BebasBanjir2015

Donggala

KAJIAN MASALAH BANJIR DAN DAMPAK NEGATIF YANG DITIMBULKAN DI KABUPATEN DONGGALA

Oleh : Zainudin L. Tjimpolo

Abstrak Banjir yang terjadi diakhir tahun 2003 yang lalu, merupakan salah satu peristiwa banjir yang tergolong cukup besar melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Akibat lebih jauh lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini dapat berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan ataupun dimusim kemarau.

Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu adanya interaksi antara factor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah pengaliran.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala bentuk kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara (1) secara non teknik stuktural dan (2) secara teknik struktural.

PENDAHULUAN

Fenomena banjir di daerah tropis khususnya Indonesia membawa dampak negatif; akhir-akhir ini menimbulkan berbagai kerugian dari segi kesehatan, kerugian harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa penduduk.

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mencapai 2,3 % per tahun dan pertumbuhan populasi tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan lahan, ketersediaan lapangan kerja serta minimnya ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini mendorong masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan pertanian baru yang intensif pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) tanpa menggunakan kaidah konservasi mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor yang berperan mempercepat proses terjadinya banjir di kawasan hilir DAS.

Banjir akhir tahun 2003 merupakan peristiwa banjir yang tergolong cukup besar dengan melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Banjir menyebabkan degradasi lahan dan krisis hidrologis, berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air musim penghujan ataupun dimusim kemarau.

Keadaan alam wilayah Sulawesi Tengah, tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Bentangan pegunungan dan dataran tinggi mendominasi permukaan tanah propinsi ini, bagian utara wilayah Kabupaten Buol dan Toli-toli terdapat deretan pegunungan yang berangkai ke jajaran pegunungan Propinsi Sulawesi Utara, bagian tengah terdapat lahan tergolong kritis diapit oleh Selat Makassar dan Teluk Tomini, wilayah ini secara administratif termasuk Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, sebagian besarnya merupakan daerah pegunungan dan perbukitan, bagian selatan dan timur mencakup wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Unauna, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai, berjejer pegunungan seperti Pegunungan Tokolekayu, Verbeek, Tineba, Pampangeo, Fennema, Balingara, dan Pegunungan Batui, sebagian besar dari daerah-daerah pegunungan itu mempunyai lereng terjal dengan kemiringan di atas 450.

Kondisi DAS Lolitasiburi dan DAS Tawaeli kabupaten Donggala saat ini rentan terhadap erosi dan sedimentasi disebabkan terkikisnya tanah sekitar aliran dan tebing-tebing sungai berakibat pada pelebaran dan pendangkalan yang merubah alur sungai, keadaan DAS demikian kritis masih terdapat aktivitas tata guna lahan, penambangan sirtu (pasir dan batu), kesalahan perencanaan implementasi kawasan dan kesalahan konsep drainase secara keseluruhan memicu peluang terjadinya banjir.

Periodesitas banjir dapat diramalkan berdasarkan frekuensi hujan siklus 100 tahun, 50 tahun, 25 tahun, 10 tahun, dan 5 tahun. Peningkatan frekuensi banjir memungkinkan daya sanggah hutan sebagai pengatur tata air menurun.

Tabel: Contoh prediksi curah hujan dan debit banjir DAS Lolitasiburi Kab.Donggala Periode ulang (tahun) Prediksi frekuensi curah hujan (mm) Debit banjir (m3/detik) 5 69,995 44,510 10 85,218 57,114 25 104,485 74,078 50 118,780 87,100 100 132,869 100,246 Sumber: zainudin 2006 3

TATA GUNA LAHAN DAN PENGOLAHAN AIR

Pemanfatan sumberdaya alam tidak sesuai kemampuan dan daya dukungnya berdampak mempercepat rusaknya daur hidrologi, dalam kondisi ekstrim tertentu mempercepat terjadinya kekeringan yang mengarah pada ‘desertification’ maupun banjir. Peranan tata guna lahan pada aliran permukaan bisa digambarkan dalam koefisien aliran permukaan sebagai bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besar aliran permukaan dan besarnya curah hujan, angka koefisien aliran permukaan merupakan salah satu indikator yang menentukan kondisi fisik DAS. Hingga saat ini peran lahan kering belum didayagunakan secara optimal, selain itu pemerintah dengan gerakan nasional reboisasi hutan dan lahan masih jauh dari yang diharapkan akibatnya banjir bandang masih terus terjadi.

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain sebagai fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lain (non-point pollution). Keterkaitan DAS hulu – hilir di atas dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan.

Gambar. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir Sumber: Asdak, 2002.

ANALISA FAKTOR PENYEBAB BANJIR

Banjir dalam bahasa populernya biasa diartikan sebagai aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah teknik ‘banjir’ adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002) Lebih lanjut Siswoko (2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu indikasi dari ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses mengalirkan air permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang mengalir melebihi daya tampung daerah pengaliran, selain debit aliran permukaan banjir juga dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan iklim (Curah hujan) setempat.

Fenomena banjir menjadi pandangan publik yang menyedihkan, banjir dapat terjadi kapan dan dimana saja, untuk dapat mengidentifikasi resiko banjir yang berpengaruh pada manusia dan lingkungan perlu diketahui penyebab terjadinya. Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab banjir yaitu adanya interaksi antara faktor penyebab bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah pengaliran.

1. Faktor campur tangan manusia

Menurut Siswoko (1996), beberapa hal yang menimbulkan terjadinya banjir akibat dari aktifitas manusia yaitu; (1) aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam meloloskan air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir, (2) pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan, (3) pembendungan melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan dampaknya, (4) pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir, (5) pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah, (6) kesalahan perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir.

2. Faktor kondisi dan peristiwa alam

Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990), pengaruh penutupan hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir berkaitan dengan sedimentasi dan debit kotoran, khususnya kerusakan akibat erosi dan pendangkalan sungai. Lebih lanjut Schwab, dkk (1997), menyatakan pengaruh faktor daerah tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya pertanian menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju dan volume banjir persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas daerah banjir bertambah.

Menurut sosrodarsono (2003), bahwa selain karena faktor daerah tangkapan air, banjir juga dipengaruhi oleh karakteristik jaringan sungai, daerah pengaliran yang tidak langsung dan drainase buatan. Lebih lanjut Asdak (2002), menyatakan peningkatan volume aliran dipeengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan yaitu lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan; curah hujan tidak meningkat sebanding dengan waktu, dan apabila waktu dapat ditentukan lebih lama maka penambahan curah hujan lebih kecil sebab curah hujan kadang berkurang atau berhenti. Jumlah curah hujan sebesar 3.600 ml tersebar merata sepanjang tahun, jika terkonsentrasi 2-3 bulan secara terus menerus maka energi kinetiknya dapat menimbulkan penghancuran tanah yang selanjutnya terangkut atau hanyut ke sungai. Jika daya angkut lebih kecil dari total tanah yang dihancurkan akan terjadi pengendapan (Hardjowigeno, 1992) lebih lanjut Sasongko (1992), menyatakan pengendapan didasar sungai akan mengakibatkan sungai melandai dan akan terjadi luapan air, dengan kondisi demikian peluang kejadian banjir akan semakin besar

DAMPAK NEGATIF BANJIR PADA MASYARAKAT DAN LAHAN SEKITARNYA

Banjir merupakan masalah yang menganggu stabilitas ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian berupa harta benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi berdampak lebih luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Contoh banjir yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti; Jakarta, Jambi, Kalimantan dan Sulawesi. Debit atau volume air mampu menggenangi kota, pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan kegiatan perekonomian.

Fenomena banjir khususnya di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahun 2003 berdampak terhadap pemadaman listrik dan terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Palu – Donggala dan jalur trans-sulawesi Palu-Parigi Moutung lumpuh total. Debit air mencapai ketinggian 70 cm -1 meter, diperkirakan ratusan rumah penduduk, desa dan lahan pertanian subur tergenang. Banjir ini, menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air telah hilang, dapat diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan sebagai pengatur tata air, akibat terus ditebangi sehingga efek respon dari hutan berkurang akibatnya akumulasi debit DAS tawaeli dan DAS Lolitasiburi berakhir dengan terjadinya banjir.

SUARA KARYA, 8 Mei 2007, Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalsel, menewaskan Shinta Mariam bin Jamairi (3,5) dan Sani bin Bahrani (3) akibat terseret arus Sungai Mandala serta M Andi bin Mahyudin (4) dinyatakan hilang sedangkan di Palu Sulteng, Ardi Temba (14) hanyut dan tenggelam di Sungai Palu saat menonton banjir. Ardi terpeleset dan jatuh dari atas jembatan teluk Palu. Informasi Palu Sulteng, menyebutkan banjir makin meluas hingga radius satu kilometer dari bibir sungai akibatnya hampir seluruh permukiman warga jalan utama di Kelurahan Ujuna dan Kelurahan Baru Palu Barat teredam banjir.

Menurut Kepala Dinas PU dan Pertambangan Energi Kota Palu, banjir yang terjadi di Kota Palu dianggap sebagai siklus banjir 100 tahun. Banjir disebabkan penggundulan hutan di bagian hulu Sungai Palu sehingga debit air meningkat. Wakil Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulteng, mengatakan sampai Senin siang jumlah rumah penduduk terendam banjir lebih dari 1.000 unit dan tersebar di enam kelurahan. Permukiman warga yang teredam banjir paling parah dengan ketinggian air sampai di atas satu meter terjadi di Kelurahan Nunu, Lere, Ujuna, Baru, Lolu Selatan, dan Besusu. Camat Palu Barat, menambahkan sebanyak 1.245 KK (kepala keluarga) di wilayahnya menjadi korban banjir. Korban tersebar di Kelurahan Lere sebanyak 45 KK, Ujuna (500 KK), Nunu (300 KK), dan Baru (400 KK)

UPAYA MENEKAN BENCANA BANJIR

Terjadinya banjir tidak bisa dicegah, tetapi dapat berkurang dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian yang tepat. Fenomena banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan oleh siapapun, sehingga perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap DAS ataupun saluran buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat menampung serta mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air dapat terkendali. Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit karena hujan adalah  faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara global, sehingga upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan bentuk kegiatan (pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat.

Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:

  1. Secara non tehnik structural
    • Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan sungai.
    • Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran permukaan.
    • Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.
    • Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan Donggala).
    • Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan, sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.
  2. Secara tehnik structural
    • Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran, perkotaan dan pedesaan
    • Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus DAS).

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian masalah banjir dan dampak negatif yang ditimbulkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Banjir dapat terjadi akibat iklim (curah hujan) dan banjir dapat bula terjadi akibat kerusakan DAS bagian hulu, tengah dan hilir.
  2. Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara (1) secara non teknik stuktural dan (2) secara teknik structural.
  3. Agar memberikan peringatan dini kepada masyarakat tentang banjir maka diperlukan adanya alat pencatat tinggi muka air pada setiap sungai.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta

Hardjowigeno, S., 1992. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Maryono, A., 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.

Lee, R., 1990. Forest Hydrology. Terjemahan Sentot Subagio. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. PKRLKSTA., 2004.

Laporan Akhir: Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Alam Banjir Sulawesi Tengah (Studi Kasus DAS Tawaeli dan Lolitasiburi. Balitbangda dan PKRLKSTA, Palu

Sasongko, D., 1992. Pengendalian Banjir. Pelatihan Teknik Lingkungan Sungai Untuk Pencegahan Bencana Alam. Ditjen Pengairan. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

Schwab, G, O., Fangmeier, D, D., Elliot, W,J,E., Frevert, R,K., 1997. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Buku 1 dari 2. Center For Land and Water Management Studies. Sriwijaya University.

Siswoko., 2002. Banjir, Masalah Banjir dan Upaya Mengatasinya. Himpunan Ahli Teknik Hidroulika Indonesia (HATHI), Jakarta. _______., 1992. Masalah Banjir di Indonesia dan Upaya Mengatasinya. Pelatihan Teknik Lingkungan Sungai Untuk Pencegahan Bencana Alam. Ditjen Pengairan-Departement Pekerjaan Umum. Bandung.

Sosrodarsono, S., dan Takeda, K., 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Prandnya Paramita, Jakarta. Suara Karya Online. Htm., 2007. Bencana Alam Banjir di Sulteng, Kalteng, dan Kalsel Makin Meluas. www. Yourcompany.

Com Zainudin., 2006. Skripsi. Kajian Debit Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lolitasiburi Menggunakan Metode Weduwen. UNTAD, Palu.

4 Komentar »

  1. Banjir dapat terjadi akibat iklim (curah hujan) dan banjir dapat bula terjadi akibat kerusakan DAS bagian hulu, tengah dan hilir.

    Komentar oleh cheap bali tour — Oktober 16, 2011 @ 5:11 am

  2. Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.

    Komentar oleh mrsuarta@yahoo.com — Oktober 16, 2011 @ 5:14 am

  3. Ini semua terjadi karena dampak kita sebagai manusia tidak bisa menjaga lingkungan.

    Komentar oleh bali rafting alam amazing adventures — Februari 9, 2015 @ 4:13 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.