BebasBanjir2015

Adaptive Collaborative Management (ACM)

Adaptive Collaborative Management

Pendekatan ACM adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksana kan, mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa lalu. Untuk adanya gambar an yang memadai tentang ACM, proses-proses, dan unsurunsur kuncinya, kita perlu mencermati asal muasal ACM, yakni pengelolaan adaptif dan pengelolaan bersama/kolaboratif.

Dalam bab ini, kami akan menggambarkan ciri dari masing-masing konsep di atas dan menjelaskan apa dan bagaimana kami menggabungkannya. Selain itu, kami akan mencoba menjelaskan secara sederhana teori-teori yang mendasari pendekatan ACM, termasuk komponen-komponen inti dan proses-proses yang menjadi “jiwa” pendekatan ini, maupun gambaran tentang bagaimana ACM dapat diterapkan.

Pengelolaan Adaptif

Interaksi dinamis sangat mungkin merang sang terjadinya adaptasi dan kerja sama.

Mereka yang bekerja dalam pengelolaan sumber daya alam dan bidang ekologi sering menghadapi keadaan yang tidak pasti, dinamis dan kompleks karena nilai-nilai sosial, kebijakan, dan lingkungan biofi sik senantiasa berubah dengan cepat dan ber lanjut. Walaupun menghadapi ketidakpastian seperti itu, mereka tetap harus mengambil keputusan dan melaksanakan apa yang telah direncanakan. Padahal menjalankan suatu rencana berdasarkan informasi yang tidak pasti bisa menghasilkan keputusan yang tidak efektif.

Salah satu jalan keluar dari dilema ini adalah menerapkan suatu pendekatan pengelolaan yang memungkinkan penyesuaian keputusan secara sistematis dan ber lanjut. Proses penyesuaian keputusan itu terjadi ketika terkumpulnya informasi yang baru dan terjadinya proses pembelajaran. Gagasan pengelolaan adaptif ini muncul ketika masyarakat menyadari pentingnya menghadapi ketidakpastian, dengan cara merancang intervensi untuk mendorong pembelajaran.

Pengelolaan adaptif merupakan suatu cara bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah secara bertanggung jawab ketika menghadapi ketidakpastian. Pendekatan ini me mungkinkan dilakukannya perbaikan sesering dibutuhkan melalui proses yang berulang-ulang seperti digambarkan dalam Gambar 2.

Proses pengelolaan adaptif dimulai dengan refl eksi untuk mengidentifikasi  masalah-masalah mendasar, peluang, dan pokok persoalan. Hasil refl eksi itu kemudian diangkat sebagai faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan, diikuti dengan tindakan nyata untuk mencapai tujuan pengelolaan.
Pada saat membuat perencanaan, para pengelola juga harus merancang bagaimana mereka akan memantau apakah rencana tersebut dapat memenuhi tujuan dan apakah rencana itu efektif. Hasil pemantauan digunakan dalam proses evaluasi/ refl eksi untuk:

  • menemukan penyebab tidak efektifnya suatu rencana atau tindakan tertentu dan mengidentifi kasi keunggulan dan kelemahan keputusan yang telah diambil sebelumnya
  • menjajaki apakah tujuan masih tetap relevan
  • mengidentifikasi perubahan yang terjadi—seperti perubahan akibat kebakaran hutan, kebijakan baru, atau perubahan demografi —di dalam keseluruhan sistem sosial dan sumber daya alam yang membutuhkan penyesuaian rencana
  • mempertimbangkan langkah selanjutnya, termasuk kemungkinan perlunya penyesuaian rencana dan tujuan semula.
Pengelolaan sumber daya alam lokal mencakup sistem alam dan sistem sosial yang rumit dan dinamis.

Pengelolaan sumber daya alam lokal mencakup sistem alam dan sistem sosial yang rumit dan dinamis.

Kunci keberhasilan pengelolaan adaptif adalah belajar dari pengalaman yang lalu untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Proses berulang-ulang sebagaimana di gambarkan di atas mengharuskan para pengelola untuk terusmenerus menilai efektivitas rencana dan tindakan mereka. Dengan sendirinya mereka akan menyadari perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka karena tindakan-tindakan mereka. Dengan langkah ini, mereka dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang terus berubah.

Namun bisa saja seseorang atau suatu kelompok tertentu (misalnya para pengambil keputusan atau pelaksana proyek kehutanan) melakukan proses berulang-ulang tersebut tanpa melibatkan pihak lain. Hal ini bisa mengakibatkan rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan lainnya, yang kemudian dapat membawa kita pada sistem pengambilan keputusan dan perencanaan yang “top-down” dan kurangnya proses pembelajaran antarpihak. Karenanya, agar proses pembelajaran dan adaptasi dapat berjalan dengan baik, menjadi suatu keharusan bahwa semua pemangku kepentingan mengadopsi pendekatan ini secara bersama-sama.

Para praktisi pengelolaan sumber daya alam di berbagai penjuru dunia telah menyadari bahwa kebiasaan umum pengambilan keputusan secara top-down adalah penyebab utama dari banyaknya kegagalan proyek pengelolaan sumber daya alam. Hal ini terutama karena para pengambil keputusan itu kurang
memahami kondisi lokal.

Pengelolaan Kolaboratif

Seperti juga pendekatan pengelolaan adaptif, pengelolaan kolaboratif bukanlah konsep yang baru. Berbagai bentuk kerja sama dalam pengelolaan sumber daya sudah dikenal di berbagai negara dalam beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun, di Indonesia, bentuk pengelolaan sumber daya hutan semacam ini baru dikenal pada akhir tahun 1990-an. Gambaran lebih rinci sejarah pengelolaan secara kolaboratif di Indonesia dapat dilihat dalam Bab 3.

Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah lainnya seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama), shared management (pengelolaan berbagi), multistakeholder management (pengelolaan multipihak), atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan secara kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembang an visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan mereka. Walaupun demikian, pengelolaan secara kolaboratif memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan para pengelola hutan dan pengambil kebijakan (Kotak 2).

Keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam seluruh tahapan pengelolaan dapat membantu pengembangan keterampilan, minat, dan kapasitas lokal. Gambar ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal berperan serta dalam analisis vegetasi hutan adat mereka.

Keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam seluruh tahapan pengelolaan dapat membantu pengembangan keterampilan, minat, dan kapasitas lokal. Gambar ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal berperan serta dalam analisis vegetasi hutan adat mereka.

Kunci keberhasilan pengelolaan kolaboratif adalah:

  1. Para pemangku kepentingan kunci tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan: pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan, dan refl eksi.
  2. Pengembangan minat, keterampilan, dan kemampuan lokal yang dapat membantu para pemangku kepentingan menyesuai kan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat setelah proyek selesai. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan para pemangku kepentingan dalam menanggapi per ubahan adalah dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam meng adaptasi pendekatan pengelolaan mereka.

ACM: Menggabungkan Pengelolaan Adaptif dan Pengelolaan Kolaboratif

Adaptive Collaborative Management (ACM) menggabungkan prinsip-prinsip pengelolaan adaptif dan pengelolaan kolaboratif untuk memanfaatkan keunggulan-keunggulan dan mengatasi kelemahan-kelemahan masing-masing pendekatan itu (Gambar 3).

Gambar 3. Menggabungkan ciri-ciri dua konsep untuk membentuk ACM
Gbr 3. Menggabungkan ciri-ciri dua konsep untuk membentuk ACM

Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal bab ini, ACM merupakan suatu pendekatan yang mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, mengamati, dan menarik pelajaran dari perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Maka penting untuk dilihat bahwa ciri khas proses ACM adalah usaha-usaha sadar dari para pemangku kepentingan untuk secara berkelanjutan menjalin komunikasi, kolaborasi, dan negosiasi serta mencari peluang untuk belajar secara bersama mengenai dampak dari tindakan-tindakan mereka.

Unsur-unsur ACM

Ada tiga proses umum yang tercakup dalam pendekatan ACM (Kotak 4) yang jika kita cermati secara keseluruhan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Komunikasi dan arus informasi yang efektif antara anggota kelompok atau antara para pemangku kepentingan

  • Partisipasi aktif dan keterwakilan yang memadai dari semua pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan dalam setiap proses negosiasi dengan pemangku kepentingan lain
  • Adanya mekanisme untuk menangani konfl ik dan menghadapi ketidakpastian
    serta perubahan-perubahan yang cepat dan mendadak
  • Pembelajaran dan eksperimen yang dilakukan secara sengaja
  • Adanya kemauan (sikap) dan kapasitas (keterampilan dan sumber daya) organisasi untuk belajar dan menanggapi hasil pembelajaran
  • Sikap saling menghormati dan saling mempercayai serta keterbukaan
  • Saling berbagi pengetahuan dan keterampilan
  • Perencanaan, pengambilan keputusan, tindakan, dan pemantauan yang dilakukan bersama; kesemuanya dengan memperhatikan secara cermat hubungan-hubungan di dalam sistem sosial dan sistem alam, maupun kaitankaitan di antara sistem-sistem itu.

Bagaimana kita memfasilitasi proses ACM?

Sebelum memfasilitasi sebuah proses ACM, kita mulai dengan beberapa pertanyaan berikut ini:

  • Siapa yang harus dilibatkan dalam proses ini?

  • Siapa saja para pemangku kepentingan pengelolaan hutan yang berada di kawasan ini?
  • Apakah di masa lalu telah terjadi perubahan-perubahan yang signifi kan terhadap kondisi hutan dan, jika “ya”, apa saja perubahan itu dan mengapa perubahan itu terjadi?
  • Apa saja permasalahan utama yang telah menyebabkan berkurangnya luas hutan?

Memperoleh jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan pemahaman yang mendalam tentang konteks lokal, merupakan hal yang penting dan mendasar bagi para fasilitator ACM. Itulah sebabnya mengapa para fasilitator sedini mungkin harus:

  • Membangun kepercayaan dan kemitraan. Kemitraan yang baik antara fasilitator dan para pemangku kepentingan, maupun antara pemangku-pemangku kepentingan
  • Membangun kepercaya an merupakan langkah yang utama bagi fasilitator, karena tanpa kepercayaan kepada fasilitator bisa jadi para pemangku kepentingan tidak akan mau berbagi pandangan secara bebas sehingga informasi dan masalah-masalah penting tetap tersembunyi.
  • Memahami konteks lokal. Hal ini mencakup identifi kasi para pemangku kepentingan di lokasi yang bersangkutan, termasuk peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan, serta sejarah lokal yang terkait dengan pengelolaan hutan.

Setelah memperoleh pemahaman yang memadai tentang konteks lokal dan kepercayaan di antara pihak yang terlibat sudah cukup terbangun, fasilitator dapat menyelenggarakan pertemuan/lokakarya untuk mengidentifi kasi masalahmasalah utama yang dihadapi para pemangku kepentingan lokal dalam pengelolaan hutan.

Pada tahap itu, pertemuan/lokakarya diselenggarakan juga untuk bersama-sama merencanakan bagaimana menghadapi pokok-pokok permasalahan tersebut, diikuti dengan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi/refl eksi, serta penyesuaian untuk rencana baru. Pemangku-pemangku kepentingan kunci yang peran dan kepentingannya relevan dengan pokok-pokok permasalahan tersebut harus dilibatkan dalam pertemuan ini.

Seluruh langkah dalam proses ACM digambarkan pada Gambar 4. Dalam gambar ini kita dapat melihat adanya proses iteratif yang menjadi ciri khas pengelolaan adaptif dan memungkinkan perbaikan pengelolaan sesering dibutuhkan (lihat hlm. 21). Aspek kolaborasi dalam proses ini adalah bahwa semua pemangku kepentingan dilibatkan secara aktif sepanjang proses iteratif itu.

ACM dan kriteria dan indikator

Pada tahap awal proses ACM, masyarakat dan/atau para pemangku kepentingan lainnya mungkin akan menyampaikan harapan-harapannya, permasalahannya, rasa frustasinya, dll. Bisa jadi hal ini mempersulit penentuan prioritas pokok permasalahan. Karena itulah, penting untuk selalu mengingat tujuan utama dari
ACM.

Dalam rangka penelitian ACM yang diselenggarakan CIFOR, tujuan ACM adalah mengembangkan pengelolaan hutan berkelanjutan (PHB atau sustainable forest management (SFM)). Untuk “membingkai” kegiatan agar dapat mencapai PHB, pertama-tama kita perlu meng identifi kasi permasalahan kunci dalam PHB, kemudian menentukan kegiatan atau keluaran (outcomes) yang dapat membantu tercapainya PHB. Dengan cara ini, akan terbentuk kerangka kerja yang terdiri dari tujuan, kegiatan, dan hasil di bidang sosial, ekonomi, kebijakan, ekologi, dan produksi. Ini menjadi dasar untuk menentukan kriteria dan indikator (K&I)
PHB.

K&I adalah salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mengidentifi kasi permasalahan kunci di suatu tempat/unit manajemen hutan, peluang, dan pokok persoalan lain serta mengembangkan sistem pemantauan. Lebih penting lagi, K&I dapat mengidentifi kasi kendala-kendala dalam mencapai keadaan
yang diinginkan. Hal ini termasuk upaya untuk memahami hubungan sebab akibat antara masalah-masalah yang berbeda, misalnya dengan menggunakan metode “pohon masalah”. Dalam Kotak 6 disajikan beberapa acuan untuk mengembangkan K&I.

ACM dan pembelajaran sosial

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kunci keberhasilan dalam mengembangkan suatu proses adaptif yang mengarah pada peningkatan kemampuan pengelolaan, adalah pembelajaran sosial di antara para pemangku kepentingan. Pembelajaran sosial dalam hal ini adalah pembelajaran yang terjadi di dalam sekelompok orang, bukannya pembelajaran yang dialami oleh masingmasing orang secara terpisah.4

Indikator yang menunjukkan apakah pembelajaran sosial telah terjadi adalah antara lain: perubahan pemahaman, persepsi, tingkah laku, tindakan kelompok, dll. Untuk lokasi tertentu akan diperlukan indikator-indikator yang sesuai dengan keadaan di lokasi tersebut, misalnya cara-cara kelompok mengkaji atau menanggapi informasi baru berkaitan dengan lokasi itu.

Untuk membangun minat para pemangku kepentingan agar belajar dan memastikan bahwa pembelajaran sosial akan terjadi, ada tiga elemen yang diperlukan:

  • Pokok persoalan atau fokus yang jelas
  • Gagasan atau informasi baru
  • Platform komunikasi (forum ataupun basis untuk berkomunikasi).

ACM dan fasilitasi

Fasilitasi memainkan peran penting dalam mendorong pembelajaran sosial melalui interaksi yang konstruktif.5 Pada situasi konfl ik yang tinggi atau saingan yang kuat di antara para pemangku kepentingan mengenai tanah hutan dan sumber daya hutan, fasilitasi sangat menentukan sejauh mana mereka dapat
dipertemukan dan hubungan konstruktif di antara mereka dapat dibangun melalui dialog terbuka. Fasilitasi dapat didefi nisikan sebagaimana terlihat di Kotak 7.

ACM dan fasilitasi

Fasilitasi memainkan peran penting dalam mendorong pembelajaran sosial melalui interaksi yang konstruktif.5 Pada situasi konfl ik yang tinggi atau saingan yang kuat di antara para pemangku kepentingan mengenai tanah hutan dan sumber daya hutan, fasilitasi sangat menentukan sejauh mana mereka dapat dipertemukan dan hubungan konstruktif di antara mereka dapat dibangun melalui dialog terbuka. Fasilitasi dapat didefi nisikan sebagaimana terlihat di Kotak 7.

Dalam pengelolaan hutan, pihak-pihak yang dominan tidak seharusnya menjadi satu-satunya pengambil keputusan. Karenanya, fasilitator perlu mengembangkan strategi, mekanisme, dan kondisi yang dapat membantu menyeimbangkan kekuatan antara para pemangku kepentingan dengan tujuan untuk:

  • Mendorong dinamika kelompok yang baik dan komunikasi yang konstruktif
  • Memfasilitasi adanya keterwakilan atau kesempatan yang setara bagi semua pihak untuk berbicara dan untuk didengar
  • Memastikan adanya akuntabilitas (pertanggungjawaban) para wakil pemangku-pemangku kepentingan
  • Memastikan bahwa semua pikiran atau gagasan para pemangku kepentingan
    dihargai dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Seorang fasilitator memastikan agar proses-proses dalam kelompok cukup dinamis dan komunikasi di antara peserta konstruktif. Idealnya, hal ini dapat mendorong pembelajaran di antara peserta dan setiap gagasan peserta akan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Namun, keterwakilan yang baik dan berimbang serta adanya peluang yang merata bagi semua pemangku kepentingan tidak akan terjadi begitu saja. Mengem bangkan pembelajar an sosial melalui interaksi yang konstruktif antara para pemangku kepentingan perlu didorong dengan membangun komunikasi yang terbuka dan responsif, maupun dengan mengatasi kendala-kendala yang terdapat di dalam komunikasi itu sendiri.7  Sebagai contoh, perbedaan sosial dan pendidikan kadang menjadi hambatan psikologis. Dalam situasi semacam itu kelompok marjinal biasanya merasa inferior dan kurang percaya diri untuk berkomunikasi dengan pejabat pemerintah. Dalam hal ini diperlukan proses peningkatan kapasitas dan rasa percaya diri kelompok yang lebih lemah dalam hal:

  • mengelola informasi baru
  • negosiasi
  • kemampuan organisasi dan lembaga8
  • pemecahan masalah.

Gambar 5 secara sederhana menggambarkan berbagai peran yang harus dimainkan fasilitator dalam mengembangkan pembelajaran sosial. Penting untuk diperhatikan bahwa pada kenyataannya peran-peran ini bisa saja terjadi tidak secara berurutan atau sesederhana seperti terlihat pada diagram ini.

Agar pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat tercapai, baik fasilitator maupun para pemangku kepentingan perlu meningkatkan kemampuan mereka dalam hal-hal berikut ini:

  • penanganan konfl ik dan pembuatan keputusan politis
  • inovasi dan pemecahan masalah
  • pengembangan komunikasi dan hubungan baik
  • peningkatan kemampuan masyarakat untuk berorganisasi.

Apakah nilai tambah yang diharapkan dari penerapan ACM di Indonesia?

Indonesia telah mengenal berbagai bentuk pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan (lihat juga Bab 3). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah nilai tambah yang dapat ditawarkan ACM terhadap pengelolaan hutan di negara ini? Harapan tim kami, pendekatan ACM dan hasil penelitian kami akan bermanfaat untuk hal-hal berikut:

  • Pendekatan ACM dapat memfasilitasi berbagai pemangku kepentingan dalam mengorganisasi dirinya guna bertindak dan memantau perkembangan maupun akibat tindakannya
  • Pendekatan ACM dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran di antara para pemangku kepentingan yang dilakukan secara sadar
  • Pendekatan ACM membantu dalam membuat proses pembelajaran lebih terstruktur
  • Pendekatan ACM meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan untuk beradaptasi
  • Pendekatan ACM memungkinkan proses fasilitasi dan proses penelitian terjadi secara bersamaan.

(Bagian ini sepenuhnya diambil dari Buku “Belajar Beradaptasi, Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia” karangan Trikurnianti Kusumanto dkk). Buku ini bisa didownload lengkap di http://www.cifor.cgiar.org/Publications/Detail.htm?&pid=2030

2 Komentar »

  1. Ide bagus ni, lumayan buat dokumen tender
    ttg danau – pas banget ni tuk kelembagaannya
    Maksih Banyak
    Salam Super – adopsi Mr.Mario Teguh

    Komentar oleh wira kusuma — Agustus 8, 2009 @ 1:21 pm

  2. teerimakasih..
    bisa sebagai referensi tulisan proper saya “collaborative management hubungan industrial di kabupaten Cilacap”

    Komentar oleh waris — Maret 5, 2016 @ 8:31 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.