kesadaran untuk tidak membangun pemukiman di kawasan recharge area, di sepanjang bantaran sungai, bahkan di muara sungai yang merupakan mulut pengaturan banjir; atau larangan untuk tidak membuang sampah dan sisa limbah ke sungai, tidak mengambil air tanah tanpa terkendali, merupakan beberapa contoh yang pelaksanaannya memerlukan partisipasi masyarakat banyak.
Apa yang dikemukakan di atas hanya mencoba untuk menemukan hambatan-hambatan dari sisi yang datangnya dari manusia sendiri, dalam upaya kita memahami fenomena perubahan watak banjir. Tanpa mengurangi penghargaan yang telah dan akan dilakukan oleh pengambil keputusan, ada hal yang perlu diingat bahwa segala bentuk program yang berkaitan dengan pengendalian banjir itu sepertinya tidak akan menjadi bermanfaat secara maksimal, atau bahkan menjadi tidak berguna, bila pemahaman tentang hambatan yang datangnya justru dari manusia sendiri kurang mendapat perhatian.
Keterbatasan air yang tidak bisa disediakan untuk keperluan manusia dalam jumlah dan waktu yang tepat, dan sebaliknya kelebihan air yang menimbulkan kerusakan, akan menurunkan tingkat kepuasan hidup manusia. Dalam kondisi yang kritis, itu akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik yang sifatnya ekonomis maupun politis. Besarnya hambatan dari sisi manusia ini kadang dapat betul-betul menyusahkan atau menjadikan frustrasi para perencana kebijaksanaan jangka panjang.
Walaupun tulisan ini disadari belum memberikan suatu saran dalam menyelesaikan persoalan secara menyeluruh, tapi paling tidak bisa memberikan informasi bagi para perancang kebijaksanaan dan pengambil keputusan bahwa hambatan yang timbul dari manusianya sendiri dalam menemukan kesetimbangan yang serasi dan berkesinambungan antara kebutuhan dan permintaan air itu memang ada.
Tinggalkan komentar