BebasBanjir2015

Aspek Sosial

Banjir dan Derita Anak Didik

Oleh Mohammad Yasin Kara

Setiap terjadi banjir, apalagi dalam skala besar seperti saat ini, yang paling menderita dan dirugikan adalah orang-orang miskin, kaum perempuan, anak-anak dan dunia pendidikan.

Dalam banjir di Jakarta dan sekitarnya, sedikitnya ada 1.499 gedung sekolah yang terendam banjir atau sekolah tersebut digunakan untuk menampung para pengungsi korban banjir itu.

Menurut data dinas Provinsi DKI, dari 2.158 gedung sekolah dasar (SD), sebanyak 1.295 gedung (sekitar 60 persen) yang terendam banjir, ada 174 gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 30 Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara di Tangerang disinyalir ada 69 sekolah yang terendam dan sekitar 14 ribu siswa diliburkan.

Tentu saja akibat banjir itu banyak juga aspek lainnya yang turut menderita. Akan tetapi orang-orang miskin seperti kuli bangunan, para petani yang sawahnya teremdam air, para petambak ikan dan seterusnya adalah komunitas sosial yang tidak berdaya akibat banjir itu.

Demikian pula halnya dengan kaum perempuan dan anak-anak yang secara psikis dan psikologis terdapat perbedaan signifikan dengan kaum laki-laki dan orang dewasa, maka dengan banjir ini tentu mereka akan sangat menderita.

Kalangan anak-anak menjadi kian menderita karena gedung sekolah mereka terendam air. Mereka tidak lagi bisa belajar dan seterusnya. Masalah pendidikan ini layak kita apresiasi terkait dengan masa depan peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.

Meminjam penjelasan Peter Drucker dalam Managing the Next Society (2001), bahwa masa depan merupakan masyarakat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan menjadi kunci pembangunan sumber daya dan tenaga kerja akan didominasi oleh pekerja pengetahuan.

Mengubah Dunia

Atau, dalam penjelasan WH. Auden (1989:10) yang mengatakan, The true man of action in our time, those who transform the world, are not the politicans and statesmen, but the scientist. Manusia yang benar-benar bisa mengubah dunia dalam era kehidupan kita saat ini adalah para ilmuwan, bukan politikus atau negarawan.

Berpijak pada kerangka pemikiran ini, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah mengapa banjir yang kini sudah kian dahsyat terus terjadi di negeri ini? Fenomena banjir yang merusak gedung-gedung pendidikan dalam skala relatif besar ini merupakan bukti bahwa pemerintah selama ini tidak menjadikan dunia pendidikan sebagai masalah penting.

Akibatnya, desain kebijakan publik dan politik terkait dengan hancurnya ekologi (lingkungan hidup) yang menyebabkan terjadinya banjir hanya ditentukan oleh para politisi dan atau pejabat negara di kekuasaan birokrasi yang tidak memiliki kompetensi ilmu pengetahuan.

Kalau mengacu pada pemikiran WH. Auden, semestinya kaum ilmuwan (scientist) selalu dilibatkan pada setiap proses pengambilan kebijakan publik dan politik sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.

Jika demikian dapat menjadi kesadaran kognitif di kalangan pejabat negara dan para ilmuwan selalu dilibatkan secara intens pada setiap proses pengambilan kebijakan publik dan politik itu, saya yakin banjir tidak akan terjadi separah saat ini.

Ada korelasi paralel antara kerangka pemikiran yang cenderung menempatkan dunia pendidikan hanya bersifat komplementer dengan paradigma pembangunan tata ruang kota sehingga ketika musim penghujan datang, gedung-gedung sekolah kebanjiran tanpa ada yang mampu untuk membendung. Memang, kesalahan paradigmatik pembangunan tata ruang kota bukan hanya mengakibatkan banjir/rusaknya gedung-gedung sekolah.

Barangkali inilah peringatan dari Tuhan, terutama mereka yang berada di teras pengambilan kebijakan publik dan politik di pemerintahan yang cenderung tidak menempatkan dunia pendidikan sebagai pembangunan bangsa yang utama.

Sekali lagi, barangkali banjir ini adalah peringatan dari Yang Maha Kuasa agar kita belajar untuk menghargai dunia pendidikan dan para ilmuwan sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Haruslah diakui, penyebab banjir di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya lebih disebabkan oleh kebijakan pembangunan tata ruang kota yang tidak memiliki kerangka pemikiran yang baik dengan mempertimbangkan berbagai aspek terburuk, yang mungkin terjadi di masa depan, seperti banjir yang kini mengepung kota ini.

Memang, secara geologis (ilmu bumi) Kota Jakarta sangatlah memungkinkan menjadi langganan banjir karena posisinya lebih rendah dari permukaan laut. Namun demikian, desain pembangunan tata ruang kota telah memperburuk situasi.

Bahkan, desain pembangunan tata ruang kota ini bisa menjadi faktor diterminan terjadinya banjir yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur lainnya selama ini.

Kebijakan Politik

Berbicara soal desain pembangunan tata ruang kota, tidak terlepas dengan masalah kebijakan politik yang melahirkan kebijakan tata ruang kota itu. Oleh karenanya, kalau ditarik satu garis/titik fokus maka secara substansial banjir itu terjadi karena kesalahan fundamental kebijakan politik pembangunan.

Pertama, desain tata ruang kota sangat tidak kondusif bagi kota Jakarta yang bebas banjir. Cobalah kita bayangkan, kali yang dahulu lebarnya enam belas meter kini diuruk sehingga hanya tersisa empat meter. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan? Sumber kesalahan semua ini adalah kebijakan politik pemerintah yang memberi ijin terhadap mereka yang melakukan pengurukan kali.

Oleh karena itu, untuk mengurungi banjir yang kian parah di masa depan, pemerintah harus segera memperbaiki sistem dan mekanisme kebijakan pembangunan tata ruang kota. Dan yang terpenting, pemerintah mestinya melibatkan para ilmuwan yang memiliki kemampuan desain tata ruang kota, termasuk ahli ekologi.

Kedua, agar banjir bisa diminimalisasi di masa depan, pemerintah sebaiknya segera melakukan kajian terhadap desain pembangunan tata ruang kota itu.

Termasuk rumah-rumah penduduk mestinya memiliki dan atau mengikuti design tata ruang kota yang memungkinkan terminimalisasinya banjir yang membahayakan. Dalam konteks ini, pemerintah sebaiknya melakukan kontrol terhadap penerbitan ijin mendirikan bangunan (IMB).

Bangunan yang didirikan masyarakat haruslah sesuai dengan tata ruang pembangunan kota. Saya yakin, tata ruang pembangunan kota merupakan faktor yang signifikan bagi terjadinya banjir selama ini tanpa mengabaikan aspek-aspek lain yang akan penulis uraikan selanjutnya.

Ketiga, faktor yang turut menyebabkan banjir itu adalah kecenderungan perilaku koruptif di kalangan para pejabat negara di lingkungan perairan yang memiliki kewenangan memberi kebijakan ijin mendirikan bangunan (IMB) kepada masyarakat di atas tanah/sawah yang sebenarnya merupakan daerah resapan air.

Akibatnya, air hujan tidak lagi bisa tertampung dan banjir menjadi tidak terhindarkan. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah segera menertibkan penggunaan tanah negara, apalagi di atas rawa-rawa yang merupakan daerah serapan air agar permalahan tidak menjadi kian rumit dan kompleks di kemudian hari.

Keempat, secara umum, negara mesti segera mengatur secara ketat terhadap penggunaan tanah untuk pembangunan. Jangan sampai daerah serapan air didirikan bangunan. Salah satu yang harus segera ditata adalah di daerah puncak.

Seperti telah menjadi pemandangan umum, hutan dan perbukitan yang dahulu sangat rindang di daerah puncak kini telah disulup menjadi vila yang menyebabkan air tidak terserap bumi. Akibatnya, ketika musim hujan, Kota Jakarta dan sekitarnya pun menjadi banjir dan anak-anak didik kembali menderita, termasuk masyarakat miskin dan kaum perempuan.

Penulis adalah Anggota Komisi X DPR RI Sekretaris Fraksi PAN
Sumber: Suara Pembaharuan, 23 Pebruari 2007

Banjir dan Kemandirian Masyarakat

Oleh: Jaleswari Pramodhawardani

Sungguh sulit untuk tidak menyalahkan siapa pun dalam menghadapi banjir yang menggenangi sebagian besar Jakarta hari-hari ini.

Hidup kita juga tidak menjadi lebih mudah melalui banjir polemik, informasi, maupun pertengkaran pendapat antara pemerintah dan masyarakat yang dipublikasikan berbagai media.

Masyarakat menuding ketidaksigapan pemerintah, pemerintah menuduh media terlalu berlebihan dalam pemberitaan dan mengeluh sulitnya mengatur masyarakat untuk disiplin dalam hal sampah, serta media membalas pemerintah dengan menunjukkan daftar ketidakpeduliannya dalam penanggulangan banjir.

Siklus ini setidaknya muncul setiap lima tahun sekali, siapa pun gubernurnya atau dari kalangan mana pun presidennya.

Dianggap peristiwa rutin

Ada beberapa hal yang terekam oleh media mengenai banjir 10 tahun terakhir.

Pertama, pemerintah pusat dan daerah belum menganggap banjir di Jakarta sebagai prioritas. Ketidakseriusan ini bisa ditelusuri melalui beberapa indikator umum, yaitu masih banyaknya paradoks dan inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan pengawasan terhadap tata ruang perkotaan. Misalnya, peruntukan lahan sering bertabrakan dengan keamanan lingkungan yang implikasinya memperparah banjir Jakarta.

Kedua, hampir sama dengan pemerintah, tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya banjir masih rendah. Misalnya, masalah pengelolaan sampah, kesadaran untuk membangun sistem peringatan dini di masyarakat yang rawan banjir, juga kedisiplinan dan kepedulian merawat lingkungan yang sulit diimplementasikan di lapangan.

Ketiga, pembicaraan dan penanggulangan banjir hanya dilakukan sekadar ritual, merespons banjir, dan tidak membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya banjir itu sendiri. Media belum menjadikan informasi banjir beserta dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sebagai kebutuhan penting yang perlu terus diberitakan yang lambat laun membentuk kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya hal itu.

Keempat, ada kecenderungan menjadikan isu banjir Jakarta dilokalisasi hanya menjadi masalah penduduk Jakarta dan menjadi isu yang elitis. Padahal masalah resapan air mempunyai implikasi langsung kepada masyarakat yang berkenaan dengan dampak banjir.

Meski pemetaan masalah itu amat teknis dan simplistis, setidaknya kita melihat bahwa kesalahan itu bukan harus disandang pemerintah semata. Kita semua berkontribusi dalam bencana banjir. Pertanyaan pentingnya adalah apa yang dapat dipelajari dari banjir Jakarta kali ini?

Modal sosial

Melalui pemberitaan media dan yang langsung dialami di lapangan, kita masih memiliki modal sosial yang besar untuk dirawat dan dikembangkan. Potensi tersebut terlihat dari besarnya atensi berbagai elemen masyarakat dalam membantu korban.

Hal itu telah teruji, tidak hanya dalam banjir Jakarta, melainkan juga dalam berbagai bencana alam di Indonesia. Bantuan spontan bisa dikumpulkan dalam waktu singkat, jauh sebelum pemerintah sendiri turun tangan.

Kekuatan modal sosial yang berujud kepedulian ini merupakan aset untuk keluar, bukan hanya dalam masalah banjir maupun bencana alam, tetapi juga persoalan besar yang melilit negeri ini, korupsi, kemiskinan, dan lain-lain. Pada masa datang, bentuk mobilisasi dana ini perlu diperluas dalam bentuk partisipasi publik yang melihat persoalan bangsa ini bukan sebatas persoalan elite semata, tetapi persoalan publik secara umum.

Pemerintah akhirnya hanya salah satu unsur kecil yang diharapkan dapat membantu kita keluar dari masalah besar ini. Ia menjadi fasilitator dalam merespons kebutuhan yang diinginkan. Kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah merupakan hal penting untuk terus diingatkan, disosialisasikan, dan dibangkitkan. Di sini peran media menjadi amat penting.

Pascabanjir

Dalam waktu dekat, kita akan dihadapkan pada masalah pascabanjir. Kita akan berhadapan dengan data kemiskinan baru, dengan persoalan permukiman, pendidikan, relokasi penduduk, dan lain-lain. Apa yang dapat kita lakukan? Mungkin kita harus mulai dari organisasi pemerintahan terkecil di masyarakat, dari bawah dan partisipatif, yaitu kelurahan, untuk duduk bersama membicarakan persoalan dan solusi persoalan warganya. Kemandirian masyarakat berbasis lokal ini tidak mudah diciptakan dalam hitungan waktu. Namun, hal ini penting untuk dimulai, kita butuh proses panjang untuk sebuah tindakan perbaikan nasib bangsa.

Dukungan pemerintah dapat berupa informasi akurat dan lengkap, dana yang wajar sesuai dengan kebutuhan minimal, serta dorongan untuk menciptakan situasi yang kondusif. Persoalan permukiman di sepanjang bantaran sungai, misalnya, akan menjadi tanggung jawab masyarakat sekitar. Dalam jangka panjang, kemandirian masyarakat bisa memperkuat posisi tawar mereka terhadap negara dalam memutuskan nasib negeri ini. Masyarakat tidak dilihat lagi sebagai obyek tak berdaya, tetapi sebagai aktor yang ikut memutuskan ke mana bangsa ini melangkah.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/08/opini/3301296.htm

Jaleswari Pramodhawardani Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI; Anggota Dewan Penasihat The Indonesian Institute
Keterangan Artikel

Sumber: Kompas

Tanggal: 07 Feb 07

Catatan:

Banjir Jakarta dan Paradigma Ndeso

Oleh: Tulus Abadi

Petaka Februari 2002 terulang kembali, bahkan lebih parah dan dahsyat. Sabtu, 3 Februari 2007, menjadi bukti Jakarta benar-benar berjuluk kota “megabanjir”. Predikat negatif ini seolah melengkapi predikat lain yang lekat menggelayuti Jakarta: kota sampah, kota macet, dan kota polusi. Kini banjir menjadi hantu, bukan hanya bagi warga (kecil) yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung, melainkan juga bagi the have society yang mendiami real estate.

Menyoroti soal banjir di Jakarta, umumnya hanya dilihat dari faktor fisik (alam) sebagai penyebab. Minimnya resapan air dan ruang terbuka hijau (RTH) dituding sebagai penyebab utama. Benar, kini RTH di Jakarta hanya tersisa 9,38 persen (minimal 27 persen) dari total luas wilayah. Letak Jakarta yang secara geografis menjadi tempat buangan air wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) juga menjadi penyebab datangnya banjir.

Sementara itu, perilaku warga Jakarta nyaris tidak menjadi fokus perhatian. Benar, minimnya RTH dan Jakarta sebagai tempat buangan air dari Bopunjur tidak bisa dibantah. Terlepas dari itu, sesungguhnya banjir di Jakarta juga dipicu oleh perilaku warga Jakarta yang masih “tradisional” alias kampungan alias ndeso. Kendati jiwa-raga mereka di Jakarta, perilaku sosial mereka masih lekat dengan budaya ndeso. Mereka belum mempunyai kesadaran masif bahwa hidup di kota besar tidak boleh disamakan dengan saat masih menjadi warga kampung!

Kenapa hingga kini perilaku tradisional tetap langgeng, kendati mereka berpuluh tahun tinggal di Jakarta? Minimal ada dua penyebab: pertama, ketika mereka meninggalkan kampung halaman menuju Jakarta, memang dengan paradigma ndeso. Dan ketika sudah sampai di Jakarta paradigma tidak dilepas. Kedua, selama berpuluh tahun pula, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memfasilitasi terjadinya perubahan paradigma dari budaya ndeso menjadi budaya kota. Kedua “baju budaya” ini membawa dampak dan konsekuensi yang berbeda.

Salah satu wujud perilaku tradisional tersebut, selain sering menyumbat sungai dengan timbunan sampah, adalah ketidakpeduliannya terhadap lingkungan, sosial, dan budaya lokal ketika mereka membuat rumah atau bangunan. Padahal, secara hukum, pemerintah DKI Jakarta telah memagari dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1999 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB), berikut Surat Keputusan Gubernur Nomor 63 Tahun 2000 tentang Biaya Mengurus IMB. Kedua produk hukum ini berfungsi untuk membatasi perilaku tradisional warga Jakarta dalam membuat rumah/bangunan.

Efektifkah kedua produk hukum ini? Ternyata, sungguh di luar dugaan, karena data Dinas Pengawas dan Penataan Bangunan pemerintah DKI Jakarta membuktikan bahwa rumah di Jakarta yang mempunyai IMB hanya 25 persen (325 ribu unit) dari total 1,3 juta unit. Dengan kata lain, 75 persen (925 ribu unit) rumah di Jakarta adalah “rumah liar”, yang secara hukum layak “digusur”. Diduga kuat rumah yang tidak ber-IMB tersebut dibuat dengan tidak memperhatikan etika lingkungan bahkan etika sosial. IMB sebenarnya bukan sekadar instrumen hukum an sich, melainkan juga merupakan instrumen sosial dan budaya.

Misalnya, ketika membuat rumah pagarnya dibuat tidak terlalu tinggi agar tidak menutup akses tetangga mendapatkan sinar matahari dan udara bebas. Konyolnya, model bangunan seperti ini lazim dilakukan warga Jakarta dengan kedok “demi keamanan”, sekalipun rumah tersebut ber-IMB. Inilah fakta betapa masih tradisionalnya warga Jakarta, yang secara psikologi sosial sangat egoistik-individualistik. Sekalipun sepucuk surat IMB di tangan, rumah tersebut dibangun tidak dengan semangat etika lingkungan dan etika sosial. Tapi malah sebaliknya, pelanggaran etika sosial dilegalisasi dengan IMB. Jika rumah yang ber-IMB saja demikian, apalagi rumah yang tidak mengantongi IMB?

Dalam konteks etika sosial, sebagai contoh, Mahkamah Agung Negeri Belanda (Hoogeraad) pernah mengabulkan gugatan seorang warga, karena warga tersebut merasa terganggu oleh tetangganya yang membangun tower air sangat tinggi. Mahkamah Agung Belanda menghukum (mendenda) orang yang membangun tower air tersebut, karena telah mengurangi kenyamanan tetangganya.

Bagaimana dengan konteks lingkungan terkait dengan implementasi IMB ini? Jelas, IMB sebenarnya merupakan instrumen hukum yang cukup kuat untuk mengatur lingkungan, khususnya resapan air tanah, yang bernama koefisien luas bangunan (KLB). Lewat prinsip KLB ini, semua pihak yang ingin mendirikan bangunan di Jakarta harus menyisakan 30 persen luas tanah untuk RTH. Jadi, kalau luas tanahnya 100 meter persegi, bangunan yang boleh didirikan hanya 70 meter persegi. Dengan media 30 meter persegi, cukup efektif untuk resapan air tanah dan menanggulangi banjir. Saat musim kemarau, warga tidak perlu kehabisan stok air tanah, dan saat musim hujan, tidak pula diterjang banjir. Air laut pun tidak merembes ke dalam tanah.

Ironisnya, perilaku tradisional ini masih diposisikan sebagai “faktor pinggiran” oleh semua pihak. Pemerintah DKI Jakarta hanya concern pada faktor fisik tadi. Kebijakan yang ditempuh pun hanya berkutat pada bagaimana merampungkan proyek Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT). Finalisasi BKB dan BKT tentu sudah on the track. Tapi ingat, sekalipun BKB dan BKT sudah rampung, jika masih diperlakukan secara tradisional, BKB dan BKT pada akhirnya tidak akan efektif. Perilaku tradisional warga Jakarta seharusnya menjadi proyek prioritas juga.

Perilaku tradisional ini harus diakhiri jika kita tidak ingin tenggelam. Jangan perlakukan Jakarta seperti kampung pedesaan, tempat mayoritas warga Jakarta berasal. Di desa mungkin tidak terlalu urgen menerapkan prinsip seperti di Jakarta, karena nilai ekonomi tanah masih sangat rendah dan lahan kosong masih luas.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Minimal ada tiga langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta dan juga masyarakat. Pertama, praktek “jual-beli” surat IMB harus dihentikan. Konyol, karena dari 1,3 juta unit rumah di DKI Jakarta, yang ber-IMB hanya 25 persennya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi kalau bukan karena kontrol yang lemah dan “bisnis” surat IMB tersebut?

Kedua, harus ada review regulasi soal tata guna lahan, khususnya soal jual-beli tanah di Jakarta. Di Jakarta, jual-beli tanah sangat variatif, bukan hanya mencapai ribuan meter persegi, melainkan juga banyak yang hanya 30-50 meter persegi. Dengan luas tanah yang sangat minimalis tersebut rasanya terlalu sulit menerapkan prinsip 70 persen untuk luas bangunan dan 30 persen disisakan untuk RTH.

Ketiga, harus ada terobosan yang radikal agar 75 persen rumah di wilayah ini segera mempunyai IMB, misalnya memberikan kemudahan birokrasi atau bahkan pemutihan. Proses kemudahan/pemutihan tersebut harus “ditebus” oleh warga untuk membuat rumah yang benar-benar memenuhi syarat, yaitu mempunyai RTH atau sumur resapan. Warga Jakarta pun harus bergerak secara proaktif untuk menyelamatkan Jakarta. Rumah yang masih bisa di-manage dengan prinsip 30 persen untuk RTH, segeralah dibuat berikut sumur resapannya.

Pembenahan di sektor hulu untuk mengatasi banjir jelas mutlak diperlukan, termasuk merampungkan pembangunan BKT dan BKB. Tapi jangan dilupakan sektor hilirnya, yaitu proyek mengubah perilaku tradisional warga Jakarta, juga harus menjadi prioritas. Jika perilaku tradisional ini masih dilanggengkan, megabanjir jilid berikutnya pasti akan menggulung kita semua. Sebaliknya, saat kemarau tiba, warga Jakarta akan jungkir balik mendapatkan air tanah. Alih-alih malah air laut yang merembes, menggantikan air tanah.endati jiwa-raga mereka di Jakarta, perilaku sosial mereka masih lekat dengan budaya ndeso. Mereka belum mempunyai kesadaran masif bahwa hidup di kota besar tidak boleh disamakan dengan saat masih menjadi warga kampung!

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/02/08/Opini/krn,20070208,58.id.html

Tulus Abadi
ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
Keterangan Artikel

Sumber: Koran Tempo

Tanggal: 07 Feb 07

Catatan:

Banjir dan Kebiasaan “Nyampah”

Oleh: Al Andang L Binawan

P>Banjir datang lagi. Bahkan Jumat dan Sabtu lalu beberapa tempat di Jakarta terendam air. Namun, adakah banjir merupakan fenomena alam semata?

Menjawab ya, berarti manusia mau mengelak dari tanggung jawab. Tidak, berarti manusia arogan. Tanpa bermaksud menunjuk hidung siapa (atau apa) yang bersalah, tulisan ini memberikan usulan agar upaya meminimalkan dampak bencana alam bisa maksimal.

Hasil rekayasa

Kebiasaan sosial, atau habitus dalam istilah Pierre Bourdieu (sosiolog Perancis, 1990), adalah perilaku perorangan yang juga dilakukan kebanyakan orang. Sebagai kebiasaan, perilaku itu berlangsung berulang dengan spontanitas sebagai salah satu cirinya, sedangkan yang dilakukan kebanyakan orang adalah ciri sosialnya.

Kebiasaan sosial tidak muncul dari ketiadaan. Kalau kebiasaan menjadi spontan, dilakukan tanpa paksaan atau iming-iming hadiah, maka itu lebih menunjukkan usia suatu kebiasaan dalam masyarakat, bukan spontanitas yang bersifat instingtif. Artinya, kebiasaan sosial perlu direkayasa.

Salah satu contoh kebiasaan sosial yang masih relatif muda adalah antre. Kini antre cenderung menjadi kebiasaan sosial, meski belum bisa dikatakan “utuh”, seperti berjalan di sebelah kiri sebagai kebiasaan sosial lain. Spontanitas antre yang muncul di tempat umum masih sering dibantu sarana pengingat berupa tali atau petugas satpam yang menegur penyerobot.

Dalam proses pembentukan kebiasaan sosial antre, tampak adanya sarana bantu. Spontanitas orang tidak muncul begitu saja, apalagi pada kebanyakan orang. Maka, ketika kebiasaan antre mau direkayasa, ada tulisan, pagar, dan polisi. Dalam perkembangannya, tulisan tetap ada, tetapi tidak sebanyak dulu. Pagar tidak lagi besi, cukup tali. Polisi diganti petugas satpam. Jika antre sudah menjadi kebiasaan sosial yang utuh, sarana bantu atau struktur luar tidak lagi diperlukan.

Struktur luar dalam rekayasa sosial bisa bermacam-macam, kelihatan maupun tidak kelihatan. Hukum (aturan) adalah struktur pendukung yang tidak kelihatan dan menjadi sarana vital dalam pembentukan kebiasaan sosial. Struktur ini, meski sering dirasa membatasi, diperlukan manusia karena tak ada manusia yang tidak membutuhkan aturan, terlebih apabila hidup bersama dengan orang lain.

Imperatif bagi negara menjadi jelas karena hukum ada dalam wilayah kewenangannya. Negara dalam hal ini bukan hanya pemerintah dalam batas eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif. Cakrawala hukum untuk membentuk kebiasaan sosial yang berkeadaban publik harus dibuat legislator, dilaksanakan eksekutor, dan diawasi yudikator.

Baik diingat, terbentuknya berbagai kebiasaan sosial yang sesuai zaman adalah salah satu ukuran kemajuan sosial. Dengan kata lain, kemajuan sosial tidak hanya diukur dari jumlah gedung, mal, kendaraan bermotor, dan jalan tol yang dibangun. Semua infrastruktur itu, jika tidak disertai kebiasaan sosial baru, akan membuat megapolitan tetap tampak kampungan! Maka, kebiasaan sosial adalah pencapaian sosial. Ia mengukur kemajuan masyarakat sebagai kebersamaan, bukan sekadar kerumunan.

Kebiasaan “nyampah”

Dengan cara pandang ini, tugas negara “memimpin kemajuan” masyarakat menjadi amat menentukan. Tanggung jawab negara bukan sekadar mengatur saat pintu air dibuka dan ditutup, membangun dan memelihara saluran air, melainkan juga menyediakan sarana dan prasarana pembentukan berbagai kebiasaan sosial.

Kebiasaan sosial buruk yang terkait banjir adalah nyampah atau membuang sampah sembarangan. Sudah terbukti sampah menutup saluran air dan mendangkalkan sungai. Sampah juga memperburuk keadaan karena memicu berbagai penyakit. Ini berarti kebiasaan sosial buruk harus diubah menjadi kebiasaan sosial baru yang baik untuk mengurangi banjir. Salah satunya adalah menaruh sampah pada tempatnya, syukur-syukur sampai memilah dan mengolah.

Kelemahan

Memang sudah ada upaya dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Stiker pemilahan sampah basah dan kering serta penyediaan tempat-tempat sampah di berbagai tempat umum sudah dilakukan. Pernah juga diuji coba kantong-kantong plastik untuk pemilahan sampah. Sayang, “struktur” untuk membentuk kebiasaan sosial itu sangat lemah sehingga kurang “memaksa” masyarakat melakukannya.

Kelemahan itu tampak dalam beberapa sisi. Pertama, kurangnya penerangan intensif dan ekstensif pada masyarakat, bekerja sama dengan semua aparat negara dan lembaga nonpemerintah.

Kedua, sarana dan prasarana amat terbatas. Misalnya, keluarga atau kelompok masyarakat yang sudah berusaha memilah sampah sering putus asa karena tidak ada sistem pengangkutan yang dibedakan.

Ketiga, tidak ada kesinambungan gerakan. Alokasi dana APBD untuk ini seharusnya diprioritaskan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Semua itu adalah bagian dari aneka upaya sistemik lain guna meminimalkan banjir dan dampaknya. Tetapi, justru karena menjadi bagian integral, upaya ini tidak boleh dilupakan. Artinya, seperti negara atau pemerintah yang tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam perkara banjir, masyarakat juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Mengatasi kontroversi ini, yang diperlukan adalah pembentukan kebiasaan sosial dengan rekayasa sosial yang sistemik.

Dalam hal ini negara, khususnya pemerintah, punya peran vital. Namun, ini perlu disertai keseriusan dan keterlibatan masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk para penggiat bisnis. Karena itu, mari kita mulai bersama.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/20/opini/3331334.htm

Al Andang L Binawan Penggiat Gerakan Hidup Bersih dan Sehat
Keterangan Artikel

Sumber: Kompas

Tanggal: 19 Feb 07

Banjir Donasi, Banjir Promosi

Hamid Abidin, PIRAC

Jakarta kembali terendam banjir. Namun, bencana banjir kali ini jauh lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya sehingga menimbulkan banyak kerusakan dan korba jiwa. Besarnya dampak dan kerusakan yang ditimbulkan banjir ini memicu keprihatinan banyak pihak. Tak lama setelah berita bencana banjir itu tersiar, berbagai kelompok masyarakat, mulai dari pengusaha, tokoh agama, ibu-ibu rumah tangga, media massa sampai anak-anak sekolah, secara spontan bergerak mengumpulkan bantuan. Dalam sekejap, spanduk, poster, pamflet dan papan penumuman yang berisi informasi posko pengumpulan bantuan, baik uang, barang dan tenaga relawan, bermunculan di berbagai tempat.

Salah satu pihak yang banyak terlibat dalam kegiatan kedermawanan untuk korban banjir adalah perusahaan. Kegiatan sosial perusahaan itu selain terekam oleh liputan beberapa media, juga sengaja “diiklankan” oleh perusahaan yang bersangkutan. Puluhan “iklan” kedermawanan itu muncul di berbagai media cetak dan elektronik, mulai dari aksi pemberian dana, pembagian produk dan makanan, pemeriksaan kesehatan gratis, sampai servis cuma-cuma bagi barang-barang elektronik yang terkena banjir. Perusahaan rela mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk mengiklankan kegiatan kedermawanannya di media massa. Bahkan, dalam beberapa kasus, jumlah donasi yang diberikan jauh lebih kecil dari dana yang dialokasikan untuk mempromosikan kegiatan tersebut.

Selain menyumbang, pada saat yang sama perusahaan juga memanfaatkan momen bencana banjir itu untuk berpromosi. Tengok saja iklan atau advertorial yang belakangan muncul di berbagai media. Hampir semuanya menawarkan produk barang dan jasa yang dikaitkan dengan banjir. Berbagai perusahaan, mulai dari perusahaan asuransi, elektronik, makanan, obat-obatan, sampai jasa pengiriman barang, berlomba-lomba menawarkan produk dan jasanya kepada masyarakat dengan embel-embel “anti banjir” atau “antisipasi banjir”.

Gencarnya promosi dengan memanfaatkan momentum banjir itu menunjukkan betapa minimnya sense of crisis perusahaan kita. Mereka lebih mempertimbangkan keuntungan bisnis yang bisa diperoleh dari bencana tersebut dari pada kondisi psikologis masyarakat. Mereka melihat musibah itu sebagai peluang untuk mempromosikan produk barang atau jasa anti banjir. Atau, kesempatan untuk mengumumkan kepada konsumen bahwa produk atau pelayanannya paling unggul dibanding produk lain, pada saat banjir sekalipun!

Walau dianggap sah dari kacamata bisnis, strategi dagang semacam itu tentu tidak bisa dibenarkan secara etis. Kondisi psikologis masyarakat korban banjir, yang mungkin juga menjadi konsumen dari perusahaan itu, juga perlu dipertimbangkan. Karena, tidak menutup kemungkinan promosi semacam ini menjadi tidak efektif dan justru menjadi bumerang bagi perusahaan. Imej perusahaan ataupun produk yang ditawarkan bisa rusak karena dianggap tidak punya sense of crisis dan berpromosi di saat yang kurang tepat.

Ekspos yang berlebihan terhadap kegiatan sosial perusahaan juga bisa mencederai kegiatan kedermawanan yang sudah dilakukan. Orang bisa mempertanyakan motivasi sebenarnya dari perusahaan tersebut dalam menjalankan kegiatan sosialnya. Benarkah kegiatan itu dilakukan dalam rangka menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau hanya sekedar strategi dagang dengan memanfaatkan kegiatan sosial? Bahkan, bisa timbul anggapan perusahaan telah melakukan “komersialisasi” terhadap kegiatan kedermawanan yang dilakukannya.

Promosi kegiatan kedermawanan sebenarnya sah-sah saja jika dilakukan secara wajar dan proporsional. Upaya semacam ini bisa menjadi sarana sosialisasi program sosial perusahaan kepada masyarakat dan meningkatkan imej sosial perusahaan. Namun, promosinya tidak perlu dilakukan secara besar-besaran atau over expose. Bukankah kegiatan kedermawanan pada dasarnya harus dilakukan secara ikhlas dan tanpa pamrih apapun? Apalagi kalau ternyata biaya untuk mempromosikan kegiatan sosial itu jauh lebih besar dari jumlah dana yang disumbangkan. Karena itu, perusahaan perlu menahan diri untuk tidak melakukan expose yang berlebihan terhadap kegiatan sosialnya.

Kedermawanan sosial perusahaan merupakan salah aspek filantropi yang saat ini tengah berkembang di Indonesia. Kedermawanan ini telah memberikan kontribusi besar terhadap keberlangsungan berbagai kegiatan sosial di negeri ini. Hal itu terungkap dari Penelitian PIRAC terhadap kegiatan kedermawanan yang terrekam di media selama tahun 2001. Dalam kurun waktu setahun itu tercatat 279 kegiatan kedermawanan yang digelar oleh 180 perusahaan. Sementara jumlah dana yang dialokasikan untuk kegiatan itu mencapai Rp. 115,3 milyar. Jumlah tersebut belum termasuk kegiatan kedermawanan yang tidak diliput oleh media yang jumlahnya mungkin dua kali lipat.

Tingginya kedermawanan perusahaan itu juga terkonfirmasi dari hasil survei lanjutan PIRAC tahun 2003 di 10 kota besar yang melibatkan 226 perusahaan sebagai respondennya. Hampir semua perusahaan (93%) yang menjadi responden mengaku menyumbang dalam tiga tahun terakhir. Sementara alokasi dana yang disumbangkan sebesar Rp.236 juta/ perusahaan/ tahun (perusahaan multinasional), Rp.45 juta per perusahaan/tahun dan Rp16 juta per perusahaan/ tahun (perusahaan lokal). Jumlah itu akan terus meningkat karena perusahaan berkomitmen untuk menaikkan jumlah sumbangannya jika diberikan rewards yang memadai, misalnya insentif pengurangan pajak.

Agar potensi kedermawanan perusahaan ini terus berkembang, diperlukan kearifan dari perusahaan penyelenggaranya. Mereka dituntut untuk memisahkan secara tegas aktivitas kedermawanan dengan kegiatan promosinya. Dengan demikian, aktifitas kedermawanan itu bisa berjalan secara murni dan tidak tercemari dengan kegiatan-kegiatan lain yang berbau promosi. Pemisahaan secara tegas ini justru akan lebih meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kegiatan sosial yang dilakukan. (Hamid Abidin)

sumber: “PIRAC”

3 Komentar »

  1. terima kasih atas informasinya , tp saya tidak mengerti

    Komentar oleh putri — Agustus 17, 2014 @ 3:07 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.