BebasBanjir2015

Marco Kusumawijaya

Kota Bebas Banjir?

Marco Kusumawijaya
(Arsitek perkotaan, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (2006-2009))

Siklus Banjir

Banjir terjadi karena ada selisih positif antara jumlah air yang turun ke bumi dengan jumlah air yang diserap dan dialirkan melalui jalur-jalur yang dikhususkan baginya, pada suatu wilayah dan waktu tertentu. Selisih ini mengalir atau menggenang di tempat-tempat yang tidak dimaksudkan untuknya.

Siklus banjir tidak sama dengan siklus cuaca atau hujan. Siklus banjir adalah siklus dari selisih air tersebut di atas. Jumlah air yang menguap dari, dan turun kembali ke, bumi adalah sama setiap tahunnya hingga beberapa dasawarsa terakhir, ketika pemanasan global membuatnya cenderung terus bertambah, dan air ini jatuh ke bumi dalam rentang waktu yang cenderung makin pendek. Jumlah air ini tidak bersifat siklis. Yang bersifat siklis adalah kemampuan prasarana (buatan manusia!) mengalirkan air dan permukaan bumi menyerap air (yang tergantung kepada perilaku manusia juga).

Saluran dirancang dengan parameter beban tertentu yang diperkirakan akan mencapai maksimum dalam jangka waktu tertentu, misalnya lima atau sepuluh tahun ke depan. Beban ini akan naik karena peningkatan kegiatan dan pembangunan oleh manusia, di samping peningkatan jumlah uap air oleh pemanasan global. Siklus terbentuk karena selisih di atas menjadi positif ketika parameter itu dilampaui, dan menjadi negatif kembali ketika prasarana baru dibangun, sampai menjadi positif lagi ketika kapasitas prasarana tambahan itu terlampaui lagi. Kapasitas resapan juga bersiklus seperti di atas dikarenakan sebab yang sama.

Yang ingin ditekankan adalah bahwa yang bersifat siklus itu banjirnya, bukan cuaca atau hujannya. Yang menentukan siklus itu adalah kemampuan suatu wilayah mengalirkan dan menyerap air. Dan yang menentukan ini adalah MANUSIA, bukan alam.

Tata kota dapat mengurangi banjir sejauh ia memberi ruang untuk suatu sistem menyerap dan mengalirkan air sedemikian rupa sehingga tidak terjadi selisih positif yang liar di atas.

Berbagai sebab banjir dan genangan

Kampung Melayu banjir oleh luapan Ciliwung. Kawasan Cipinang oleh luapan sungai lain lagi. Sedang Kelapa Gading tergenang oleh air hujan yang terjebak di dalamnya, tersebab sistem saluran yang tidak sampai mengalirkan air ke tempat parkir terakhir yang mencukupi (laut atau waduk penampung). Halaman kompleks Sarinah dan Jalan Thamrin di depannya tergenang karena saluran yang rusak, tidak memadai, atau terlampaui kapasitasnya. Pada sungai yang meluap, faktor “kiriman” menonjol, sedang pada genangan kawasan yang jauh dari sungai, faktor hujan menonjol. Tetapi semuanya tidak dapat dipisahkan 100% satu dari lainnya, ada kait-mengait di antara semuanya.

Empat dimensi penanganan: hulu, hilir, menyerap dan mengalir

Beberapa prinsip di bawah ini kiranya dapat dijabarkan lebih lanjut untuk menata kota menanggulangi banjir:

1. Keseimbangan antara menyerapkan dan mengalirkan air.

Untuk mengalirkan air diperlukan sungai dan saluran membawa air ke tujuan akhir, misalnya laut atau waduk, sehingga tidak mengganggu kegiatan manusia.

Untuk menyerapkannya diperlukan ruang terbuka dengan tanah yang menyerap air. Umumnya tanah berupa campuran lempung yang menggenangkan air, dan pasir yang menyerapkan air. Meningkatkan daya serap tanah berarti meningkatkan (sifat) pasir dari tanah. Tumbuhan dapat memperlambat jatuhnya air ke tanah (berarti: menunda air mengalir di permukaan dan menyerap ke dalam tanah) dan memegang air lebih lama pada daerah di sekitar akarnya.

Umumnya sifat tanah asli Jakarta mengandung banyak lempung, sehingga memang kemampuan menyerapnya relatif rendah. Jadi meningkatkan daya serap kota Jakarta terhadap air tidak cukup hanya dengan memperluas ruang terbuka, tetapi harus dibarengi dengan mengubah tanahnya agar lebih menyerap air. Ruang terbuka yang tertutup aspal tidak berguna sebagai penyerap air. Ruang-ruang terbuka yang besar dan bersifat khalayak makin menyusut di Jakarta. Proses ini harus dihentikan. Selain itu di setiap kavling lahan masih terdapat ruang terbuka berupa halaman. Bila ini dijumlahkan, maka besar sekali. Jadi meningkatkan daya serap Jakarta dapat juga dilakukan pada halaman-halaman ini, tidak selalu harus pemerintah membebaskan lahan baru sebagai ruang terbuka. Meningkatkan daya serap tiap-tiap halaman ini punya dua keuntungan efektif. Pertama, ia merata di seluruh Jakarta. Kedua, ia membangkitkan peran serta masyarakat.

Menyerapkan air berguna memperbaiki air tanah, dan akhirnya memperbaiki struktur tanah, serta melawan intrusi air laut. Ruang terbuka hijau juga penting untuk pemurnian udara dan fungsi sosial.

Penyerapan air perlu dilakukan di hulu maupun hilir, di seluruh daerah tangkapan air. Penyerapan air membantu keberkelanjutan bila dilakukan oleh tiap kavling lahan, karena tidak memindah-mindahkan masalah (aliran air buangan) ke tempat lain, menyelesaikannya pada sumbernya, dan memotong pertumbuhan “demand” dan “beban” pada khasanah khalayak.

Ruang terbuka perlu menerapkan pengelolaan yang aktif (active management) dengan peranserta warga, sehingga tidak diserobot oleh fungsi dan kepentingan lain, dan bermanfaat dalam berbagai dimensi sehingga kedudukannya di tengah-tengah masyarakat menjadi kuat.

2. Keseimbangan antara tindakan kolektif dan tindakan individual

Tindakan individual dan kolektif pada tingkat kecil (RT, RW, komunitas) perlu ditekankan untuk membangun modal sosial yang akan menjamin keberlanjutan. Kesibukan menuntut pemerintah melakukan segalanya justru akan memperpanjang mentalitet feodal berupa ketergantungan, inertia, dan membuat biaya lingkungan makin tinggi. Misalnya, membangun saluran kolektif yang lebih besar, karena kegagalan individual untuk menyerapkan air pada lahannya masing-masing, adalah lebih mahal secara ekonomi maupun lingkungan. Inilah sebabnya pendekatan “menyerapkan air” lebih ramah lingkungan secara sosial, selain secara ekologis. Pada prinsipnya sebanyak mungkin harus dilakukan oleh individu atau kolektif yang terkecil, sebelum diputuskan untuk naik ke tingkat berikutnya. Tapi tindakan individual yang salah bisa juga memperparah keadaan. Misalnya upaya tiap rumah berlomba-lomba meninggikan rumahnya sama sekali tidak menyelesaikan masalah banjir, tapi malah memperparah. Begitu juga penggunaan AC, yang sebenarnya hanya memindahkan panas dari ruang privat dan menumpukkannya ke ruang khalayak.

3. Tindakan sekaligus pada berbagai skala: lokal, nasional, dan global.

Kita tidak dapat lagi menghabiskan waktu meragukan dan berheran-heran tentang pemanasan global. Pemanasan global adalah fakta, bukan teori. Musim kering yang panjang, musim hujan yang singkat, jumlah air yang meningkat, adalah satu dasar penting bagi Indonesia untuk terlibat aktif dalam politik lingkungan pada skala global. Juga sangat tidak produktif memperdebatkan siapa yang paling bertanggung jawab. Semua orang dan pihak bertanggung-jawab, tetapi memiliki peran yang berbeda-beda. Sebab itu ada prinsip “shared responsibility, differentiated roles.” Pemimpin tentu saja tidak dapat menggunakan ini sebagai alasan berdiam diri. Perannya adalah memimpin, berprakarsa. Keseimbangan penanganan pada hulu dan hilir perlu melibatkan berbagai daerah dan pemerintah pusat. Begitu juga penanganan sosial-ekonomi seperti pada kemiskinan, juga memerlukan tindakan pada tingkat nasional.

4. Keseimbangan antara tindakan di kawasan hulu dan hilir.
Sebagian air yang melewati Jakarta berasal dari wilayah hulu di luar batas administrasinya. Membangun kanal di Jakarta saja, tanpa mengurusi kawasan hulu di Bogor dan lain-lain, sama seperti menunggu air tanpa tahu berapa jumlahnya.

5. Keseimbangan antara eksploitasi dan investasi lingkungan.
“Susainable city is a possible dream,” kata Prof. John Friedman di World Urban Forum, tanggal 19 Juni 2006. Lanjutnya, “It means a city embedded in its region.” Maksud nya kota-kota harus bertanggung jawab untuk memelihara lingkungan sekitarnya, dengan melakukan re-investasi sehingga kota dan lingkungannya tersebut merupakan suatu kesatuan aset yang berkelanjutan. Kenyataannya, melalui konsep ecological footprint, kita kini dapat melihat jelas bahwa setiap kota sebenarnya “membebani” wilayah yang lebih luas daripada tapak fisiknya sendiri. Hal yang sama mungkin terjadi pada setiap kavling di dalam kota Jakarta. Pembangunan berlebihan pada tiap-tiap kavling sebenarnya bukan saja membebani diri sendiri tetapi juga membebani lingkungannya. Ini berarti bukan Jakarta harus berhenti membangun, tetapi kompensasi dari setiap pembangunan per kavling harus dihitung lebih cermat sehingga seluruh beban lingkungan tambahan yang ditimbulkannya dapat sungguh terbayar. Akibat terburuk dari kebijakan ini mungkin adalah sebagian investasi akan lari ke kota lain. Hal ini malah baik!

6. Keseimbangan antara solusi teknis dan solusi sosial-politik, budaya dan ekonomi.

Tanah, air, ruang dan lingkungan adalah barang sosial. Sebab itu semua tindakan padanya pasti memiliki dimensi-dimensi sosial. Soal ini hendaknya menyangkut bukan hanya substansi kebijakan, tetapi juga proses penyusunan kebijakan. Pasca-Suharto sudah seharusnya kita menjadi “beradab”, menganggap rakyat sebagai pemilik negeri ini. Mereka berhak tahu secara transparan tentang segala hal dan serta dalam membuat keputusan. Sekarang kita mulai mendengar pemerintah nyeletuk dengan gagasan-gagasan fragmentarik seperti membangun 200 situ, di samping beberapa rencana lainnya. Masyarakat berhak tahu lebih spesifik: Mengapa 200? Seberapa jauh mereka dapat mengurangi banjir, bagaimana cara kerjanya? Kita tidak bisa menilai 200 situ itu cukup atau efektif kalau tidak dikaitkan dengan keseluruhan rencana, dengan parameter yang jelas, dan dimensi-dimensi yang terukur. Masyarakat juga perlu diberitahu peta semua faktor penyebab banjir dan, lebih penting lagi, besarnya kontribusi dari masing-masing faktor tersebut. Mereka berhak akan strategi jitu dengan pilihan-pilihan dan konsekuensi-konsekuensi yang jelas.

sumber: Marco Kusumawijaya (marcokw@centrin.net.id)

Banjir, Pelajaran Sudah Cukup!

Marco Kusumawijaya

Pelajaran pertama: sejak tahun 1920-an, semua rencana penanganan banjir gagal dilaksanakan oleh birokrasi, baik itu yang kolonial maupun yang pascakolonial. Ini berarti jangan lagi membuat rencana di luar kemampuan birokrasi untuk melaksanakannya.

Atau pada setiap rencana sebaiknya terkandung komponen peningkatan kapasitas birokrasi yang sejalan dan sesuai dengan kebutuhan melaksanakan rencana itu. Tanpa birokrasi yang mumpuni, apa pun gagasan yang baik tidak akan terlaksana dengan baik. Lihatlah sekarang kasus busway dan pelestarian Jakarta Kota.

Pilihan lain adalah menyerahkan seluruhnya kepada swasta. Namun, ini menuntut adanya model ekonomi sehingga pembiayaan masyarakat dapat secara langsung disalurkan kepada swasta. Ini ada baiknya bila potensi sepenuhnya didayagunakan: mendorong efisiensi dan efektivitas, serta mendorong pembebanan biaya lingkungan langsung kepada masyarakat, seperti pajak khusus yang earmarked hanya untuk keperluan itu.

Rencana van Breen tahun 1920-an dibuat pada masa puncak pertumbuhan ekonomi kolonial berbasis eksploitasi alam, bahkan mempertimbangkan perubahan tata guna lahan hutan menjadi perkebunan teh di Puncak, Jawa Barat. Jadi, ada penyelarasan waktu untuk memetik sebagian nilai tambah dari proses eksploitasi itu untuk investasi pada lingkungan.

Baik diingat juga bahwa pada saat bersamaan ada pengembangan kawasan Menteng dan sekitarnya yang memang memerlukan perlindungan banjir. Sayang kita tidak bisa mengandaikan model pembiayaan pemerintah kolonial seperti apa yang akan diterapkan seandainya Perang Dunia II tidak terjadi.
Model pembiayaan

Pelajaran itu menegaskan bahwa suatu model ekonomi harus ada dengan jelas untuk membiayai rencana penanganan banjir. Model itu antara lain bertugas menuai nilai tambah dari 20 tahun ke depan yang akan dihasilkan oleh ekonomi kota ini untuk diinvestasikan sekarang.

Mekanismenya harus jitu. Kalau tidak, akan terjadi korupsi dan dana disalahgunakan untuk keperluan lain, seperti pada kasus dana reboisasi di masa Soeharto. Jumlah dana yang direncanakan harus cocok dengan yang dapat dikumpulkan. Kalau tidak, rencana akan tinggal rencana.

Mulai sekarang sudah harus ada mekanisme untuk menarik, menabung, sebagian dari pendapatan kota ini khusus untuk penanganan banjir. Perlu diperiksa apakah undang-undang kita memungkinkan hal ini. Model milieuverbetering belasting (pajak perbaikan lingkungan) seperti di Belgia perlu dipelajari.

Di Hamburg, Jerman, air buangan ke saluran juga kena retribusi karena membebani prasarana yang merupakan investasi kota. Retribusi ini tidak dikenakan pada air yang diserapkan ke tanah, termasuk yang digunakan sengaja untuk menyiram tanaman.

Di Jakarta ini dapat digunakan untuk mendorong konservasi air tanah dengan sumur resapan dan teknik-teknik menyerapkan air lainnya di halaman masing-masing.

Insentif seperti ini, dibarengi dengan disinsentif bila membuangnya ke saluran kota, dapat diterapkan secara progresif dari rumah tinggal kecil, besar, hingga kompleks komersial dan industrial. Perlu kerja keras merumuskan perangkat hukum dan kelembagaan.

Kita harus menerima kenyataan bahwa biaya membangun dan mengeruk untung di Jakarta itu memang harus lebih mahal karena biaya lingkungannya harus ditanggung oleh setiap investasi.

Biaya lingkungan itu harus diinternalisasikan ke dalam biaya investasi. Inilah salah satu fungsi model ekonomi pembangunan yang harus diadakan dalam rangka perbaikan lingkungan. Kalau karena “biaya (lingkungan) yang mahal” ini lalu pertumbuhan di Jakarta menurun, maka terjadilah; terimalah.

Justru dengan demikian pembangunan dan investasi akan menyebar ke daerah-daerah lain. Bagaimanapun, dengan transparansi dan perbaikan birokrasi, biaya lingkungan itu dapat dikompensasi oleh berkurangnya “biaya siluman”. Lagi pula, posisi Jakarta memiliki kelebihan khusus yang tetap menguntungkan bagi modal.

Pelajaran bawaan dari yang di atas adalah: peraturan (insentif dan disinsentif) harus mendorong perubahan perilaku. Dalam soal ini sudah waktunya kita hitam-putih, tegas, sebab waktu tidak banyak lagi, bencana telah bersifat imminent, di depan mata. Kita harus menghancurkan ilusi bahwa keadaan akan membaik tanpa tindakan apa-apa dari kita sendiri.

Pelajaran kedua: pada semua rencana yang ada, tidak ada satu pun yang memberi tempat strategis kepada peran serta masyarakat. Semua rencana itu cenderung mau membangun prasarana fisik dengan beban langsung pada APBD (dan berharap akan APBN).

Terang ini bermasalah karena pada negara sedang berkembang dan miskin sudah pasti ada banyak kebutuhan lain yang bersaing memperebutkan APBD. Padahal, peran serta masyarakat yang tidak perlu biaya besar adalah satu-satunya jalan menuju keberlanjutan lingkungan (sustainable environment) melalui metode-metode konservasi.

Membebani APBD

Selain membebani APBD, pembangunan prasarana terus-menerus memiliki kelemahan: tidak mendorong, bahkan menjauhkan masyarakat dari perubahan perilaku.

Hal itu berkaitan dengan pelajaran ketiga: rencana yang ada selama ini hanya mengandalkan modal finansial pemerintah.

Modal politiknya kurang dimanfaatkan. Modal politik ini adalah kapasitas kepemimpinan gubernur dan jajarannya untuk menggerakkan masyarakat, pembuat aturan, jajarannya sendiri, dan pemerintah pusat untuk berperan serta secara aktif dalam konsep each site with its own solution dan “konsistensi menjaga tata ruang”.

Sentimen masyarakat tentang banjir dan kemacetan sudah begitu besar. Mengapa para politisi kita tidak melihat atau memanfaatkan ini sebagai modal kerja mereka? Sentimen masyarakat adalah modal, bukan beban.

Dengan model ekonomi yang jelas seperti diindikasikan di atas, modal politik dan administratif pemerintah dapat didayagunakan untuk mendorong peran serta masyarakat, baik dalam bentuk insentif maupun disinsentif. Kenyataannya, Kompas juga telah melaporkan banyak prakarsa masyarakat yang berkembang di banyak tempat.

Teknik-teknik konservasi sudah begitu banyak untuk diterapkan. Rendahkan koefisien dasar bangunan (KDB), dengan atau tanpa meningkatkan koefisien lantai bangunan (KLB), efektifkan ruang terbuka hijau dengan koefisien serapan air dan CO 2, istilah yang saya buat sendiri), efektifkan amdal (jangan malah dilanggar sendiri oleh pemerintah seperti pada proyek busway).

Semuanya memerlukan peran aktif semua lapisan masyarakat. Semuanya hanya perlu dimantapkan dan dilembagakan ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sedang direvisi dan ke dalam berbagai perangkat pengaturan bangunan dan tata kota.

Kapasitas birokrasi dan masyarakat dapat tingkatkan dengan program yang sungguh-sungguh. Sesungguhnya tidak ada yang perlu membuat kita pesimistis.

Kita hanya perlu kerja keras dan tidak jatuh ke dalam paralysis by analysis (lumpuh karena kebanyakan berputar-putar menganalisa) dan berharap-harap akan keajaiban tanpa ketegasan bersikap dan bertindak.

Dari situ kita sampai kepada pelajaran keempat: rencana-rencana masa lalu itu tidak memiliki cukup dasar rasional yang terhitung yang diketahui secara luas oleh masyarakat. Bukankah kini kita tahu tiap mobil mengeluarkan emisi yang dapat diserap oleh empat pohon dewasa?

Jadi, apa sulitnya menghitung berapa jumlah mobil yang akan diproyeksikan dalam kurun waktu ke depan, dan atas dasar itu berapa banyak pohon harus kita tanam, dan selanjutnya berapa luas lahan diperlukan sebagai ruang terbuka hijau?

Menghitung berapa banyak air hujan yang turun langsung di Jakarta dan berapa banyak air hujan yang jatuh di daerah tangkapan yang akhirnya melewati Jakarta juga bukan hal yang sulit dengan kemampuan berhitung komputer sekarang.

Dari sini lalu dihitung berapa banyak yang mau diserap dan dialirkan. Lalu dapat dikatakan berapa kapasitas saluran dan luas lahan yang diperlukan, yang dapat di-overlap dengan lahan untuk menanam pohon.

Tentu saja secara simultan diperlukan peningkatan kapasitas birokrasi maupun masyarakat untuk mencapai target-target ini, dan kemudian menjaganya secara bertahap dan terhitung pula.

Realistis

Pelajaran kelima: gubernur sekarang berani berkata jujur dan realistis, tidak mengumbar harapan, dengan pengetahuan yang proporsional. Ini modal baik untuk mencari terobosan yang realistis juga. Jangan masyarakat hanya berharap berlebih kepada pemerintahan yang terbatas.

Kalau kemampuan warga saja terbatas, apalagi pemerintah. Ini pesan yang terbalik dengan kecenderungan selama ini, yang cenderung meminta pemerintah menjadi penyedia segala, sambil mengkritiknya.

Dalam suatu negara sedang berkembang yang miskin, sebenarnya semua pihak memiliki sumber daya yang terbatas dan tidak bisa cuma mengharapkan orang lain melakukan tugasnya tanpa diri sendiri melakukan sesuatu. Itulah sebabnya diperlukan kerja bersama kreatif (creative collaboration) antara semua pihak dalam kerja nyata.

Bagi suatu pemerintahan yang telah dipilih langsung oleh warga, terlalu mudah dan manja bila kerjanya hanya memanfaatkan APBD, sementara sumber daya politiknya tidak didayagunakan untuk menggerakkan sumber daya masyarakat.

Memang birokrasi harus berubah pula, dari penikmat “proyek” gampang dari kantung APBD menjadi penggerak. Jalan perubahan inilah yang akan menjadi dasar bagi program peningkatan kapasitas.

Akhirnya, memang mudah mengatakan bahwa “semua lebih mudah dikatakan, tetapi sulit dikerjakan”. Namun, kini saat yang tepat untuk “bersikap negatif terhadap negativisme”. Saya sih merasa pelajaran sudah cukup. Mau jalan atau tidak?( Oleh Marco Kusumawijaya Arsitek Kota, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta -kcm)

Sumber: Kompas, 30 November 2007

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.